Kumohon Pergilah

“Selamat ya! Akhirnya setelah perjuangan panjang nan melelahkan nyampae juga kamu dititik ini.” Ujar teman. Kami biasa menyebutnya Si Paling Puitis.

“terima kasih duhai, ini jua berkat doa darimu.” aku tersenyum sambil mengikuti gaya puitisnya.

“Wah, kamu keren banget.!” Kata teman satu kelas dan juga teman seorganisasi di Kampus.

“Ah kamu bisa aja. Kamu juga keren kok bisa lulus malahan jauh sebelum aku.” Jawabku sembari kembali memamerkan senyum yang entah kenapa tak pernah lepas dari bibir. Kami saling lempar candaan menambah riuh suasana. Aku sangat bersyukur memiliki teman-teman sebaik dan sepeduli mereka. Mengingat kondisi fisikku yang tak sama dengan mereka. Namun, mereka tak canggung sama sekali berteman denganku. Masih terkenang lekat dalam ingatan dulu waktu aku masih menyandang predikat MABA. Kala itu rasanya sangat cemas, bingung, takut, tapi anehnya perasaan-perasaan tersebut tertindih dengan rasa antusias yang sungguh mengejutkan bahkan untuk diriku sendiri.

“Deny, selamat wisuda ya.” Semua seakan berhenti. Saking hebatnya pengaruh suara itu untuk diriku, jantung ini terasa melorot dari tempatnya, badanku tiba-tiba kaku. Sekuat tenaga aku mengumpulkan semangat dan mencoba bersuara, tapi sebaliknya yang keluar suara seperti orang tercekik.

“Den, kamu inget kan, ini Dinda. Dia satu kelas sama kita kok. Eh, kita dulu berapa semester sih satu kelas yang ada Denynya?” aku bungkam. Aku tak lagi mendengar apa yang teman-temanku obrolkan, alih-alih aku justru melayang jauh mundur ke masa-masa itu.

***********

Flashback

Halilintar berdegam di atas sana. Hujan bak ditumpahkan dengan sengit dari langit. Aku berdiri putus asa sambil menyandar pada tembok sial sekali gumamku pada diri sendiri. Aku menajamkan pendengaran, tapi yang terdengar hanyalah suara air yang berkecipak dan deru angin yang terasa dingin dikulit. Kembali aku mengecek ponsel., masih sama saja. Siapa juga yang kesudian basah-basahan sekalipun dibayar. Beberapa waktu lalu aku memesan ojek lewat aplikasi. Namun, berhubung hujan begitu deras tentu saja Si Empunya motor enggan menerima pesanan tersebut.

tunggu hujannya berhenti dulu ya, kak atau silahkan batalkan saja. Ujarnya. benar-benar sialan! Tak henti-hentinya aku memaki dalam hati. Setelah aku menimbang-nimbang beberapa kejap akhirnya aku memutuskan untuk membatalkan pesanan dan kembali memesan ojek mobil. Namun, belum sempat aku melaksanakan niatan tersebut, tiba-tiba terdengar sapaan dari arah kiri.

”sendirian Den?”

“ iya. Maaf siapa ya? Tanyaku spontan.

“Dinda, kita satu kelas kok.” Katanya lembut. Dari suaranya cewek ini tengah tersenyum.

“o gitu, maaf ya, aku masih belum hafal banyak nama dan suara,” jawabku sedikit canggung.

“gapapa kok, aku juga masih belum kenal semua teman kita di kelas kok.” Katanya menenangkan.

“kamu ngapain kok belum pulang?” tambahnya lagi.

“ya nih, aku baru aja selesai ngerjain tugas dari pak Bowo. Kalau kamu sendiri kenapa masih di kampus. Kayaknya tadi di kelas Cuma aku doang yang masih ngerjain. Ini aja kunci kelas masih aku pegang.”

“aku baru aja dari perpus Fakultas. Kebetulan ngelihat kamu, yaudah aku samperin aja. Ucapnya sambil lagi lagi tersenyum. Cewek ini ramah banget ya kayaknya, nilaiku dalam hati.

“oh gitu ya?” balaskupendek. Jujur aku bingung harus merespon bagaimana, karena pada dasarnya aku bukan pribadi yang gampang ngobrol dengan sembarang orang. Biarpun katanya kami sekelas, toh nyatanya kami baru sekali ini berinteraksi. Namun, seketika aku teringat masih membawa kunci kelas berhubung ada mahasiswa apalagi dia mengaku sekelas akhirnya aku kembali buka suara.

“eh, btw, ini kunci dibalikinnya ke mana sih?”

“mau aku bantu kembaliin gak?” tawarnya.

“emang gak ngerepotin?” sahutku basa-basi padahal dalam hati sangat berharap dibantu.

“Aman. Kamu bawa payung gak? Soalnya payungku kecil nih kalo buat payungan kita berdua kayaknya gak bakal muat.“

“aduh! Iya ya, aku gak bawa lagi, gimana dong.” Balasku dengan ikutan berpikir apa yang harus dilakukan.

“kalau gitu tunggu hujan reda dulu deh ya.” Putusnya setelah saling diam beberapa detik. Aku hanya menganguk sebagai bentuk persetujuan. Namun, hujan masih saja turun dengan deras. Seakan semesta dan hujan itu sendiri sedang berkonsfirasi menjebak dua insan agar bersama sedikit lebih lama pada sore itu.

Baca:  Aku, Biru Putihku

*******

Di dalam mobil

Aku bersyukur dengan kehadiran keluargaku beberapa menit yang lalu. Persis disaat aku tengah menata hati, kedua orang tua dan adik perempuanku datang, segera aku mangalihkan topik pembicaraan dan bergegas pamitan dengan teman-temanku. Tak lagi berpanjang kata, aku langsung saja mengajak adikku menuju parkiran.

“Mas kenapa?”

“gapapa,” balasku singkat.

“yang bener?” aku merasa adikku sedang menyelidik, karena suaranya terasa dekat dengan telinga.

“apa sih?” aku menghadapnya dan menelusurkan tangan mencari kepalanya untuk aku acak-acak rambutnya. Namun, tentu saja adikku menepisnya dan justru menyentakan jantungku dengan pertanyaannya.

“cewek yang tadi siapa, mas?”

“temen. Emangnya kenapa?” aku mencoba menjawabnya dengan tanpa kesan. Padahal rasanya dag dig dug. Entah hanya perasaan atau benar-benar dibalik kediaman kedua orang tuaku, mereka lagi menyimak tiap kata yang keluar dari mulut kami berdua, terutama mulutku. Pertanyaan apa kamu sudah punya pacar tak hanya sekali dua kali mereka tanyakan. Heran, seakan aku tak laku saja. Walaupun kayaknya mereka ada benarnya juga sih. Ucapku pada diri sendiri.

“kalo pun ada apa-apa juga nggak masalah kok, Mas.” Nah kan benar, akhirnya paduka raja buka suara. Alih-alih menjawab aku justru menarik rambut adikku gemas. Karena bagaimanapun percakapan tak menyenangkan ini bermula darinya.

“nggak cantik juga nggak masalah kok, Mas. Yang penting dia bisa sayang dan mau nerima…”

“yang penting dia bukan difabel ya, Bun.” potongku dengan nada sarkastis. Entah bagaimana percakapan ini selalu muncul dalam tiap pembahasanmengenai siapa pasangan yang cocok untukku. Seolah orang lain akan senang hati jika anaknya bersanding dengan diriku yang seorang difabel. Hatiku seketika perih. Dulu saat aku masih berada di SLB, aku mempunyai kekasih seorang difabel daksa. Kupikir karena aku adalah penyandang disabilitas, maka orang tuaku akan biasa saja dengan hubungan kami berdua, tapi ternyata aku terlalu naif. Keduanya menentangnya habis-habisan terutama ibuku. Menurutnya sangat memalukan jika aku bersanding dengan seorang difabel. Sungguh keduanya begitu egois! Semenjak itu aku tidak mau lagi membicarakan apapun terlebih permasalahan romantisku.

Mendapati Kakak Laki-Laki dan kedua Orang Tuanya siap adu mulut, Adikku memecahnya dengan melontarkan kalimat apa saja agar kami bertiga teralihkan. Sekalipun aku berterima kasih padanya, tapi aku tetap memasang wajah masam. Untuk beberapa saat ketegangan masih menggantung menemani sepi yang memerangkap kami berempat dalam kendaraan berbentuk kotak tersebut hingga sebuah musik yang terlampau dekat di hati ini mengalun pelan dari ponsel Adik perempuanku.

“Oh, ku menembus ruang dan waktu, terjalin gelak tawa, sedih dan merayu, bersanding bersama dirinya. Hoo, hanya satu yang kupinta menjaga bunga abadi yang telah kuberi di dalam perjalanan hidupnya.” Aku tercenung demi mendengar lagu tersebut. Sialan betul adikku ini, setelah membuat aku dan orang tuaku hampir saja baku hantam, kini dirinya malah memutar lagu keparat itu.

********

Tunas Yang Mulai Tumbuh

“eh, diem dulu deh.” Ucap cewek disebelahku. Aku tertawa dalam hati, baru sedetik lalu dia meminta aku diam, tapi dengarlah dirinya yang justru mencerocos mengenai lagu yang diputar.

“lagunya bagus ya? Kayak yang romantis gitu loh, tau nggak penyanyinya siapa, aku suka banget dengerin lagunya, kalo kamu sukanya lagu apa? Genre apa. Heh, kok diem aja sih, aku ngomong sama kamu loh!” ia menyenggol lenganku tatkala aku hanya bungkam.

“lah tadi nyuruh diem, kan?” jawabku sengaja menggodanya.

Kupikir setelah pertemuan sore itu, kami tidak akan lagi bertemu, atau minimal saling bertegur sapa. Bukannya aku masalah jika hal tersebut benar-benar terjadi. Bagiku setiap pertemuan tidak harus selalu ada kelanjutannya. Namun, agaknya pertemuanku dengannya kala itu membuat kami yang tadinya tak pernah bertegur sapa, di momen tertentu khususnya saat kebetulan satu kelas sesekali dia menyapa bahkan kadang saat tengah menunggu Dosen, kami sempat bertukar dua tiga kata.

Dari dua tiga kata tersebut kami mulai akrab hingga saling tukar nomer HP, ditambah lagi beberapa kali kami kebetulan berada dalam kelompok yang sama. Contohnya seperti saat ini, kami dijadikan tim untuk mengulas sebuah karya sastra lama jenis Gurindam. Alih-alih fokus membahas dan mencari materi, kami malah saling bersajak yang bahkan tak nyambung sama sekali dengan pembahasan yang tengah kami pelajari.

“Dek, tolong dibantu Masnya, Mas. Tidur ya?” seru ibuku. Aku tersentak dari lamunan.

“mas hati-hati kepalanya,” Adikku membimbingku, tapi aku hanya diam saja. Pikiranku sedang berkelana kembali.

“aduh.”

“kenapa, ada apa?” tanyaku ingin tahu apa yang terjadi.

“hujan, Den, gimana dong, udah jam segini lagi.” Gumamnya hampir pada dirinya sendiri.

“kenapa, kamu ada janji sama orang?” tanyaku hati-hati.

“nggak kok, tapi motornya mau dipinjem teman.”

“oh gitu, tapi kayaknya nggak terlalu deras kan, soalnya suaranya nggak kenceng gitu” Sungguh Aneh, kenapa rasa lega yang kurasakan tatkala mendengar jawabnya.

Baca:  Puisi: Jarak dan Kenangan

“nggak sih, tapi ya lumayan kalo jalan sampai parkiran mah. Timpalnya.

Entah inisiatif dari mana aku melepas jaket yang kukenakan dan menawarkannya untuk dia pakai mengambil motor. Sejenak gadis itu tergelak dan berseru,

“aduh, aduh. baiknya, belajar dari mana sampai punya ide secerdas itu?” katanya masih sambil tertawa. Aku menjadi gugup. Sungguh itu diluar kontrolku, tiba-tiba saja gagasan itu muncul begitu saja saking leganya diriku, tapi kenapa aku lega?

“woi malah bengong lagi. Kebiasaan deh.”

“eh, gimana?”

“payungi dong. Malah bengong. Tau deh yang tinggi.”

“maksudnya?” tanyaku kebingungan.

“sekalian aja kita ke parkiran bareng, emangnya kamu mau ditinggal sendiri di sini?”

“berdua?” aku masih dalam mode lemot rupanya.

“ya lah.” Jawabnya tegas.

Akhirnya aku hanya pasrah sembari menenangkan jantung yang seketika berdegup kencang. Aku khawatir kalau kalau gadis disebelahku akan mendengarnya. Posisi kami selayaknya sepasang kekasih dengan sebelah tangannya memeluk pinggangku yang otomatis tubuh kami saling merapat, sedangkan aku membntangkan jaket menutup kepala kami berdua.

“Oh, ku menembus ruang dan waktu, terjalin gelak tawa, sedih dan merayu, bersanding bersama dirinya. Hoo, hanya satu yang kupinta menjaga bunga abadi yang telah kuberi di dalam perjalanan hidupnya.”

Sayup-sayup aku mendengar dia bersenandung. Akhirnya akupun ikut menyanyikan lagu tersebut. Benar saja dugaanku, saat dirinya mendengar aku bisa mengikuti liriknya, dia terkejut. Namun, disaat berikutnya kami justru menyanyikan lagu itu keras-keras yang tentu saja diselingi tawa dari bibir kami berdua.

********

Berkelana Dalam Kenangan

Jujur canggung sekali dibonceng begini, tapi apalah daya jika aku yang menyetir apa tidak malah alam kubur yang kami sambangi alih-alih kost masing-masing. Sepanjang jalan aku menahan malu, bagaimana tidak? Seorang lelaki gagah tinggi, tapi dibonceng cewek. Saking gak nyamannya ketika aku mendengar suara cowok entah dari arah depan, belakang, samping, aku menegakkan badan seakan aku ingin menunjukkan aku ini laki-laki tulen. Aku tersenyun geli sekaligus pahit mengingat itu semua. Betapa waktu berlalu begitu cepat dan kejam.

“apa kita bisa wisuda bareng, ya?” kataku siang itu, kebetulan hari itu ada beberapa teman satu kelas yang wisuda, sebagai bentuk solidaritas akhirnya kami berdua datang.

“semoga, makanya kamu harus serius ngerjainnya. Aku yakin kamu pasti bisa kok.” Aku hanya tersenyum kaku menanggapinya.

“ayolah, semangat dong.” Ucap cewek yang duduk disebelahku sambil menepuk pundakku beberapa kali.

“entahlah, aku ngerasa ini semua terlalu berat. Tau kan, website yang aku jadiin subyek penelitian susah banget buat ngerespon, wawancara juga Cuma sekali doang. Belum lagi aku ini dari SLB, di sana tuh soal-soal akademis gitu tuh gak terlalu dikedepankan. Terus dari pihak kampus sendiri nggak ada perbedaannya antara difabel dan non difabel, jujur aku juga nggak suka kalo dibedakan, tapi kan harusnya ada kebijakan khusus gitu.” Jelasku panjang lebar. Tiba-tiba perasaanku menjadi mellow, mungkin karena atmosfer wisuda yang terasa begitu penuh keceriaan.

“aku paham kok, ini berat banget buat kamu, aku coba bantu semampuku ya.”

“makasih.” Balasku pasrah. Ada bagian dari diriku yang enggan menunjukkan kelemahan terlebih pada cewek disebelahku, tapi bagaimana, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Kadang terlintas juga buat nyari jasa sekripsi, tapi aku tidak yakin kalau aku tidak akan menyesali keputusan besar tersebut.

aku menghisap kuat-kuat rokok yang kupegang. Rasanya semakin kukenang semakin nyeri hati ini.

“Selamat ya, tinggal selangkah lagi.” Seruku sembari memberikan senyuman terbaik.

“makasih ya, Den. Eh, btw ke sini sama siapa?” tanyanya sembari membimbingku duduk dikursi depan ruang sidang.

“sendirian. Aku kan kepo kayak gimana prosesnya sidang sekripsi itu.”

“eh, aku mau nemuin temen-temen di taman fakultas, kamu gimana, mau ikut atau mau gimana?” tanyanya sembari memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Aku terdiam sesaat, sejujurnya aku kecewa, kupikir setelah ini kami bisa keluar berdua seperti biasanya dan bersiap jadi pendengar setia sebagaimana biasanya pula.

“boleh, ikut deh.” Kataku akhirnya.

Terkadang aku lupa bahwa seseorang yang banyak menghabiskan waktu dengan kita ternyata di luar sana juga memiliki kehidupan lain, teman-teman lain. Fakta itu begitu sangat menohok hatiku. Kupikir kami Cuma punya satu sama lain. Belum lagi nampaknya dia juga punya teman laki-laki yang dari pengamatanku mereka sangat akrab sekali. Kenyataan itu sungguh meruntuhkan segala yang selama ini aku pikirkan tentang kami.

Aku sadar Meratapi apa yang telah terjadi memang tidak ada gunanya. Namun, sebagai manusia biasa aku merasa menyesal, seandainya saja aku tak harus ikut dengannya waktu itu, seandainya pertemuan di sore itu tidak pernah terjadi, seandainya aku tidak jatuh pada tutur katanya yang lembut, perhatiannya yang tulus, sikap serta tingkah lakunya yang santun. Seandainya cinta itu tidak pernah tumbuh.

Aku tidak tahu bagaimana persisnya, tiba-tiba saja kami seperti orang asing. Tiba-tiba saja kami saling menjjauh. Dia yang selalu mengisi hari-hariku yang monoton, dia yang selalu bisa membuatku tertawa bahkan saat aku sedang tidak ingin tertawa, mendadak bak ditelan bumi.

Baca:  Di Tengah Kisah

Aku sungguh ingin tahu apa aku berarti untuknya? Apa aku pernah barang sebentar saja ada di hatinya? Aku tahu, aku bodoh dengan segala pertanyaan yang tak pernah tersampaikan langsung padanya. Aku mempermainkan ponsel, berharap dia membalas pesan atau sebagainya, tapi dua jam telah berlalu dari terakhir aku mengiriminya pesan.

*******

Tunas Yang Meranggas

“Mas beneran nggak ikut pulang sekalian?” Ibuku bertanya untuk ketiga kalinya. Namun, jawabku tetap sama, aku masih ingin di kost barang beberapa hari lagi.

“ya udah kalo gitu, tapi ngabarin rumah kalo mau pulang biar Ayah bisa jemput.” Kata Ibuku akhirnya tatkala aku besi keras untuk tinggal. Ada baiknya juga rupanya perbincangan menyebalkan di mobil tadi, jika tidak belum tentu Ibuku akan mengizinkan aku tetap di kost beberapa hari kedeppan.

“kalo mau pulang ngabarinnya jangan dadakan ya, Mas?” kali ini Ayahku yang bicara. Lagi lagi aku hanya menganguk saja.

Sebetulnya ini diluar rencana, tadinya setelah kami selesai dari kampus aku langsung pulang bersama keluarga. namun, kedatangan cewek itu membuatku bimbang, padahal belum tentu kedatangannya dikhususkan untukku, tapi rasa-rasanya aku tidak akan pernah tenang bila masalah hati ini tidak segera terselesaikan. Itu sebabnya aku mengirim pesan untuk bertemu malam nanti. Aku memijit pelan pelipis, mengenyahkan denyut-denyut menyakitkan.

******

Aku terbangun jam lima lebih delapan menit. Ternyata disaat hati bergemuruh pun aku masih bisa tertidur. Walau begitu entah kenapa badanku masih terasa lunglai, hati pun masih saja sakit. Apalagi saat aku mengecek ponsel, hatiku mencelus. Ada satu panggilan tak terjawab dan sembilan pesan dari beberapa nomer. Namun, hanya satu nomer yang aku periksa pesannya. Hai Den, aku kebetulan belum balik. Boleh, nanti malam di kafe biasanya ya, atau kamu punya tempat rekomended lainnya? Aku hanya mengetikkan balasan oke di kafe biasanya jam tuju ya?

*******

Aku mondar-mandir di dalam kamar kos berkali-kali aku menghembuskan napas panjang. namun, anehnya rasa gundah ini tak juga berkurang, Sesekali aku menengok jam di ponsel, padahal ini sudah jam tujuh lebih, tapi aku masih belum berangkat. Letih berdiri akhirnya aku duduk sembari mengumpulkan segenap kekuatan, aku harus berani. Aku harus hadapi ini semua.

******

“sehat, Den?”

“kayak yang kamu lihat, aku sehat kok.? Balasku susah payah menerbitkan seulas senyum.

“aku seneng dengarnya. Oya, selamat ya. Aku tahu kamu pasti bisa sampai dititik ini.” Timpal cewek yang duduk dihadapanku. Aku lagi lagi tersenyum menanggapi kata-katanya. Pada akhirnya aku memutuskan datang. Apalagi yang mengajak ketemuan kan aku. Selanjutnya hanya keheningan yang merajai.

“kamu udah dari kapan di sini, maksudku di kota ini.?” Aku mencoba mengarahkan pembicaraan sesuai dengan tujuan awal aku datang ke tempatini.

“kemarin malam aku nyampai.”

“oh, bawa kendaraan sendiri?” aku menekan kuat-kuat hatiku agar tidak terlihat olehnya jika aku tengah kecewa. Setelah dirinya wisuda hingga siang tadi aku sama sekali tidak ada komunikasi lagi dengannya, terlebih setahuku dia sudah pulang kampung. Tapi mendengarnya kembali dan tidak memberitahuku rasanya seperti diiris sembilu.

“nggak, aku naik kereta. Kamu ingat Fafa? Aku semalam menginap di sana. Kasihan tau, dia kan orang seberang dan tau nggak orang tuanya nggak dateng ke wisudanya tadi. Tapi semoga kehadiranku dan pacarnya bisa sedikit mengurangi kesedihannya.” Katanya panjang lebar. Rasanya aku ingin berteriak, aku juga butuh kehadiranmu, nggak Cuma sekarang tapi dulu hingga nanti. Namun, yang keluar dari mulutku adalah.

“emang siapa pacarnya?”

“anwar.”

“anwar si paling puitis?” tanyaku agak terkejut.

“ya,” jawabnya geli. Aku menyumpah dalam hati, cowok kampret itu mengaku datang khusus untukku. Ternyata. Tanpa aku sadari aku tertular keceriaan yang cewek ini pancarkan. Hingga beberapa saat kami tertawa lepas. Namun, sekejap keceriaan itu amblas seketika.

“Den, aku sengaja dateng bukan Cuma buat Fafa, tapi juga untuk kamu.?

“maksudnya?” aku berdebar-debar dibuatnya.

“ya, aku sengaja dateng buat ngelihat orang yang aku kagumi akhirnya berhasil juga nyelesain tugasnya. Den, aku bingung mau ngomong dari mana.” Suaranya semakin lama semakin pelan nyaris aku tak mendengarnya.

“Din, kamu kenapa?” tanyaku sambil hendak memajukan tangan, tapi urung, aku takut dia akan tersinggung.

“Den, maaf. Waktu itu aku tiba-tiba ngilang gitu aja.” Deg! Darahku berdesir. Seketika tubuh terasa lemas. Inikah akhirnya? bukankah mestinya aku yang mengonfrontasi dirinya, tapi ini malah dia yang memberikan penjelasan tanpa aku minta seakan ia mengetahui isi hatiku, hal itu membuatku bertanya-tanya di sini siapa yang cowok sebenarnya? kenapa cewek ini begitu percaya diri dan berani mengakui kesalahan sendiri, cewek ini benar-benar istimewa.

“kenapa, Din. Kenapa kamu tiba-tiba nggak pernah ada kabar, tiba-tiba ngejauh?” tanyaku apa boleh buat. Dia duluan yang masuk dalam pembahasan dan tugasku adalah meminta penjelasan yang aku sendiri tidak pernah berani untuk mengutarakan langsung padanya.

“maaf, Den. Aku tau sikapku emang jahat. Dan udah semestinya kamu benci aku.”

“kamu tau bukan itu yang aku tanyakan,” kejarku.

“kamu yakin

 

Bagikan artikel ini
M. Amin Hambali
M. Amin Hambali

Saya sangat membaca novel. Karena dengan membaca saya merasa mungkin diri ku memang terbatas tidak bisa kemana-mana tapi dengan baca imajinasi ku bisa kemana-mana

Articles: 1

Leave a Reply