Jakarta – Dewasa ini, sudah cukup banyak sekolah-sekolah di Indonesia yang menyuarakan pengadaan “Kelas Inklusif”, sehingga terjadi kerancuan mengenai makna “inklusif” di dunia pendidikan. Dampaknya, program pendidikan inklusif berada di antara dua sisi yang masih samar-samar, yakni antara tren pendidikan dan hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Sebelum membahas lebih jauh lagi, sebaiknya terlebih dahulu kita ketahui pengertian inklusi.
Sapon-Shevin(1994) berpendapat bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.
Sedikit berbeda pendapat dengan Sapon-Shevin, Stainback (1980) mengemukakan bahwa sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar murid-murid berhasil.
Berdasarkan pengertian perteman yang dikemukakan Sapon-Shevin, setidaknya pembaca dapat menyimpulkan bahwa program pendidikan inklusif hanya bisa terlaksana jika dalam sekolah regular terdapat anak berkebutuhan khusus. Bedasarkan pengertian ini, penulis menilai pendapat Sapon-Shevin kurang tepat. Sebab, secara filosofis program pendidikan inklusif merupakan program pendidikan berlandaskan hak yang mana setiap murid seperti yang dikemukakan oleh Stainback. Sehingga, baik berkebutuhan khusus atau pun tidak dapat menerima pelayanan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Kenyataannya di lapangan, program inklusif didefinisikan seperti penngertian Sapon-Shevin. Sehingga, apabila sekolah tertentu ingin disebut sebagai sekolah inklusif maka sekolah tersebut harus menerima anak berkebutuhan khusus di sekolah regular. Pengertian inilah yang menyebabkan kesalahpahaman. Karena, secara garis besar pendidikan inklusif bukan terletak pada sekolahnya, melainkan pada program sekolahnya. Oleh sebab itu, dalam dunia ortopedagogik tidak dikenal istilah sekolah inklusif, tetapi yang ada adalah program pendidikan inklusif.
Kesalahpahaman ini pada dasarnya dikarenakan minimnya landasan kelimuan para pendidik. Padaha, kecukupanpemahaman yang tepat yang dimiliki seorang pendidik menjadi faktor kunci dalam pelayanan penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Seperti yang kita ketahui bersama, kegiatan keilmuan selalu menghasilkan teori yang kebenarannya disesuaikan dengan realita, sehingga hasil kajian ilmu adalah ditemukannya berbagai ilmu yang bermanfaat guna menyelesaikan permasalahan keseharian, termasuk di dalamnya permasalahan pendidikan. Dengan begini, landasan keilmuan menjadi penting demi penyelenggaraan pendidikan. Dan, dengan adanya landasan keilmuan ini kekeliruan seperti yang terjadi pada sistem pendidikan inklusif dapat dihindari.
Kayanya keilmuan pendidik akan pendidikan inklusif ini berkaitan dengan efektifitas dan efisiensi layanan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berkaca pada fenomena yang terjadi beberapa tahun ini dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia, dapat dikatakan bahwa Indonesia belum cukup siap untuk memulainya. Semua ini dikarenakan belum cukupnya pengetahuan yang tepat di dalam personalia kependidikan.
Bertolak pada pembahasan ini, disimpulkan bahwa program pendidikan inklusif seharusnya tidak hanya berjalan pada sekolah-sekolah yang terdapat anak berkebutuhan khusus, tetapi berjalan di setiap sekolah yang ada. Lebih dari itu, sekolah juga harus menyediakan berbagai fasilitas dan tenaga pengajar yang dapat mengakomodir kemampuan setiap murid yang berbeda. Jika hal-hal di atas terpenuhi, sekolah dapat dikatakan sebagai sekolah berprogram inklusif.(Nir)