Tahukah kau akan kisah klasik di era modern?
Yang kisahnya piawai membawa diri ke dalam bilik nurani?
Yang kisahnya mampu mengulik harga mati akan hati?
Yang kisahnya menggetarkan sebeluk relung terdekapi?
Ingatkah kau akan suatu masa?
Saat kau beranjak merangkak, berdiri, lalu berjalan
Kedua tungkaimu kuat tak tercela
Buku-buku jemarinya terhiasi dalam naungan engsel yang apik
Tapi, cobalah kau lihat ke sampingmu!
Tepat yang ada di antaramu
Rasakan dengan hatimu
Hiasi dengan jiwamu
Tergerakkah hatimu akan kisahnya?
Kisah seorang yang tua dengan segara ketiada berdayaannya!
Kisah sang perkasa dengan hati bajanya!
Kisah sang penyabar dengan kasih sayangnya.
Kau mungkin tak mengenalnya
Tapi, aku mengenalnya jauh sedalam aku mengenangmu
Ia ada di sekitarku, kakek tua dengan nyawa ditangannya
Kakek tua dengan cangkul ditangannya
Tapi, cobalah rentangkan matamu lebih dalam
Nyalakan apinya, hingga mampu menerka apa yang ada padanya
Takkah kau lihat, jari jemarinya yang hanya tiga ruas –jempol, kelingking, dan telunjuk
Mampu memegang kokoh besi berkayu yang ada di tangannya
Bila kau telah mendapatinya, pusatkan matamu kesebelahnya.
Akan kau lihat keadaan yang tak jauh berbeda dari sebelumnya
Gundukan daging itu hanya berupa daging tanpa tulang; menghiasi telapak tangannya
Untunglah darah kerja kerasnya berdesir, hingga ia dan gundukannya bertahan
Nah, setelah itu, lihat apa yang diseretnya
Tepat di bawah kakinya
Takkah kau lihat jemarinya tak ubahnya dengan jari tangannya?
Hanya tersisa kelingking dan jempol saja
Tapi, oho, hal itu tak membuatnya lantas terdiam
Terpekuk dalam keadaan malang sangat
Dengan wajah tiara akan kesedihan, duduk meminta orang
Tidak. Kakek tua tidak begitu
Ia dengan darahnya yang berdesir tajam, mampu menggarapi lumpang
dari akar pohon nangka kokoh
Ia dan ketidaksempurnaanya hanya satu di tempatnya
Hanya tangannya yang mampu mengubah akar itu menjadi nyata
Hebat? Hebatkan!
Ialah kakek dengan segala peluh yang menetes bisa saja menjadi darah
Ialah kakek dengan tanpa keluhannya berjuang di polemik hidup
Demi apa? Demi nasi dan obat istri di rumah
Begitulah kakek tua perkasa yang aku temui, kemarin
Tepatnya, di layar televisiku, saat senja mulai menyingsih
Pertanyaanku hanya tertinggal banyak setelahnya
Jawabannya tak mampu aku terka
Maka, aku lemparkan padamu
Mengapa kakek tua mampu keras usaha, sementara yang lengkap hanya berleha di emperan sambil tengadahkan tangan?