Jakarta – Kembali bangsa ini disuguhi oleh kebijakan publik yang nyatanya tidak berpihak pada masyarakat. Rencana penghapusan sistem pengumuman suara (voice announcement) oleh PT Angkasapura I di bandara Juanda mulai 1 Juni, jadi bukti lain kebijakan yang tidak akomodatif bagi kebanyakan orang. Rakyat, dalam hal ini pengguna jasa bandara, yang seharusnya dilayani layaknya raja, diabaikan kenyamanannya. Namun di luar semua itu, penyandang disabilitas, khususnya tunanetra, posisinya lebih dirugikan, dan entah apakah hal itu disadari tidak oleh pembuat kebijakan.
Sistem pengumuman informasi penerbangan yang baru itu dinamakan silent announcement. Pengumuman jadwal kapan dapat check in, antri untuk boarding ke pesawat, atau perubahan jadwal, lazimnya selama ini diinformasikan via alat pengeras suara. Akan tetapi tradisi itu akan diubah oleh PT Angkasapura I dan menggantinya dengan running text pada layar-layar di lokasi-lokasi strategis sekitar bandara. Menurut pengelola, pengumuman suara yang hampir tiap menit dianggap “bising” dan mengganggu kenyamanan penumpang.
Pertama, ada logika atau jalan berfikir yang agak keliru pada keputusan ini. Pada dasarnya, perubahan kebijakan itu dimaksudkan untuk meningkatkan kenyamanan penumpang yang menurut mereka merasa ‘bising’. Akan tetapi, pernahkah Anda yang selama ini menggunakan jasa bandara, merasa ‘dibisingkan’ oleh suara-suara lembut berintonasi tegas dari pengeras suara yang ada di bandara? Bahkan kita sudah anggap pengumuman suara itu sebuah kelaziman yang selama ini membantu mengingatkan penumpang dengan sabarnya. Bisa jadi apabila itu dihilangkan, bandara menjadi sunyi dan ada yang terasa ganjil.
Selain itu, apabila yang menjadi tujuan adalah kenyamanan penumpang, maka meminta untuk selalu memperhatikan running text rasa-rasanya bukan sebuah kegiatan yang nyaman untuk dilakukan. Antara indera pendengaran dan penglihatan, telinga kita mampu menangkap informasi lebih luas dan fleksibel. Sedangkan mata, hanya mampu fokus pada satu sisi. Selama ini kita nyaman mengobrol atau makan bersama rekan tanpa perlu takut ketinggalan pesawat sebab pengumuman suara yang ada akan selalu membuat waspada. Berbeda apabila harus selalu memperhatikan layar running text, maka makan atau mengobrol tidak akan nyaman lagi.
Logika berikutnya yang perlu dicermati adalah tujuan pengelola bandara untuk membuat penumpang lebih disiplin. Penulis sepenuhnya setuju bahwa kita sebagai penumpang memang harus menggalakkan sikap disiplin. Akan tetapi, reputasi bandara-bandara kita sangat identik dengan delay atau penundaan keberangkatan. Bahkan bandara-bandara terbaik di Amerika atau Eropa pun tak mungkin sepenuhnya tidak mengalami yang namanya delay. Bisa jadi kita sudah disiplin dengan datang tepat waktu dan mengikuti proses sesuai dengan jadwal. Tapi tidak membaca running text atau pengumuman yang sudah terlewat mengenai delay jadwal, dapat membuat kecewa setelah jalan jauh-jauh ke gate pemberangkatan.
Di samping itu, rasanya tak adil apabila kondisi tiap penumpang disama-ratakan. Ada kalanya seseorang memang pelupa atau terlalu asyik mengobrol dengan orang lain dan tak sadar bahwa pesawatnya sudah akan segera berangkat. Tanpa adanya pengumuman suara yang biasa memanggil nama penumpang apabila diketahui belum boarding sedangkan pesawat sudah akan tinggal landas, maka kemungkinan besar ia akan tertinggal. Jadi, lebih tak nyaman mana antara pengumuman suara yang sebetulnya tak pernah dikeluhkan sebagai suatu kebisingan, atau tertinggal pesawat?
Apabila kehebohan akibat dihilangkannya sistem pengumuman suara bagi penumpang umum sudah dapat dibayangkan, maka kesulitan lebih besar yang akan dialami oleh penumpang dengan disabilitas mungkin terabaikan. Dalam kasus ini, pihak yang paling merasakan dampaknya adalah para penyandang disabilitas penglihatan atau tunanetra. Dengan situasi pendengaran sebagai indera yang paling diandalkan, tak adanya pengumuman suara akan jadi masalah tersendiri. Sedangkan untuk mendapatkan informasi dari running text itu mustahil kecuali ada orang awas (sighted person) yang membantu membacakan. Akan tetapi, itu tentu akan jadi merepotkan orang lain.
Kekhawatiran ini bukan karena para tunanetra tidak mau diajak disiplin atau anti pada perubahan. Mereka juga sama seperti penumpang lain pada umumnya, ada yang pada kondisi tertentu datang sedikit terlambat. Satu hal yang dirisaukan adalah apabila ada perubahan jadwal atau gate keberangkatan, maka informasi tersebut akan missed, dan kacaulah rencana bepergiannya.
Selain itu, kebijakan tersebut juga melanggar hak penumpang dengan kebutuhan khusus seperti tunanetra yang harus dapat mengakses informasi penerbangan dengan nyaman. Aturan tersebut jelas tertera di UU no 1 tahun 2009 mengenai penerbangan, tapi tak ada gunanya membahas perundangan di sini. Nyatanya banyak kebijakan yang jelas-jelas tak sesuai aturan pun tetap dilaksanakan. Kita bicara saja mengenai logika dan bagaimana prinsip layanan publik yang seharusnya mengakomodasi kebutuhan masyarakat tanpa terkecuali.
Pada akhirnya, tulisan ini membawa kita pada satu pertanyaan, sudahkah konsumen diperlakukan layaknya seorang raja? Seorang raja yang ingin dipenuhi segala kebutuhan dan dijamin kenyamanannya. Bukan jadi pelayan publik yang ‘mbalelo’ dengan mengorbankan kepentingan rajanya dengan kebijakan yang tidak akomodatif, terburu-buru, dan terkesan dipaksakan. Lalu jika konsumen adalah raja, mengapa penyandang disabilitas yang memenuhi kewajiban sama selalu terabaikan? Padahal tak ada konsesi khusus di negara ini. Tiket yang dibayarkan sama, airport tax pun dipenuhi. Tapi masih saja hak-hak penumpang dengan kebutuhan khusus diabaikan. Sudahkah penyandang disabilitas dianggap juga sebagai konsumen yang harus dilayani bagaikan raja?(DPM)