Langit Senja Bagian 3

Tumpukan PR yang harus kukerjakan sudah menunggu di meja, tapi aku malah sibuk menjelajahi layar laptop. Tak tahu sudah laman ke berapa yang sedang aku baca sekarang. Sejak pulang sekolah tadi, aku hanya menghabiskan waktu menjelajahi internet, mencari apa pun yang ingin aku tahu tentang tunanetra. Apa pun. Aku sudah menahan keinginan ini selama hampir seminggu. Sejak Selasa kemarin, sejak dikejutkan oleh makhluk bernama Langit Senja hari itu, sebenarnya aku sudah penasaran. Sudah ingin tahu apa pun yang berhubungan dengannya.

Awalnya aku masih bisa menahan semuanya. Awalnya kupikir itu hanya keinginan sesaat yang akan hilang dalam beberapa hari. Tapi ini sudah hari keempat sejak hari itu dan rasa penasaranku tidak juga berkurang. Makanya hari ini, mumpung tidak ada aturan wajib belajar, aku habiskan waktuku di depan laptop. PR-PR itu masih bisa menunggu.

Haaaaah, mengapa harus ada manusia bernama Langit Senja? Mengapa dia harus masuk ke kelasku? Mengapa kami harus sekelas? Mengapa dia harus duduk di bangku bagian depan? Mengapa dia harus pintar? Mengapa dia harus tahu semua hal, selalu bisa jawab pertanyaan guru? Kalau tidak seperti itu kan aku tidak harus selalu menengok ke arahnya, tidak harus memperhatikan dia tiap hari. Lebih parahnya, mengapa aku harus peduli? Mengapa jantungku selalu berdenyut tak karuan setiap ada dia?

“Ish, nyebelin!,” umpatku pelan, hampir menutup laptop tapi urung saat menemukan profilnya di facebook. “Hah? Dia punya facebook?” tanyaku tak percaya.

Kedua mataku menjelajahi layar laptop yang sedang menampangkan profil facebook-nya. Aaargh… aku bahkan secara tak sadar sudah mengetikkan namanya di kolom pencarian. Duh, aku ini kenapa, sih?

Tapi aku tidak berhenti, terus menjelajahi laman berisi informasi tentangnya itu. Sumpah. Aku belum pernah penasaran pada seseorang sampai seperti ini. Ini pertama kalinya.

“Dek, makan dulu.” Mamah memunculkan kepala di pintu kamarku yang setengah terbuka.

Aku terlonjak. “Eh, iya, Mah.”

“Kamu buka apa, sih? Kok sampe kayak gitu kagetnya?” Mama melangkah masuk ke dalam kamar, mendatangiku.

Buru-buru aku menutup laptop lalu berdiri.

“Hih, mencurigakan. Yaudah. Ayo makan!” kata mamah yang kemudian mendahuluiku ke ruang makan.

Cepat-cepat aku meninggalkan kamar, menyusul mamah ke ruang makan.

“Wah, kangkung,” seruku, berusaha terdengar bersemangat sebelum dengan cepat duduk dan mengambil piring.

“Nggak pergi sama Awan?” Mamah menempatkan nasi ke atas piringnya, tak lagi membahas tentang apa yang kulihat di laptop tadi. Syukurlah.

“Lagi bikin tugas dia, Mah.” Aku ikut mengambil nasi di piring dan menyusulnya dengan tumis kangkung.

“Sibuk dia sekarang, ya? Malem minggu masih juga bikin tugas.”

“Yaaa gitu lah.” Aku kemudian memasukkan suapan pertama ke mulutku.

“Gimana sekolah?”

“Aman terkendali.”

“Terus? Terus?”

Aku mengunyah makanan yang sudah ada di dalam mulutku lalu menelannya. “Terus apanya, Mah?”

Baca:  Ferdi Story (12-15)

“Ya ada cerita apa lagi? Masak cuma aman terkendali? Kamu kan belum cerita apa-apa tentang sekolah. Sama sekali.”

Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku ceritakan ke mamah. Terutama tentang Senja. Ada banyak hal juga yang ingin aku tanyakan. Kurasa, sebagai seorang perawat yang sudah dua puluh tahun bekerja di bidang kesehatan, mamah akan bisa menjawab pertanyaanku. Tapi, aku urung, tak tahu harus memulai dari mana.

“Apa lagi ya, Mah? Nggak ada yang spesial, kok.”

Mamah mengangguk-angguk. Pembicaraan lantas berlanjut dengan cerita mamah tentang pekerjaannya hari ini. Mamah selalu saja punya cerita untuk dibawa pulang. Tentang pasien-pasien di rumah sakit tempatnya bekerja, tentang teman-temannya sesama perawat. Semua cerita menyenangkan tentang pekerjaannya pasti dibawa pulang. Tapi herannya, mamah tak pernah sekali pun bercerita tentang masalah di tempat kerjanya. Cerita tentang kekesalannya saja tak pernah.

“Udah, Mah?” tanyaku sambil menunjuk piring kosong di hadapannya.

“Udah.” Mamah menyerahkan piring kosongnya padaku lalu memberesi meja makan.

Kedua piring kotor kubawa ke bak cuci piring yang ada di dapur. Tugas harian. Setiap kali selesai makan, aku yang selalu bertugas mencuci piring bekas makan.

Baru saja selesai mencuci piring, aku mendengar seseorang membuka pintu pagar. Cepat-cepat aku meninggalkan mamah yang sedang menikmati teh hangatnya di meja makan. Sewaktu sampai di ruang tamu, aku menemukan Mas Awan berdiri di pintu.

“Panjang umuuuur. Tadi ditanyain mamah,” kataku. “Masuk.”

“Masak? Mamah kangen sama aku kali.”

“Pede!” Aku mendahuluinya kembali ke ruang makan. “Udah makan?” tanyaku dengan sebelah tangan memegang tudung saji, siap menutup sisa makan malamku dan mamah.

Mas Awan menggeleng, memasang muka memelas, dan mengelus-elus perutnya.

“Makan, Wan. Nggak rela pokoknya kalau kamu kurusan.” Mamah keluar dari dapur dan langsung menyalami Mas Awan. “Temenin masmu makan sana. Mamah mau nyelesein kerjaan.”

“Banyak kerjaan, Tante?” tanya Mas Awan.

“Biasa, kerjaan ibu rumah tangga.”

“Ah, Tante. Bisa aja. Saya makan ya, Tan?”

“Iya. Makan sana.”

Mamah lantas meninggalkan aku dan mas Awan di ruang makan berdua. Aku menggantungkan tudung saji yang aku pegang tadi ke dinding lalu mengambilkan piring buat mas Awan.

“Mau seberapa?” tanyaku sembari mengambilkan nasi.

“Dikit aja.” Mas Awan menerima piring lalu mengisinya dengan tumis kangkung. “Ayah mana?” tanyanya sebelum memasukkan suapan pertama ke mulutnya.

“Jaga siang. Tar jam sepuluhan baru nyampe rumah paling.”

Untuk sesaat Mas Awan disibukkan oleh sepiring nasi dan tumis kangkungnya. Aku hanya diam memandanginya makan. Manusia ini, aku dulu tak pernah menyangka akan menjadi pacarnya. Paling tidak, tidak selama ini. Dua tahun. Aku pertama kali mengenalnya sewaktu kelas dua SMP. Kami bersekolah di SMP yang sama, tapi dia lulus sewaktu aku masuk. Jadi sebenarnya kami tak pernah bertemu sebelumnya, tak pernah benar-benar mengalami satu sekolah. Hanya saja waktu itu ada pertandingan basket persahabatan antara tim sekolah dengan alumni. Di sana aku bertemu dengannya.

“Kok senyum-senyum?” tanya Mas Awan, mungkin merasa aneh aku pandangi seperti itu.

“Nggak. Inget aja dulu liat kamu maen basket di pertandingan persahabatan.”

Mas Awan ganti memandangku. “Pertandingan terbaik. Soalnya selese tanding, aku dikenalin ke kamu.”

“Cowok kurus, pake kacamata, culun.”

“Dulu. Sekarang ganteng kan?”

“He eh,” jawabku sekenanya. Aku berdiri, mengambil piring kosong dari depan Mas Awan, dan membawanya ke dapur.

Mas Awan menyusulku, lalu seperti biasa menungguiku mencuci piring. Dia berdiri bersandar di diding di sebelahku.

“Sabtu depan Iyok ulang tahun. Dia ngundang kita makan malem,” katanya.

“Mas Iyok, ya?” Aku mencoba mengingat-ingat yang mana teman mas Awan bernama Iyok ini.

“Sekalian mau ngerayain. Dia habis jadian sama Rina.”

“Hah, oh. Mas Iyok yang itu. Akhirnya dapet juga setelah jadi secret admirer berapa lama? Tiga tahun, ya?” Aku mengeringkan tangan.

Baca:  Ferdi Story (10-15)

“Iya. Cemen sih dia. Coba waktu SMA itu dia berani nembak, pasti udah jadian dari dulu.”

Aku meraih gelas yang ada di genggaman tangan Mas Awan, meneguk sedikit isinya, lalu menatapnya sesaat. Aku tak selalu sependapat dengan mas Awan. Sebenarnya aku tak pernah setuju dengannya tentang ini: hidup. Aku tak suka berandai-andai. Hidup memang sudah seharusnya begitu. Berandai-andai itu tak ada gunanya. Kalau pun mas Iyok nembak mbak Rina dari dulu, belum tentu juga mereka sudah mulai berpacaran semenjak dulu. Jalannya harus begitu: mereka baru bisa jadian sekarang. Titik.

“Mikir apa?” tanya Mas Awan.

“Nggaaaak,” jawabku seperti biasa. Tak ingin membahas isi kepalaku sekarang. Tak penting.

“Hmmm… gini nih.. Sukanya kayak gitu.”

“Kayak gitu apa?” tanyaku sambil mendekap gelas kosong di dadaku. “Cantik? Ini kan bawaan lahir.”

Sekarang giliran Mas Awan yang tertawa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian dengan cepat meletakkan tangannya di puncak kepalaku.

“Dasaaaaar,” katanya sambil mengacak rambutku.

Aku diam. Kepalaku mendadak dipenuhi pertanyaan Ei siang tadi, tentang rasaku. Aku diam, berusaha membiarkan hatiku merasakan sesuatu tumbuh di sana. Tapi, tak berbeda dari biasanya, aku tidak merasakan apa-apa.

***

“Kalian nggak keluar?” tanya ayah sambil membuka sepatunya. Malam ini ayah pulang tepat waktu. Mungkin bangsal tempat beliau bekerja sedang tak banyak pasien.

“Nggak, Om. Saya pengen maen di sini aja. Kan Tata juga baru sembuh. Saya nggak berani ngajakin maen dulu.” Mas Awan menjawab pertanyaan ayah dengan cepat.

Kepala ayah terangguk beberapa kali. Ah, ayah sih apa pun yang dikatakan mas Awan sudah pasti setuju. Mas Awan itu sudah seperti anak lelakinya yang pernah hilang. Waktu pertama kali datang ke rumah dulu, ayah juga langsung cocok, langsung sayang padanya. Apalagi saat tahu papa mamanya mas Awan itu dokter ahli. Ditambah lagi, tahun ini dia diterima di Fakultas Kedokteran Umum. Lengkaplah sudah. Calon menantu idaman ayah.

“Udah makan kamu, Wan?” Ayah yang tadinya sudah hampir masuk ke dalam rumah, berhenti di depan pintu hanya untuk menanyakan itu.

“Udah, Om. Maaf sayur kangkungnya saya habisin tadi. Hehehe..”

“Ya udah kalau udah makan. Om masuk dulu.”

“Jangankan sayur kangkung, anak gadisnya aja dikasihin,” cibirku sambil mengisi kolom jawaban di LKS Kimia.

Mas Awan tertawa mendengar celetukanku. Dia kemudian ikut melihat pekerjaanku dan membetulkan beberapa jawabanku yang kurang tepat.

“Dek, yang hari Selasa kamu sapain di depan sekolah itu temen sekelasmu?” tanya Mas Awan tiba-tiba.

“Senja?” tanyaku.

“Namanya Senja?” tanyanya. Aku mengangguk. “Dia buta?” tanyanya lagi. Aku mengangguk lagi. “Kok bisa sekolah di sekolah kamu?”

“Bisa,” jawabku tak acuh sambil berusaha menyelesaikan PR. Bukannya tak peduli dengan topik ini, hanya saja, entah mengapa, perasaanku menjadi tak nyaman sewaktu Mas Awan mengajak mengobrol tentang Senja.

“Kok bisa nerima siswa disabilitas gitu? Emangnya bisa gitu dia ngikutin pelajaran?” tanyanya lagi. “Kenapa nggak di SLB aja, ya?”

“Bisa, kok! Dia malah aktif banget di kelas, semua pertanyaan guru dia borong, nggak pernah absen nanya ini itu,” jawabku.

Mas Awan langsung menengok ke arahku dengan wajah heran.

“Loh, kamu kok jadi sewot? Aku kan cuma nanya,” katanya.

Astaga! Iya. Mengapa aku yang sewot, ya? Mengapa aku tidak terima sewaktu Mas Awan menyepelekan Senja?

“Kamu kenapa, sih?” Mas Awan bertanya dengan bingung. Bingung dengan sikapku barusan.

“PMS,” jawabku asal. “Udah, ah. Bantuin ini dulu! Ini gimana caranya kok bisa jadi kayak gini?” Aku berbohong, menunjuk pada salah satu soal yang belum kujawab, yang sebenarnya sangat bisa aku jawab. Aku hanya malas membahas masalah Senja.

“Mana?” Mas Awan mendekatkan wajahnya, ikut melihat LKS. “Segampang ini aja kok nggak bisa,” katanya sebelum kemudian mengajariku mengerjakan soal itu.

Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya diam, membiarkan Mas Awan menerangkan cara pemecahan soal yang sebenarnya aku sudah tahu.

Baca:  AKU DAN JATUH CINTA (1-8)

“Gampang, kan?” katanya.

“He eh.” Aku menutup LKS Kimia. “Selesai. Finally.”

Mas Awan mengembuskan napas lumayan keras lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

“Kenapa?” tanyaku.

“Kita ini malem mingguan kok ngerjain Kimia.”

“Terus maunya gimana?” tanyaku. “Kan kamu sendiri yang bilang nggak berani ngajakin aku maen keluar.”

“Iya, sih. Cuma kok ya ngerjain Kimia gitu. Mbok ya ngobrol apa gitu.”

“Ya ngobrol apa? Dari tadi juga udah ngobrol, kan?”

Mas Awan lagi-lagi menoleh ke arahku dengan heran. “Kamu beneran lagi PMS, ya?” tanyanya.

“Iya.”

Kali ini Mas Awan sepertinya benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Jadi dia hanya mengangguk-angguk dan tak lama berpamitan pulang.

“Kamu istirahat dulu aja, deh,” katanya setelah berpamitan pada ayah dan mamah di dalam rumah.

Duh, aku sebenarnya tak enak juga akhirnya menjadi seperti ini. Tapi aku juga tak tahu mengapa aku bisa-bisanya sewot hanya gara-gara Mas Awan membahas Senja. Padahal memangnya dia itu siapa? Mengapa aku sebegitu pedulinya? Mengobrol dengannya saja tak pernah. Jangankan mengobrol, hanya melihatnya dari jauh saja jantung ini rasanya sudah mau lari keluar dari dada, denyutannya luar biasa cepat.

“Maaf, Mas,” kataku akhirnya sewaktu melepas Mas Awan di luar pagar.

Mas Awan tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. “Nggak papa,” katanya. “Aku pulang, ya? Aku sayang kamu.”

Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mengangguk, tersenyum, lalu melambaikan tangan ketika dia mulai melajukan motornya. Aku bergegas menutup pagar, menguncinya, kemudian memberesi alat tulisku yang masih ada di meja teras, membawanya masuk ke dalam rumah.

“Udah pulang Awannya?” tanya ayah begitu aku sampai di dekat tangga.

“Udah.”

Ayah mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepertinya ayah mau mengatakan sesuatu tapi urung. “Ya udah. Tidur sana. Udah malem.”

“Iya. Tidur dulu,” pamitku sebelum kemudian menapaki anak-anak tangga dan segera masuk ke dalam kamar.

Awalnya, aku mau langsung tidur saja. Sepertinya otakku sudah minta diistirahatkan. Tapi sewaktu melihat laptop yang ada di atas tempat tidur, aku langsung ingat kalau aku belum mematikan benda itu sewaktu meninggalkannya tadi.

Dengan malas aku meraih laptop, kembali menegakkan layarnya yang secara otomatis langsung menyala. Kursor sudah hampir kuarahkan ke tanda silang di kanan atas laman untuk menutup aplikasi. Tapi tanganku tiba-tiba membeku. Di layar laptop itu terpampang profil facebook Senja. Itu benar-benar miliknya. Foto yang ada di profil itu benar fotonya. Dia. Langit Senja.

Tiba-tiba ada perasaan aneh di dalam dadaku sewaktu aku melihat fotonya. Gila. Ini benar-benar gila. Bahkan hanya melihat fotonya saja rasanya seperti ini. Aaaargh… Aku benar-benar tak sehat sekarang. Sepertinya aku benar-benar butuh tidur. Ya, sebaiknya memang aku tidur saja.

Laptop segera aku matikan lalu kuletakkan di meja dekat tempat tidur. Aku kemudian mematikan lampu, dan bersiap tidur. Tapi baru saja akan tidur, ponselku berbunyi, menandakan sebuah pesan masuk.

Mas Awan : Kok blm tidur? Buruan tidur. Udah malem. Love you.

“Dasar kurang kerjaan,” gumamku sambil membalas pesan singkatnya.

Me : Iya. Ini mau tidur. Met istirahat, mas.

Notifikasi lain kemudian muncul di layar ponselku. Ada sebuah angka satu berwarna merah muncul di huruf F berwarna biru. Ada notifikasi baru di facebookku.

Langit Senja accepted your friend request

“Whaaaaaaaaaat?!!” seruku.

Aku yang tadinya sudah berbaring langsung terduduk lagi begitu membuka notifikasi itu.

“Aaaaah!! Bego!” rutukku.

Pasti tadi aku secara tidak sadar sudah mengirim permintaan pertemanan.

Aah.. otakku kenapa, siih? Bego! Bego! Duh, besok mukaku mau ditaruh di mana kalau ketemu sama dia? Ngobrol aja nggak pernah, kenalan juga nggak pernah terus tiba-tiba mengajak berteman di facebook gitu? Pinter banget kamu, Taa!!

Dengan cepat aku mematikan ponsel dan meletakkannya di bawah bantal. Aku tidak ingin melihat benda itu untuk sementara. Aku harus tidur, berharap tidur bisa membantuku memperbaiki kerja otak yang akhir-akhir ini mulai tak beres.

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 13

7 Comments

Leave a Reply