Malam itu, angin bertiup kencang menerobos celah-celah jendela kayu rumah tua di ujung desa. Rara, Dika, dan Fani sedang berkumpul di dalam kamar berdebu yang dipenuhi barang-barang lama. Mereka bertiga, sekumpulan sahabat yang gemar mencoba hal-hal baru, telah mendengar cerita tentang permainan jailangkung yang bisa memanggil arwah. Awalnya, mereka ragu, tetapi rasa penasaran yang menggebu akhirnya mengalahkan ketakutan.
“Jadi, kita benar-benar mau coba ini?” tanya Fani sambil menggigit bibirnya, setengah takut.
“Tenang saja, ini cuma permainan,” jawab Dika dengan nada yang mencoba meyakinkan. “Lagipula, kita nggak perlu percaya sepenuhnya, kan?”
Rara mengeluarkan boneka jailangkung yang terbuat dari kayu dan kain lusuh dari dalam tasnya. Dengan tangan gemetar, dia meletakkannya di atas lantai yang sudah disiapkan dengan lingkaran garam dan lilin-lilin kecil.
“Jailangkung, jailangkung, di sini ada pesta kecil. Datang tak dijemput, pulang tak diantar,” mereka mengucapkan mantra itu bersama-sama. Suara mereka menggema di dalam ruangan yang sepi, membuat bulu kuduk merinding.
Awalnya, tidak ada yang terjadi. Mereka saling pandang dengan senyum gugup, merasa permainan ini tak lebih dari lelucon. Namun, beberapa detik kemudian, boneka itu mulai bergerak sedikit, seolah-olah ada yang menggerakkannya. Lilin yang menyala tiba-tiba meredup, dan suhu ruangan menjadi dingin.
“Siapa yang ada di sini?” tanya Rara dengan suara pelan, mengikuti tata cara yang pernah dibacanya di internet.
Boneka jailangkung itu mendadak berdiri tegak, seakan-akan ada tangan tak terlihat yang menopangnya. Tangan kayunya bergerak-gerak, seperti mencoba menulis sesuatu di udara. Rara, Dika, dan Fani menahan napas, menunggu dengan cemas.
Tiba-tiba, terdengar suara berbisik yang tidak berasal dari salah satu dari mereka. Suara itu terdengar jauh, namun jelas, “Aku… di sini…”
Wajah Fani menjadi pucat seketika, sementara Dika mulai menggigil. “Ini 0 pinggir desa. Banyak yang mengatakan bahwa Mbah Surti memiliki pengetahuan tentang dunia gaib dan sering membantu penduduk desa yang mengalami hal-hal aneh.
Dengan langkah berat namun tekad yang kuat, mereka pergi ke rumah Mbah Surti, berharap mendapatkan jawaban dan cara untuk mengusir bayangan yang telah mengganggu hidup mereka. Mereka sadar, bahwa apa yang dimulai sebagai permainan kini telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih serius dan berbahaya.
Namun, di balik rasa takut itu, ada satu hal yang pasti: mereka tidak akan menyerah. Bagaimanapun, mereka harus menghentikan teror yang telah mereka undang sendiri, sebelum semuanya terlambat.
Pagi itu, suasana di rumah Mbah Surti terasa sunyi dan angker. Pohon-pohon tua di sekitarnya menjulang tinggi, memberikan kesan bahwa tempat ini terlindung dari pandangan dunia luar. Rara, Dika, dan Fani berdiri di depan pintu kayu yang tampak kusam, ragu-ragu untuk mengetuk. Mbah Surti adalah satu-satunya harapan mereka, tetapi mereka tidak tahu apakah orang tua itu bersedia membantu.
Dika, yang biasanya berani, akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu. Suara ketukan terdengar begitu keras di tengah kesunyian, membuat mereka bertiga semakin gugup. Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang wanita tua dengan rambut putih yang dikepang rapi dan mata yang tajam, seolah bisa menembus hati siapa pun yang dilihatnya.
“Kalian yang memainkan jailangkung itu, ya?” Mbah Surti berbicara tanpa basa-basi, seolah-olah sudah tahu alasan kedatangan mereka.
Rara mengangguk pelan, matanya menunduk. “Kami… tidak tahu kalau itu akan jadi seperti ini, Mbah,” jawabnya lirih.
Mbah Surti mengangguk pelan, lalu mempersilakan mereka masuk. Di dalam rumah, aroma dupa menyebar, membuat suasana semakin mistis. Mereka duduk di lantai yang dilapisi tikar anyaman, sementara Mbah Surti menyalakan lilin kecil di altar yang dipenuhi sesajen.
“Jailangkung itu bukan permainan biasa,” kata Mbah Surti dengan suara lembut namun penuh wibawa. “Kalian telah membuka pintu ke dunia lain, dan sekarang, makhluk dari sana merasa punya hak untuk tinggal di sini.”
Dika menelan ludah, merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan. “Apa yang harus kita lakukan, Mbah? Bagaimana cara kita mengusirnya?”
Mbah Surti memejamkan mata, sejenak terdiam seperti sedang berkomunikasi dengan sesuatu yang tak terlihat. Setelah beberapa saat, dia membuka matanya dan berkata, “Makhluk itu merasa dipanggil oleh kalian, dan sekarang ia terikat pada dunia ini. Tapi ada cara untuk mengirimnya kembali.”
Rara, Dika, dan Fani mendengarkan dengan seksama saat Mbah Surti menjelaskan bahwa mereka harus melakukan ritual pemulangan di tempat yang sama mereka memanggil makhluk itu. Mereka harus membawa kembali jailangkung yang digunakan, serta mempersiapkan sesajen tertentu untuk menenangkan arwah tersebut.
“Namun, ritual ini berbahaya,” lanjut Mbah Surti. “Kalian harus tetap tenang dan tidak boleh menunjukkan rasa takut, karena makhluk itu akan mencoba memanfaatkan ketakutan kalian.”
Mereka bertiga saling pandang, merasa gentar namun tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri teror yang mereka mulai. Dengan hati-hati, mereka mengumpulkan semua yang diperlukan, mengikuti instruksi Mbah Surti dengan saksama.
Malam itu, mereka kembali ke rumah tua, tempat di mana semuanya dimulai. Angin dingin berhembus kencang, seolah-olah memperingatkan mereka untuk tidak melanjutkan. Tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Dengan tangan gemetar, Rara meletakkan jailangkung di tengah lingkaran yang mereka buat, dikelilingi oleh sesajen yang Mbah Surti perintahkan.
Saat mereka mulai mengucapkan mantra pemulangan, suasana di sekitar mereka berubah drastis. Udara menjadi semakin dingin, dan suara gemuruh terdengar dari segala arah. Bayangan hitam yang mereka lihat sebelumnya muncul lagi, kali ini tampak lebih besar dan lebih mengerikan.
“Kalian harus tetap tenang!” Dika berteriak mengingatkan, meskipun suaranya nyaris tenggelam dalam kegaduhan yang terjadi.
Mereka melanjutkan mantra dengan suara lebih keras, meskipun ketakutan mulai merayap ke dalam hati mereka. Bayangan itu mendekat, dan sejenak tampak seolah-olah mereka akan gagal.
Namun, tiba-tiba suara angin kencang terdengar, melingkupi mereka dalam pusaran yang hebat. Sesajen mulai bergetar, dan jailangkung yang mereka gunakan bergerak sendiri, menari-nari di dalam lingkaran.
Dengan teriakan terakhir, mereka menyelesaikan mantra pemulangan, dan seketika itu juga, bayangan hitam tersebut lenyap, tersedot kembali ke kegelapan. Udara mendadak hening, dan lilin yang mereka nyalakan berkedip sebelum padam.
Rasa lega yang luar biasa menyelimuti mereka. Meskipun masih ketakutan, mereka tahu bahwa makhluk itu telah kembali ke tempat asalnya.
“Kita berhasil,” bisik Fani, hampir tidak percaya.
Mereka meninggalkan rumah tua itu dengan langkah ringan, seolah-olah beban besar telah diangkat dari bahu mereka. Saat matahari mulai terbit di ufuk timur, mereka sadar bahwa malam kelam telah berakhir, dan dengan itu, teror yang menghantui mereka juga lenyap. Mereka berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah bermain-main dengan hal-hal yang tidak mereka pahami lagi.
Di kejauhan, rumah tua itu tampak sunyi dan kosong, kembali menjadi sekadar bangunan tua yang dilupakan waktu. Namun, mereka tahu, di dalamnya, cerita mereka akan selalu tersimpan, menjadi pelajaran bagi siapa pun yang berani memainkannya.
TAMAT🙏