Jakarta, Kartunet.com – Hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) baik pusat atau daerah jadi milik seluruh warga negara, termasuk para penyandang disabilitas. Prinsip Langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber) serta jujur dan adil (jurdil) mutlak harus juga mereka rasakan. Namun, pada beberapa kasus, prinsip rahasia ketika memilih tak didapatkan.
Irfan (27), seorang tunanetra, mengaku ketika mengikuti pemungutan suara di Pilkada DKI 2012 tidak mendapatkan alat bantu tunanetra. Karena tak ada alat tersebut yang berfungsi untuk mengetahui posisi gambar calon yang akan dicoblos, maka dia dibantu oleh petugas KPPS. Petugas memberikan arahan dan tetap mengawasi ketika mencoblos, sehingga pilihan tidak hanya diketahui oleh pemilih. Padahal saat itu Irfan membawa anggota keluarga.
Tak jauh beda dengan Rafik (23), seorang tunanetra di Jakarta, dari empat proses pemungutan suara yang pernah diikuti, hanya satu kali dia mendapatkan alat bantu tunanetra. Selama proses tersebut ia selalu dibantu oleh pihak keluarga yang dapat dipercaya, sehingga pilihan hanya diketahui oleh orang yang dipercaya.
Berbeda dengan Endang, seorang pengguna kursi roda, dia tak memperoleh kerahasiaan ketika proses pemilihan. Karena kesulitan mobilitasnya, dia melakukan proses pencoblosan di rumah. Dia tak dapat merahasiakan pilihannya karena perlu tanda tangan petugas KPPS dan saksi yang mengawasi hingga proses pencoblosan.
Dalam peraturan yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih ditemui pasal yang kurang menjamin hak kerahasiaan pemilih dengan disabilitas. Seperti dalam peraturan KPU No 35 tahun 2008 Tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD,DPR Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Pada pasal 31 ayat 2, disebutkan bahwa “Bagi pemilih yang tidak mempunyai kedua belah tangan dan tunanetra, anggota KPPS kelima membantu melakukan pemberian tanda sesuai kehendak pemilih dengan disaksikan oleh anggota KPPS keenam”. Pasal ini kontradiktif dengan pasal 8 ayat 2 yang menyebutkan bahwa ada alat bantu tunanetra sebagai standar baku di tiap TPS.
Keberadaan alat bantu bagi tunanetra yang sebetulnya dapat membuatnya mandiri dalam memilih, jadi tidak efisien dengan adanya aturan tersebut. Seorang tunanetra cukup untuk diantar menuju ke bilik suara, sedangkan untuk proses mencoblos tak perlu diawasi karena alat bantu kertas suara sudah cukup jelas. Begitu pula dengan pemilih tunadaksa yang tak memiliki dua lengan, dia tetap dapat melakukan pencoblosan dengan kaki, asalkan kondisi bilik memungkinkan.
Maka, diperlukan sebuah pemahaman mendalam mengenai kebutuhan penyandang disabilitas yang beragam. Apapun kebutuhannya, jangan sampai prinsip Luber Jurdil tak didapatkan oleh mereka pada setiap proses Pemilu. DPM