Langit Senja Bagian 12

Shall-I-hang-on-or-shall-I-let-it-go.png

Shall I hang on or shall I let it go?

Sikutan pelan di lengan kananku membuatku menoleh. Ei menunjuk ke arah lapangan dengan dagunya, memberikan tanda padaku untuk melihat ke arah yang ditunjuknya. Lapangan sudah kosong. Pertandingan basket sudah selesai.

Dengan malas aku berdiri lalu menyeret langkah meninggalkan tempat duduk penonton. Kepalaku rasanya memang kosong beberapa hari ini, sejak aku tak lagi bisa menghubungi Senja. Sejak aku berulang-ulang menghubunginya tapi tak pernah ada jawaban. Sejak pertengkaranku sama Mas Awan semalam.

“Makanya kalau suka itu bilang suka. Kalau cinta bilang cinta. Nggak usah diingkari,” kata Ei tiba-tiba.

“Apa sih, Ei?” tanyaku.

“Kamu tuh, tiap kali nggak ada Senja kayak zombie,” komentar Ei. Pelan, tapi nampar. “Dia ke mana lagi, sih?” tanyanya.

Aku mengangkat bahu. Malas menjawabnya. Malas mengingat semua panggilanku yang tak diterimanya. Malas mengingat semua sewaktu yang sudah aku habiskan bersamanya.

“Hih, susah emang ngomong sama zombie!” katanya. “Bilangnya nggak cinta. Tapi kalau nggak ketemu udah kayak zombie, nggak ada nyawanya. Apa sih sebenernya susahnya ngakuin kalau kamu tuh jatuh cinta sama Senja?”

Aku tak menanggapi Ei, hanya diam lalu melangkah ke dalam kelas, memberesi buku dan alat tulis, memasukkan semuanya ke dalam tas, bergegas berdiri dan melangkah keluar kelas. Tapi langkahku terhenti di depan kelas. Ponsel yang ada di saku rokku bergetar. Nama itu akhirnya terpampang di layar ponselku.

“Ya, Ja?”

“Rekta?”

Bukan Senja. Suara dingin itu milik Arik.

“Iya.”

“Bisa nggak sih kamu berhenti gangguin Senja? Belum cukup kamu bikin celaka dia hari itu sama bikin dia sakit kayak gini?”

“Dia… sakit?” tanyaku.

“Iya. Gara-gara kamu. Udah. Jangan ganggu Senja lagi!”

Paanggilan lantas diakhiri.

“Siapa yang sakit?” tanya Ei yang baru aja keluar dari kelas. Dia terlihat khawatir, mungkin karena melihat raut mukaku.

Aku tak bisa menjawab pertanyaan Ei. Tak ada suara yang keluar, tertelan oleh semua pikiran tak menyenangkan di dalam kepalaku. Senja sakit dan ini salahku?

“Ta?” panggil Ei. Dia menyusul langkahku, menjajariku. “Kamu kenapa?”

Masih saja tak ada jawaban yang kuberikan. Kepalaku kosong.

“Mau langsung pulang?” Ei baru bertanya lagi sewaktu kami sampai di halaman sekolah. Aku mengangguk. “Pulang sama siapa?” tanyanya.

“Mas Awan.”

“Udah dijemput?”

Aku mengedarkan pandangan sesaat ke pinggir jalan tempat Mas Awan bisa menungguku. “Belum.”

“Hadeh.. Papi mana, sih? Motor pake rusak lagi,” keluh Ei.

Aku diam, tak menanggapi keluhannya. Dia lantas ikut diam untuk sesaat.

“Ta, kamu beneran nggak tau Senja kenapa nggak masuk?” tanya Ei setelah diam kami.

Aku mengangguk. Bohong. Padahal jelas-jelas Arik baru saja memberitahuku kalau Senja sakit.

“Beneran?”

“Terserah lah.” Aku tiba-tiba mulai kesal dengannya sekarang.

Aku paling tak suka ditanya tentang satu hal berulang. Atau mungkin aku kesal karena Ei terus-menerus menanyakan tentang Senja yang sebenarnya beberapa hari ini memang membuatku uring-uringan. Atau mungkin gara-gara panggilan singkat dari Arik barusan. Entahlah.

Kupikir, pertanyaan Ei akan berhenti di sini. Apalagi setelah menjawab dengan nada yang sebenarnya sudah menunjukkan aku kesal. Tapi ternyata aku salah.

“Kamu mau sampe kapan sih kayak gini, Ta?” tanyanya pelan dengan kedua mata menatapku.

“Kayak gini gimana?” tanyaku dengan nada malas-malasan.

“Ya kayak gini, bertahan sama orang jelas-jelas kamu nggak ada rasa sama dia. Jelas-jelas kamu itu jatuh cinta sama yang lain.”

Aku memalingkan wajah, menatap jalan di hadapanku yang siang ini tak semacet biasa, tak menjawabnya.

“Ta, jangan sampe kamu nanti nyesel.”

Aku masih tak berkomentar apa-apa, masih bertahan pada lalu lalang kendaraan di hadapanku, berusaha menahan emosiku. Berusaha menahan diri agar kekesalanku yang mulai memuncak ini tak pecah.

Baca:  Langit Senja Bagian 3

“Kamu kenapa sih nggak putus aja sama Mas Awan?”

Aku langsung menoleh pada Ei sewaktu mendengar pertanyaan terakhirnya. Ya, aku tahu Ei memang tak pernah suka basa-basi. Aku juga tahu dia dari dulu tak suka aku berpacaran dengan Mas Awan. Aku tahu semenjak awal dia tidak pernah menyetujui pilihanku untuk menerima mas Awan sebagai pacarku, dengan alasanku menerimanya. Tapi tetap saja aku kaget dengan pertanyaan tanpa tedeng aling-alingnya itu.

“Aku nggak bisa, Ei.” Rangkaian kata-kata itu akhirnya keluar juga, yang sejak kemarin sudah berputar-putar di dalam otakku.

Iya. Aku memang tak bisa putus dari Mas Awan. Panggilan dari Arik barusan menyadarkanku. Awalnya aku memang sudah yakin untuk memilih Senja. Aku menyayanginya. Sayang sekali. Aku belum pernah merasa seperti ini, pun pada Mas Awan. Aku selalu merasa nyaman setiap kali bersamanya. Bahkan semenyakitkan apa pun kata-katanya, semua kekesalan itu sudah langsung menghilang ketika dia sudah meminta maaf karena, yah, itu. Pada akhirnya aku tahu bahwa semua yang dia katakan itu benar dan untuk kebaikanku. Pada akhirnya aku selalu tahu bahwa apa yang dia lakukan semuanya buatku, buat kebaikanku. Tapi …

“Kenapa?” tuntutnya.

Aku bisu.

“Oh, aku tahu. Kamu penakut!”

Aku memandang tak terima ke arahnya.

“Bener, kan? Kamu emang penakut. Kamu nggak berani perjuangin hidupmu sendiri, perasaan kamu, kebahagiaan kamu. Kamu bahkan nggak pernah berani buat ngungkapin keinginanmu sendiri. Apa namanya kalau bukan penakut?” Volume suara Ei tak berubah semenjak tadi, masih sama pelannya. Bedanya, tusukannya terasa semakin dalam.

“Cukup, Ei,” kataku pelan.

“Kamu tuh manusia bukan sih, Ta? Bisa-bisanya ngabaiin perasaan sendiri. Rela-relanya jadi zombie buat orang lain.”

“AKU BILANG, CUKUP, EI!” bentakku.

Aku tak lagi bisa nahan semuanya. Tak lagi bisa menahan volume suaraku, membuatnya langsung terdiam, menatapku, sama seperti beberapa orang yang ada di sekitar kami.

Aku benar-benar tak lagi bisa menahannya. Ini sudah mulai kelewatan. Dia sudah mulai kelewatan. Dia pikir cuma karena kami sudah lama saling mengenal lantas dia punya hak buat menilaiku seperti itu? Memangnya dia itu siapa? Memangnya dia tahu hidupku yang sebenarnya? Memangnya dia tahu masalah yang sebenarnya? Memangnya segampang itu aku putus sama Mas Awan? Memangnya segampang itu menjalani semuanya seperti yang dia katakan?

Ei menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Dia kemudian melangkah meninggalkanku dan orang-orang yang mulai berbisik-bisik. Hah, peduli setan! Ya, peduli setan! Aku tak peduli lagi padanya. Ei benar-benar sudah kelewatan.

Tapi lagi-lagi aku tak bisa mencegah diriku untuk tak memikirkan kata-katanya. Bukannya aku ini manusia bebas? Bukannya seharusnya aku bisa memperjuangkan perasaanku? Bukannya seharusnya aku bisa saja memilih untuk putus dari Mas Awan dan milih Senja?

Tidak. Aku tidak bisa. Aku tidak boleh. Aku tak mungkin bisa putus dari Mas Awan. Aku yang dulu memulai semua ini. Aku yang sudah selalu memberikan harapan padanya. Lagipula, dia itu anak kesayangan Ayah. Ayah sudah punya segudang rencana dengan Mas Awan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kecewanya ayah kalau aku sampai putus sama Mas Awan. Aku anak ayah satu-satunya. Aku tidak bisa mengecewakan ayah. Aku tidak boleh mengecewakan ayah.

Sedangkan tentang Senja, memangnya apa yang bisa aku kasih ke dia selain membuat dia celaka? Dia selalu saja celaka setiap kali bersamaku. Jadi, mungkin akan jauh lebih baik kalau aku melepaskannya saja walaupun aku tahu sakitnya setengah mati. Tapi, ini hanya akan sementara saja, kan?

Lambaian tangan Mas Awan membuatku meninggalkan tempatku berdiri, mendatanginya dan tersenyum lebar sewaktu sampai di hadapannya.

“Lama nunggunya?” tanya Mas Awan.

“Nggak, kok,” jawabku sambil memakai helm sebelum kemudian naik ke bocengan.

“Ada apa?” tanya Mas Awan. Dia urung melajukan motor, sedikit menolehkan wajah ke samping.

“Nggak papa. Yuk pulang.”

Mas Awan tak banyak bertanya lagi, langsung melajukan motornya membelah jalanan yang siang ini tak seramai biasanya. Mungkin karena sudah banyak siswa yang memilih untuk tak ke sekolah karena minggu ini sudah memasuki minggu classmeeting.

Motor tiba-tiba ditepikan.

“Turun,” kata Mas Awan, memberikan perintah. “Makan dulu.”

Aku menelan ludah. Tiba-tiba rasanya ada tusukan dalam di jantungku.

Mas Awan menarik sebelah tanganku memasuki warung makan, menuju salah satu meja di area lesehan setelah menerima catatan dan daftar menu.

“Tempatnya nyaman juga ya ternyata. Pantesan kamu suka di sini.” Mas Awan tak menatapku saat mengatakan itu. Kedua matanya sibuk menjelajahi ruangan setengah terbuka yang siang ini ramai sewajarnya jam makan siang. Dia lantas ganti membaca daftar menu dan membuat catatan di sisi beberapa menu yang ditawarkan begitu kami duduk.

Baca:  Ceritaku (4-4)

“Sambal mangga, ayam bakar, es jeruk.” Senyuman muncul di wajahnya begitu dia menandai tiga menu itu. Mas Awan lantas mengangkat wajah, menatapku, masih dengan senyuman yang sama. “Iya, kan?”

Aku mengangguk. Iya. Pilihannya tepat. Padahal sebelumnya dia tak pernah mau kuajak makan di sini. Padahal sebelumnya aku hanya bercerita padanya satu kali. Hanya mengatakan bahwa aku pernah makan ayam bakar dan sambal mangga yang enak di sini. Hanya satu kali. Dan dia ternyata mengingatnya.

Mas Awan meninggalkanku setelah menandai pesanan untuk dirinya sendiri, mendatangi pramusaji yang berdiri di dekat pintu masuk area lesehan.

Aku menoleh ke kiri, ke arah meja yang pernah kutempati untuk makan beberapa siang yang lalu. Senja dan aku, kami duduk di situ. Lalu, sekarang aku semakin rindu.

“Dek?”

Aku langsung kembali menoleh, menyambut Mas Awan yang baru saja kembali ke ke sisiku dengan senyuman.

“Apa?” tanyaku.

“Jogja, yuk!”

“Jogja?” tanyaku.

Mas Awan mengangguk.

“Sekarang?” tanyaku lagi.

Mas Awan kembali mengangguk. “Ada spot buat liatin sunset. Masih sempet banget kalau habis ini kita langsung berangkat. Kamu bakalan suka. Yakin.”

“Kaya nggak kenal ayah aja,” jawabku.

Dia tersenyum lebar. “Aman. Aku udah bilang ayah kamu, kok. Udah izin. Dibolehin.”

Sesaat aku menatap Mas Awan, lalu mengangguk-anggukkan kepala, ikut tersenyum saat melihatnya tersenyum. Anak kesayangan ayah. Tentu saja dia akan diizinkan. Kok aku bego ya?

Mas Awan mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, pandangannya lantas terpaku ke layar ponsel. Untuk sesaat aku memandanginya, sebelum kemudian kembali menoleh ke kiri. Tiba-tiba kata-kata Ei masuk ke dalam kepalaku lagi. Tentang aku yang seharusnya bisa memilih untuk pergi, memilih siapa yang sudah jelas padanya kujatuhkan hati. Tapi, …

“Dek?”

Tanganku digenggam. Aku langsung berhenti memandangi meja yang sekarang kosong itu.

“Ada apa sih di situ? Kayanya dari tadi kamu liatin ke situ terus.” Mas Awan ikut menoleh.

“Nggak ada apa-apa,” jawabku jujur, tak berusaha mencari-cari alasan apapun.

“Dek.” Mas Awan sudah kembali menatapku. “Bener kamu nggak papa?”

Aku menarik kedua ujung bibir ke atas. “Nggak papa, Mas. Emang kenapa sih nanya gitu terus?” tanyaku dengan nada yang kubuat senormal mungkin.

Mas Awan tak menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepala, lalu melepaskan genggamannya karena pesanan makanan kami datang. Sudah. Setelah itu dia tak menanyakan apapun, lebih memilih bercerita tentang harinya, tentang kelucuan kawan-kawannya, atau keseruan kuliahnya. Aku yakin dia tahu bahwa aku sedang tak baik-baik saja, tapi dia memilih untuk tak bertanya. Dia lebih memilih untuk menghiburku saja.

Hanya sebentar waktu yang kubutuhkan untuk sampai di rumah, mengganti pakaian, lalu dengan patuh kembali menemui Mas Awan di depan.

“Kamu nggak capek, kan?” tanyanya.

“Nggak, kok. Aman.” Aku berusaha sebaik mungkin meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.

Senyuman Mas Awan lebar. Dia mengacak puncak kepalaku pelan.

“Kalau capek, bilang, ya? Nanti kita bisa berhenti buat istirahat, kok,” ucapnya seraya memakaikan helm di kepalaku.

Seharusnya tak apa-apa kan kujatuhkan pilihan padanya? Ya, seharusnya tak apa-apa.

***

Mamah menatapku sewaktu aku masuk ke ruang keluarga. Ada raut heran di wajahnya.

“Habis piknik liat sunset kok malah cemberut gitu?” tanya beliau.

Aku mengangkat bahu lalu menjatuhkan diri di sisi mamah.

“Awan kok nggak mampir?”

“Nggak,” jawabku pendek.

Mamah mengangguk-anggukkan kepalanya, sesaat melirik jam dinding. “Ya emang udah malem sih, ya?”

Aku ikut menganggukkan kepala sebelum membebankan berat tubuhku ke sisi tubuh mamah. Mungkin refleks, mamah merentangkan lengannya, memeluk bahuku, membuatku lebih dalam masuk ke dalam pelukannya.

“Bagus sunsetnya?” tanya mamah sambil mengusap kepalaku lembut.

Aku mengangangguk. Matahari terbenam tak pernah tak bagus. Langit senja tak pernah tak menarik hatiku. Hanya rasanya aneh saja karena Mas Awan tiba-tiba mau menyediakan waktu untuk menemaniku duduk berlama-lama memandangi langit berwarna oranye, tak melakukan apa-apa. Sangat berbeda dengan sebelumnya yang menganggap kebiasaanku itu sebagai hal yang tak berguna, membuang-buang waktu.

“Ternyata sudah lama ya kenal sama Awan. Dua tahun, ya?” tanya mamah, menarikku keluar dari dunia yang berisi pikiranku sendiri.

“Iya, Mah. Dua tahun.”

Mamah tersenyum, menarik napas panjang.

“Senja itu anaknya menarik, ya?” kata mamah kemudian.

Aku menoleh padanya, terkejut mendengar mamah tiba-tiba menyebut nama Senja padahal awalnya kami membicarakan Mas Awan. Mamah tersenyum menatapku.

“Mamah baru sadar, ternyata putri kecil mamah sudah besar.” Mamah tersenyum.

Jujur, saat ini aku benar-benar tidak bisa menebak arah pembicaraan mamah. Tapi aku tahu, mamah tahu terjadi sesuatu. Mamah adalah mamah, ibu, seseorang yang selalu tahu segala sesuatu di dalam keluarganya tanpa harus diberitahu.

Baca:  Dua Rupa Langit

“Kamu sayang sama Awan?”

Aku mengangguk. Aku tidak berbohong. Aku menyayangi mas Awan. Dia laki-laki yang baik, yang selalu ada saat dibutuhkan, yang selalu sabar menghadapi aku, yang selalu… yang aku tahu akan selalu siap menjadi penampung semua masalahku dan mendampingiku melewatinya. Tapi, dia juga selalu menjadi seseorang yang padanya aku tak pernah bisa melepaskan semua perasaanku.

Dosa ini menghantuiku lagi. Hah, memang aku yang salah. Aku yang dulu memberikan harapan pada mas Awan, menerima pernyataan cintanya pada saat aku bahkan tidak memiliki rasa apa pun padanya. Aku dulu begitu yakin aku akan bisa menumbuhkan rasa cintaku padanya, begitu tak percaya ada yang namanya cinta pada pandangan pertama, begitu percaya bahwa cinta memang harus ditumbuhkan.

“Mamah belum pernah melihat kamu tersenyum begitu tulus dan tertawa begitu lepas setiap kali sama Awan.” Mamah membelai kepalaku. “Baru sekali mamah liat kamu kayak gitu. Baru kali itu mamah lihat kamu memandangi seseorang dengan penuh ketakjuban, sewaktu kamu memandangi Senja.”

Seperti yang sudah kuduga, aku tahu mamah tahu sesuatu.

“Mamah sama ayah dulu awalnya nggak jatuh cinta, malah nggak kenal. Mamah pernah cerita kan kalau kami dijodohkan?” Tangan mamah masih membelai kepalaku. “Kamu tahu cerita itu, kan?”

Aku mengangguk.

“Kamu pasti juga sudah sering denger ayah cerita kapan akhirnya jatuh cinta sama mamah. Kapan ayah sadar mamah adalah ‘the one’.” Aku mendengar mamah menarik napas panjang. “Kamu juga pasti sudah berulang-ulang denger ayah bilang kalau cinta itu harus ditumbuhkan, harus berusaha mencintai, harus berusaha membuka hati supaya cinta itu bisa tumbuh.”

Aku menegakkan tubuh, menundukkan wajahku, sengaja menghindari tatapan mamah.

“Itu nggak salah, Dek. Cinta memang harus ditumbuhkan. Tapi, bukan berarti cinta pada pandangan pertama itu nggak ada.” Mamah masih membelai kepalaku. “Ada, Dek. Mamah pernah punya cinta pada pandangan pertama. Dia kakak kelas mamah di SMA dulu. Sejak hari pertama melihatnya, mamah tahu kalau mamah jatuh cinta. Dia, tanpa melakukan apa pun, dia bisa membuat jantung mamah berdetak cepat.”

Aku mendengar mamah tersenyum. Suaranya terdengar bahagia mengenang hari itu.

“Setiap kali bersama dia, yang pengen mamah liat cuma dia, nggak pengen liat yang lain lagi. Buat mamah asal ada dia, itu sudah cukup.” Mamah menarik napas panjang. “Tapi, mamah memilih buat ninggalin dia.”

Aku menoleh, menatapnya. “Kenapa, Mah?” tanyaku.

Mamah tersenyum. “Ada terlalu banyak hal yang harus dikorbanin buat bisa hidup sama dia. Ada terlalu banyak hal untuk dipertimbangkan. Dan mamah memilih untuk mundur.”

Aku menatapnya. Mamah tersenyum, tapi aku bisa merasakan ada kegetiran dalam senyumannya. Aku bisa merasakan masih ada bagian dari mamah yang masih merasakan sakit ketika mamah menceritakan semua itu.

“Dek, mamah tahu Senja itu orang yang istimewa buat kamu. Dari cara kamu memandang dia, cara kamu ngomong sama dia, cara kamu tersenyum sewaktu sama dia. Mamah tahu kamu sedang jatuh cinta,” katanya. “Tapi kamu masih muda. Ada banyak hal yang perlu kita pertimbangkan ketika kita akan memilih. Pertimbangkan konsekuensi dari setiap pilihan kita.”

Konsekuensi. Satu kata yang selalu ditekankan mamah kepadaku kecil. Berbeda dari ayah, mamah tak pernah melarangku melakukan apa pun yang aku suka. Mamah tak pernah berkata ‘jangan’ atau ‘nggak boleh’. Tapi mamah selalu menekankan bahwa ada konsekuensi dari semua keputusan yang kuambil, sebaik apa pun keputusan itu menurutku.

“Kamu sudah siap mendampingi Senja?” tanya Mamah. “Menemaninya dengan segala kekurangannya?”

Pertanyaan mamah mengingatkanku lagi pada kejadian sewaktu olahraga, tentang bagaimana menyakitkannya mendengar orang membicarakan Senja seperti itu. Mengingatkanku pada sikap kasar orang-orang terhadap Senja sewaktu CFD hari itu. Pada kecerobohanku yang sudah membuatnya celaka. Apa aku siap mendampinginya melewati semua itu nanti?

Aku mengangkat bahuku. “Aku nggak tau, Mah.”

Aku benar-benar tidak tahu apakah aku siap mendampinginya atau tidak. Sejauh ini aku merasa baik-baik saja setiap kali bersamanya. Jauh lebih baik daripada baik bahkan. Aku merasa bahagia. Tapi sekarang aku tak tahu apakah itu akan selamanya atau mungkinkah hanya sesaat.

“Gimana sama Awan?” tanya mamah.

Kepalaku tertunduk. Ya, aku salah. Aku yang memulai semua ini. Aku yang membiarkan diriku terlalu asik dengan dunia baruku. Aku terlalu membenamkan diriku padanya, terlalu melihatnya sampai tidak mau melihat yang lain lagi. Ya, aku yang salah.

“Dipikirin dulu, Dek. Apa pun keputusan kamu nanti, asal kamu bahagia, mamah akan mendukung kamu. Tapi, pikirin dulu baik-baik.”

Mamah menegakkan tubuhku dan tersenyum sewaktu kedua mata kami beradu.

“Kamu sudah besar, Nak,” katanya sebelum kemudian memelukku erat.

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 12

7 Comments

  1. Baru bisa nuntasin part 10-12, sepertinya, ending yang sungguh nyesek banget! Seperrti filosofi mentari terbenam, keindahan suasana yang menyenangkan, penuh keceriaan. Namun, roda waktu terus berputar, mentari pun terbenam sepenuhnya, mau tidak mau harus merelakan kepergiannya. Benarkah begitu, Mbak Dini?

  2. bukan soal cinta Mulu, terpenting pelajaran yg bisa diambil khususnya para ortu harus memberikan pengertian sama anaknya, agar anak bisa menentukan pilihannya, ortu yg mengarahkannya jika dirasa ada yg kurang pas

Leave a Reply