“Ini ini stilus dan riglet untuk mu, bisa kau gunakan untuk menulis Braille”,
Aku hanya terperanjat kaget meraba benda yang tiba-tiba sudah ada di tanganku. Aku meraba angan, kenapa Dian tiba-tiba memberiku ini?, siapa gerangan pemilik benda ini?, kenapa Dian mempunyai alat ini sedangkan dia tidak sepertiku?. Rasa penasaranku dengan benda yang diberikan Dian semakin bertambah saat aku meraba benda yang ia berikan.
“Pakai saja, ini milik ibuku dulu sebelum beliau menyusul ayahku di sana. Beliau berpesan agar alat ini dapat dipakai oleh orang yang aku sayangi”.
Air mataku tiba-tiba memaksa keluar mendengar tutur Dian mengenai benda yang baru saja ia berikan padaku ini. Kusingkirkan dengan telapak tangan aliran air mata di pipiku agar tak jatuh membasahi hadiah dari Dian yang ada di pangkuanku.
“Tapi, aku tidak bisa menerimanya. Ini pasti sangat berharga sekali buatmu”, ku sodorkan benda itu ke sumber suara Dian, dengan saat itu juga tangan Dian menghentikan gerakan tanganku.
“Pakai saja Wi, aku lebih senang kau memakainya. Ini amanah ibuku agar dipakai sama orang yang aku sayangi yang mempunyai rasa yang sama dengan ibuku dan orang itu adalah kau”.
Saat itu hanya senyum kecilku yang dapat keluar disela-sela tangisku yang belum usai. Ya Tuhan terimakasih, telah mempertemukanku dengan Dian.
***
Udara hari ini menyengat kulitku, apakah tak ada awan di atas sana atau memang takut dengan keganasan panas siang hari ini. Bagaimana pun, kaki dan tongkatku tetap semangat menuju rumah Dian. Seperti biasa aku membawa dua botol jus jeruk untuk dinikmati bersama di musim kemarau ini. Rumahnya tidak terlalu jauh hanya berjarak satu komplek dari rumahku tapi, suhu siang hari ini cukup menguras keringatku yang berjalan dengan tongkat dan memoriku sebagai petunjuk rutenya. Tiba di depan gerbang rumahya terdengar Bi Ningsih menjerit minta pertolongan, langsung kuambil langkah seribu mencari sumber suara itu.
“Non,non Dewi” suara Bi Ningsih semakin membuatku cemas, terdengar panik dan bingung.
“Ada apa Bi, apa yang terjadi?” sambil meraba-raba mencari suara Bi Ningsih yang ada di depanku.
“Non, non Dian pingsan darah keluar dari hidungnya”
Aku dan Bi Ningsih hanya bisa menangis, Pak Sopir pun terlihat panik berusaha menambah laju taksinya. Kupangku Dian di belakang, tangannya sangat dingin dan lemas. Macet membuat perjalanan menuju rumah sakit bertambah lama. Aku sangat cemas, aku tidak mau terjadi sesuatu dengan sahabatku. Hanya itu yang ada dalam pikiranku.
Tiba di rumah sakit Dian langsung di masukkan ke ruang ICU aku dan Bi Ningsing hanya bisa menunggu di luar. Waktu begitu lama, Dian kau kenapa?. Tidak pernah kau mengeluh, selalu gembira dan tidak ada yang kau tutupi selama ini, itu yang ku tahu. Mungkin aku bukan sahabat yang baik, meski aku buta harusnya aku lebih peka dengan keadaan di sekitarku. Rasa bersalah semakin muncul. Terdengar Bi Ningsih masing menangis, mungkin sama apa yang Bi Ningsih rasakan denganku. Takut terjadi sesuatu dengan Dian.
“Maaf dengan keluarga dari pasien?” sapa dokter setelah keluar dari ruang ICU.
“Benar, kami keluarganya Dok. Bagaimana kondisi Dian, Dok?” langsung kudekati dokter dengan peluh yang terus mengalir di mataku.
“Saudari Dian terkena Leukimia stadium empat dan segera harus dilakukan penanganan “ mata dokter terlihat serius mengabarkan kabar itu.
Seketika jantungku terasa berhenti, persendianku terasa kaku.
***
Sudah sekitar dua minggu sejak Dian masuk ruang ICU, Dian belum juga memberi tanda-tanda perkembangan. Tetes cairan infus semakin berjalan cepat dan laju detak nadi di alat pendeteksi juga semakin melemah, jelas Bi Ningsih saat aku melihat Dian di balik kaca kamar ICU. Tinggal menunggu hasil pemeriksaan darah dari dua calon pendonor sumsum tulang belakang.
Mencari pendonor sumsum tulang belakang untuk Dian kami lakukan melalui door to door, jejaring sosial, lewat media cetak maupun elektronik semua ini kulakukan untuk kesembuhan sahabat tercinta. Tepat pukul tiga sore nanti dokter berjanji akan memberitahu hasil pemeriksaannya.
“Saudari Dewi dari hasil pemeriksaannya ternyata memiliki golongan darah dan DNA yang sama dengan pasien dan hasil dari pemeriksaan calon pendonor yang satunya meskipu memiliki golongan darah yang sama tetapi kondisi tubuhnya tidak baik untuk melakukan pengoprasian” ungkap dokter setelah melakukan pemeriksaan atas sampel darahku dan calon pendonor satunya. Untuk kedua kalinya jantungku terasa berhenti dan persendianku terasa kaku. Kesamaan darah dan DNA?, tanyaku dalam benak.
Hari ini aku sekamar dengan Dian setelah selama dua minggu lebih hanya melihat dari balik kaca kamar ruang ICU-nya. Orang di ruangan ini terdengar tidak hanya satu mungkin sekitar lima orang dengan peralatan operasi. Dokter mulai menyuntikku dengan obat bius. Aku mulai tak sadarkan diri. Disaat itu tiba-tiba dokter dan perawat melakukan tindakan serius kepada Dian, aku tidak tau kejadian pastinya. Terdengar dokter melakukan kejut jantung kepada Dian saat kesadaranku diambang kehabisan.
***
Bi Ningsih menangis saat aku baru terbangun dari kesadaranku. Terdengar berat suaranya seperti akan mengungkapkan sesuatu.
“Bi aku bisa melihat, kenapa bisa begini Bi?” penasaranku saat kubuka mataku.
“Non Bibi sebenarnya tidak ingin menceritakannya sekarang melihat kondisi Non yang belum pulih”, timbangnya seperti ragu.
“Tidak apa-apa Bi, ceritakan saja.”jelasku menenangkan Bi Ningsih agar mau bercerita.
“Ya Non, Non Dian kakak kandungmu meninggal, saat itu Non dan Non Dian sedang di ruang ICU saat akan menjalankan operasi. Mungkin Non Dian sudah saatnya kembali ke Pemiliknya.” Terang Bi Ningsih yang disusul dengan tangisanku saat mendengar kalimat pertama bahwa Dian adalah saudaraku kandung.
Tanpa pikir panjang aku langsung melepaskan jarum infus dan bergegas keluar mencari Dian. Seperti tak percaya dengan semua ini, dengan tertatih-tatih ku datangi ruangan ICU dan ruang operasi tapi tidak kutemukan Dian di sana. Hanya dokter dan perawat yang sedang berkemas di ruangan itu, menasehatiku agar sabar. Tangis dan kecamuk menyelimuti jiwaku, masih belum percaya Dian akan secepat itu meninggalkanku. Sahabat yang selalu mengerti dan motivasi hidup kini telah pergi.
***
Kini di atas gundukan tanah merah basah ku menangis dan berdoa semoga kakakku bahagia di sana. Ku bawa kenangan terindah darimu yaitu diari ibu yang ditulis oleh ayah sebagai bukti kita adalah saudara, stilus dan riglet pemberianmu dulu dan sepasang kornea yang kau berikan sebagai hadiah terindah saat ulang tahunku dan hari kepergianmu juga. Akan ku sayangi mereka.
Cerpen GSK
Editor: Putri Istiqomah Priyatna