Aku kembali duduk di sini, bersama sebuah benda yang selalu setia menemaniku bagaimana pun kondisiku. Bukan makanan yang pasti habis ketika kita lapar, bukan pula minuman yang akan tandas jika kita kehausan, dan bukan pula seorang wanita yang akan pergi tatkala kita melakukan sesuatu yang tak disukainya. Ya, benda itu adalah otakku sendiri, yang selalu menyediakan memori tempat aku bisa menyimpan segalanya; Otak yang tak akan berhenti menemani pemiliknya kecuali pemiliknya mati.
Kuputar-putar memori otakku, hingga sampailah aku di suatu titik; titik di mana aku merasakan kebingungan yang sampai sekarang tak terpecahkan. Tibalah aku di sebuah masa, masa kegelapan, masa yang sebetulnya tak ingin kuingat-ingat lagi.
***
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Bram,” suara Anita memecah kebisuan yang sejak setengah jam yang lalu tercipta di antara kami berdua.
“Ada apa?” tanyaku kemudian.
“Kita harus akhiri semua ini. Dengan kata lain, kita harus berpisah,” sahut Anita tanpa ekspresi.
“Apa alasannya?” tanyaku terkejut.
“Dari dulu aku ingin kau berubahBram, dari seorang lelaki pemabuk menjadi lelaki baik-baik. Dari seorang pemain cinta menjadi seseorang yang setia. Namun ternyata aku tak bisa. Terbukti ketika penampilanmu kemarin di Green Cafe, kau tampak mesra sekali dengan vokalis bandmu itu.”
“Tenang, aku bisa jelaskan semuanya. Itu hanya tuntutan profesi,”
“Aku tak mau dengar alasan apa pun. Yang pasti, aku ingin mengakhiri semuanya. Bye,” Anita berlalu begitu saja dari hadapanku.
***
Sudahlah, lupakan kejadian itu. Itu kejadian menyakitkan yang kualami empat tahun lalu. Kejadian yang sukses mengubahku menjadi diriku yang sekarang. Aku yang dulunya menjadi gitaris di sebuah band, semenjak kejadian itu aku keluar dari bandku itu. Aku yang tadinya selalu mabuk sebelum naik panggung, kini aku tinggalkan segala minuman itu dan kuganti dengan minum minimal delapan gelas air putih dalam sehari. Kuliahku yang tadinya berantakan, kini aku fokus dengan apa yang dari dulu aku cita-citakan: menjadi ahli komputer.
Namun satu hal yang dari dulu tak pernah berubah: perasaan cintaku terhadap Anita. Tapi, tampaknya aku harus mengubur dalam-dalam impian masa depanku bersama Anita. Penyebabnya?
***
“Maaf Bram, aku tak bisa kembali,”
“Tapi kau lihat sendiri bukan? Aku sudah berubah,”
“Ya, aku tahu hal itu. Tapi tak semudah itu Bram. Masa lalu tetaplah masa lalu. Aku belajar dari pengalaman. Aku tak mungkin semudah itu kembali. Mungkin jika aku kembali, kau akan kembali lagi seperti dulu karena kau anggap aku sudah ada di genggamanmu lagi,”
***
Inilah yang sampai saat ini belum bisa kupecahkan. Mengapa seseorang selalu menilai orang lain dari masa lalunya? Ya, aku setuju jika masa lalu adalah gambaran masa depan. Tapi, segala sesuatu bisa berubah, aku sangat yakin terhadap hal itu. Lalu, apa gunanya perubahan jika orang terus-menerus mempermasalahkan masa lalu?
Entahlah, mungkin di saat aku tua nanti aku akan temukan jawabannya. Biarkan masa lalu menjadi masa lalu, dan tampaknya aku tak boleh tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu itu. Mungkin aku memang harus fokus dengan apa yang aku alami di waktu-waktu yang akan terus berputar. Biarkan semuanya bergulir seperti bola; sejak kemarin, hari ini, esok, lusa, sampai kita dilupakan oleh dunia.
Depok, 22 Maret 2014
Kerennnn…tulisannya enak dibaca dan seru juga hehe salam kenal ya..
hehehe, masih belajar nih 🙂 salam kenal juga 😀
bagus bro. cuma ini bentuknya jadi lebih ke monolog ya. Mungkin dapat dikembangkan lagi dengan lebih banyak dialog dan narasi yang menggambarkan suatu peristiwa. Pemikiran2 tokoh utama dapat disisipkan dalam kejadian-kejadian dalam cerpen hingga mencapai klimaks
maksudnya gimana kak? kurang mudeng hehehe 🙂
dalam cerpen, tapi kembali lagi pada gaya penulisan masing2 ya, tak ada yang mutlak, biasanya mengajak pembacanya untuk mengintepretasikan maksud dari sebuah peristiwa berdasarkan pemahaman mereka sendiri. Dalam monolog, penulis seakan bertutur akan pemikirannya dan langsung menjelaskan maksud yang ingin disampaikannya. Tapi itu gak usah dipikirin, keep writing aja. 🙂
wah, gitu ya? thanks atas infonya kak. jadi pemicu untuk membuat cerpen yang lebih cetar nih 😀
mantap ari,, tidak ada harga mutlak terhadap prilaku seseorang..mending mantan penjahat ketimbang mantan ustad…
Yuup! masa lalu itu bisa dijadikan pelajaran untuk lebih baik lagi bukan malah jadi bumerang untuk diri sendiri.
Setuju deh sama kamu 🙂
bagus bgt kok nih ceritanya, ngena bgt poinnya
hehehe makasih kak, sebagian pengalaman pribadi sih. ungkapan rasa kesal terhadap orang yang selalu menilai dari masa lalu, padahal kita sudah berusaha untuk memperbaiki
Nice, enak nih dibacanya, ga gitu banyak he’he…samalah kita dong, amatiran….