KELAKAR SNMPTN 2014

Indonesia belumlah begitu tua. Usianya tak lebih tua dari kakek-nenek kita. Namun siapa sangka wajahnya telah nampak keriput oleh beban yang dicipta oleh mereka yang merasa penguasa di Indonesia?

 

Hari demi hari, masalah bertubi datang hampiri Indonesia yang tengah menata diri demi masa depan berarti bagi anak-cucu negeri. Belum usai kasus korupsi yang rupanya jadi hobi pejabat negeri, kini koloni problematika justru kembali tiba tanpa nurani pada dunia pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri. Tak cukup puas mengotak-atik sistem pendidikan yang terkadang kurang realistis dengan kondisi bangsa, kini mereka yang duduk di garis kuasa atas Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) sekilas dianggap tengah cari “Gara-gara”.

 

Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014 kini memang tengah jadi problematika bagi kami penyandang disabilitas yang haknya kerap diperkosa. Entah tutup mata, entah tutup telinga atau pada nyatanya tak tahu apa-apa, mereka yang duduk pada garis kuasa kebijakan SNMPTN 2014 dengan mudah memberi “Kode” pada beberapa program studi yang dilelang dalam pesta kelahiran cendekiawan bangsa. Dengan tanpa khotbah atau ceramah, mereka pukul palu pada kami yang hidup penuh stigma dengan ketunaan yang kami punya. Tanpa bertanya, kami diminta meninggalkan zona terlarang dalam lelang. Kedokteran, keperawatan, psikologi, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, bahkan Bahasa Indonesia serta beberapa program studi lainnya menjadi terlarang bagi Tunanetra, Tunarungu, Tunawicara, Tunadaksa, dengan tak lupa juga bagi mereka yang buta warna. Kami para disabilitas seolah dipaksa menyerah sebelum berperang tanpa ada kesempatan beri pembuktian.

Baca:  Konsep Belas Kasihan Versus Pemenuhan Hak

 

Ironik memang. Di tengah kerontangnya pemenuhan hak bagi disabilitas, problematika ini justru seolah menjadi belati yang mengoyak nurani. Jangankan diberi kemudahan akses dalam pendidikan tinggi, justru kami dibuat mati dengan kode-kode yang sepintas mencolok bagai diskriminasi. Sementara itu, Tebalnya peraturan tentang kesamaan mengakses pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia, seolah menjadi tumpukkan kata yang usang dimakan usia. Tak adakah niat lebih besar tuk membuat kami (disabilitas) “Sejajar”?

 

Tutup mata kah, tutup telinga kah, atau memang tak tahu apa-apa kah mereka yang duduk di garis kuasa SNMPTN 2014 bila Bahasa Indonesia saja yang notabene Bahasa kesatuan Republik Indonesia dijadikan terlarang untuk disabilitas? Lucu sekaligus penuh ironi. Ketika bangsa lain berlomba benahi diri hapuskan diskriminasi bagi disabilitas yang kerap dianggap membebani, bangsa ini justru ciptakan degradasi bagi anak bangsa yang punya mimpi. Dengan dalih mengarahkan program studi agar lebih “Manusiawi”, mereka putuskan “Syarat fisik” pada beberapa program studi, padahal justru dapat batasi mimpi. Adilkah kelakar semacam itu? Bila yang berjuluk non-disabilitas saja diberi akses selebar-lebarnya atas program studi yang diminati, lantas mengapa disabilitas justru diberi akses selebar daun kelor? Memang keterlaluan bila Bahasa Indonesia menjadi terlarang bagi Tunanetra, Tunarungu dan Tunawicara.

 

Setiap aksi pasti punya reaksi. Setiap kebijakan yang tak pakai nurani pasti datangkan kontroversi. “Disabilitas menggugat”, itulah headline yang pantas jadi reaksi atas aksi pencantuman kode syarat fisik pada beberapa program studi di Perguruan Tinggi Negeri. Mereka yang panas oleh isu diskriminasi pada pendidikan tinggi, lari kesana-kemari demi tumbangkan kebijakan yang dibuat tanpa diskusi. Mulai dari petisi hingga turun ke lembaga yang punya relevansi atas kasus semacam ini, itulah reaksi yang dinjukkan oleh objek yang didzalimi. Geram, muak, penat, tentu ingin ditumpahkan pada si pemnbuat kebijakan. Namun, haruskah reaksi mentok pada petisi dan emosi?

Baca:  Antara realita dan idialitas dalam pernikahan bagi seorang tunanetra

 

Banyak opini yang menawarkan diri pada problematika SNMPTN 2014 ini. Namun bagi penulis dan teman-teman di organisasi, petisi dan emosi akan mandul bila tak dibarengi pembuktian diri. Tentu tak ada salah dengan petisi dan geram yang menjelma pada “Emosi”, namun alur pikiran lain sejatinya bisa dijadikan alat untuk bereaksi. Bisa jadi kebijakan yang tak memihak pada kaum minoritas ini timbul karena disengaja, meski bisa jadi pula karena ketidaktahuan yang dipaksa. Bila memang mereka yang duduk di garis kuasa SNMPTN 2014 sengaja tutup mata dan telinga, itu memang tak beda hina dengan benda mati yang tak punya hati. Namun beda cerita bila kebijakan yang ada dicipta karena ketidaktahuan yang dipaksa. Bila faktanya mereka tak tahu apa-apa namun salah langkah dengan enggan tuk bertanya, tentu kita (disabilitas) harus buka mata dan telinga mereka tentang siapa diri kita. Lewat pembuktian, lewat dialog aman, itulah alur pikiran yang penulis dan teman-teman coba tawarkan. Penulis dan teman-teman organisasi beranggapan bahwa bila ingin menggugat mereka, cobalah sadarkan logika serta nurani yang mereka punya. Terlebih bagi kampus yang telah nyatakan diri sebagai bagian dari kampus inklusif, sejatinya perlu diingatkan kembali mengapa kode syarat fisik itu perlu membatasi disabilitas. Dalam proses penyadaran lewat dialog itu, coba beri tahu mereka dengan bukti nyata lewat mahasiswa yang telah atau tengah menimba ilmu pada program studi yang masuk zona terlarang pada SNMPTN 2014. Demo nyata tentang bagaimana disabilitas mengakses perkuliahan, strategi serta hasil yang sejauh ini didapat, hendaknya menjadi bukti nyata sebagai usaha bukakan mata, hati dan telinga mereka. Secara detail hendaknya kita (disabilitas) jelentrehkan apa yang kita bisa entah lewat tekhnologi atau media lainnya. Bila mereka telah mengerti bahwa kita (disabilitas) mampu bersaing dalam program studi yang diminati, tentu mereka tak lagi sangsi. Oleh karena itu, penulis dan teman-teman organisasi beranggapan bahwa dalam tempo sekarang ini, lebih arif bila coba siapkan diri tunjukkan jati diri. Beritahu lewat demo tekhnologi tentang alat bantu, atau bukti yang bisa mengamini kemampuan yang dimiliki. Dengan bukti nyata, tak mustahil bila kebijakan diskriminasi itu tumbang tanpa paksaan.

Baca:  Pemimpin Jakarta Peduli Disabilitas?

 

Menyoal tentang kode syarat fisik pada SNMPTN 2014, penulis pribadi merasa tak perlu. Sejatinya tanpa diberi tahu semcam itu, kami (disabilitas) pun sadar sampai mana batas kemampuan kami. Coba ambil contoh seorang Tunanetra. Tentu Tunanetra akan berpikir ulang ketika hendak mengambil program kedokteran. Memang dirasa sulit bila Tunanetra harus melakukan bedah pada pasien, seumpama. Namun kesulitan itu bukan berarti jadi larangan. Hak biarkan jadi hak. Biarkan hak kebebasan mengakses pendidikan dimiliki oleh si Tunanetra atau disabilitas lainnya, smentara menyoal perkara sulitnya akses dalam mempelajari bedah tubuh, seumpama, biarkan kembalikan pada si disabilitasnya. Kewajiban pejabat negeri adalah berikan hak penuh pada setiap warga. Sekali lagi penulis pribadi berpendapat bahwa tanpa diberi peringatan berupa kode syarat fisik, kami (disabilitas) pun “Tahu diri”. Yang terpenting adalah hak biarkan tetap jadi hak.

 

Bagikan artikel ini
ekka Pratiwi Taufanty
ekka Pratiwi Taufanty

Kontributor kartunet.com. I just got my bachelor degree like a couple of months ago. Kuliah Sastra Inggris di Universitas Dian Nuswantoro. Nyambi jadi pengurus di DPD Pertuni Jawa Tengah juga. I'm a job seeker lol
Suka banget sama nulis meski kurang komitmen juga lol
Dulu pengen punya julukan "Penulis", tapi sekaarang gak mau. Lebih suka dipanggil sebagai seseorang yang suka nulis aja sih lol

Articles: 27

60 Comments

  1. Princess Rara @ KOMUNITAS PSIKOLOGI INDONESIA :
    bagi seorang disleksia,kesialanya adalah masuk sekolah dng kurikulum tua.

    Disleksia itu termasuk dalam disabilitas mental (psikologi) yakni orang dengan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.

    untuk gangguan aktivitas membaca dan menulis sudah pernah saya posting ya…

    • berdasarkan pengalaman pribadi saya yang pernah playgroup di Australia dan selama mengikuti perkuliahan, maaf bukan maksud menjelekkan, tapi….sebenernya bisa lebih berkembang andai ngga pakai kurikulum lama alias jadul

    • di Australia, pendapat kita dihargai meskipun salah dan dibenarkan sama gurunya, hal ini dikemukakan oleh ayah saya yang bercerita pada saat gurunya menunjukkan gambar kucing dan bertanya kepada murid-muridnya “Gambar apa ini?” dan beragam jawaban pun diutarakan dan semua diterima, berbeda dengan Indonesia yang saklek mesti begitu, dan ngikutin aturan.

    • kurikulum lama juga menerapkan paket SKS yang ga bisa di kejar dengan paket apa itu ya namanya? lupa saya, dimana sks bisa dikebut dengan waktu singkat dan bisa sarjana dalam keadaan muda.

    • kurikulum lama juga memaksa dosen untuk menghasilkan karya ilmiah (hingga saat ini), ini berdampak pada jadwal perkuliahan yang jadi ikut berantakan, berubah seenaknya, uda gitu dosen/guru di suatu instansi jadi melampiaskan emosi pada murid-muridnya sebagai pelarian.

    • jadi panjang gini kan? kalau di tulisanku uda satu paket dan ga bikin gangguan
      mbo ya diperkirakan gitu log konsekuensinya.
      aku emang pemula dan ga seprofesional anda-anda.

    • kurikulum lama juga sifatnya desentralisasi (wewenang di serahkan pada masing-masing) dimana saling lempar tanggung jawab, yang akhirnya malah jadi birokrasi yang ribetnya bukan main mesti kesana dan kesini
      *hatchi*

    • Standarisasinya juga seringnya ketinggian dan kadang standarisasi yang kurang masuk diakal/dibuat-buat, yang bikin membatasi, sudah terbatas makin terbatas gimana si rasanya? terkungkung, akhirnya apa? terjadilah psikososial.

    • kurikulum lama juga kurang memperhatikan psikoedukasi untuk masalah sex yang dianggap tabu, terus dampaknya? terjadilah macem-macem, salah satunya disabilitas mental dan difabel (disabilitas fisik) kan yang kena dampaknya?

    • kurikulum lama juga membuat dosen pembimbing sengaja melama-lamakan kelulusan dengan berbagai cara, salah satunya ya mencari-cari kesalahan di penelitian yang dilakukan siswa, hanya untuk sekedar mendapatkan uang. Kenapa? soalnya kurikulum lama menggaji tenaga pengajar dengan sangat rendahan. Terjadilah diskriminasi lagi deh disini…. padahal, gurulah yang membuat mereka sukses toh? lupa?

    • kurikulum lama juga menghasilkan buku dan konsep yang kaku, sulit dimengerti, sulit dipahami, udah gitu konsep terkadang bukan hasil penelitian yang sebenernya, kadang ada yang memanipulasi hanya untuk mendapatkan sesuai keinginan, kadang juga ada yang membeli.

      Bukunya bikin mahasiswa S1 hanya sekedar saja, terus S2 dalam keadaan bingung, dan S3 dalam keadaan serba masalah.

      lalu harus bagaimanakah kurikulum? jadi bingung saya….

    • kurikulum lama juga membuat peneliti tiada bisa melakukan penelitian sepanjang kampanye politik, bahkan dilarang, saya sendiri juga kurang tahu kenapa bisa begitu. Lah terus gimana mau berkembang kalau begitu?

    • Kurikulum lama juga tiada mempersiapkan lulusannya untuk siap bekerja, tak terkecuali SMK, saat kerja, pada bingung dan belajar lagi dari nol, ilmu sering kurang digunakan, apalagi kalau pekerjaan kurang sesuai dengan bidang dan mesti multi tasking. Belum lagi, harus bersiap menghadapi persiangan dan masalah di dunia kerja yang kerasnya bukan main. Salah satu masalahnya adalah harus bersaing dengan yang berpengalaman yang pasti jadi incaran dah, karena males mentraining lagi.

  2. kalo dikritisi, mungkin aja, pelarangan kaum disabilitas pada SNPTN 2014 memang dimunculkan by design.
    begitu protes berduyun-duyun dari kaum yang terzolimi mengemuka, pihak-pihak berkepentingan memfaatkan momen dengan mencabut kebijakan tersebut, tapi bukan berlandaskan kepentingan kaum disabilitas itu sendiri, melainkan lebih bersifat politis, dengan demikian, kaum yang merasa dibela berbondong-bondong pula menyeerahkan suaranya karena merasa dibela, dan, mereka yang berkepentingan, akhirnya yang akan merauk suara dari berbagai golongan kaum disabilitas yang merasa kepentingannya dibela.

    • Kemungkinan itu akan selalu ada mas, apalagi ini tahun politik. tapi kita sebagaian bagian dari penyandang disabilitas jangan sampai lengah. Ini tetap jadi isu yang perlu diperjuangkan, tapi harus tetap cerdas agar jangan mau dimanfaatkan oleh oknum2 calon koruptor tadi.

      • Huuuh…
        politik? males banget dah
        tapi karena kita dipayungi sama politik mesti bagaimana dong?
        pendidikan juga berjalan atas izin dari politik dengan melakukan politik….
        no comment deh lah menyoal politik,

        Sekalipun saya akan dimanfaatin, yah,.. terserahlah….yang penting….bisa jadi penengah…..tanpa diskriminasi
        Bismillah.
        Pasrah sama Allah saja sayah…

  3. yup. saya suka dengan logika ini “biarka hak jadi hak”. Di negara ini, penyandang disabilitas sudah muak untuk diatur sana ini. Kita dikatakan tak bisa ini, tak bisa itu, kamu harusnya ini saja, itu saja, dll. Sama seperti bentuk rehabilitasi di panti2, disabilitas hanya diarahkan untuk beberapa keterampilan vokasional saja. Misal tunanetra ya tak jauh dari tukang pijit atau membuat kerajinan tangan. Nah ini di sistem pendidikan mau meniru-niru dengan penyandang disabilitas tak bisa ini, tak bisa itu, harus masuk ini, harus masuk situ saja. Biarkan hak jadi hak, toh nanti juga akan mengukur diri sendiri. selain itu, kita juga harus adil. kita perlu husnuzon bahwa mungkin ada kesalah-pahaman dari prasyarat-prasyarat tersebut. Dari pada aksi terbuka yang berdara-darah, lebih baik pendekatan kepada kementrian Pendidikan dan kebudayaan, tunjukkan apa yang selama ini terjadi, bahwa sudah banyak mahasiswa disabilitas yang kuliah dan lulus dari PTN, lalu buka mata dan hati mereka lagi bahwa aturan2 tersebut diskriminatif. Saya yakin bapak2 dan ibu2 di Kemendikbud adalah orang2 terpelajar dan punya hati nurani yang punya visi untuk Indonesia lebih baik lewat pendidikan.

    • sip. betul. pendekatan dengan bukti ya mas :)….ketidaktahuan mungkin bisa jadi faktor penyumbang adanya keputusan syarat fisik di beberapa progdi kali ya. oiya, mana tulisannya mas dimas? hehhee

      • Gila mbak Ekka, tulisan saya dibuang…
        bahkan tanpa izin atau pemberitahuan
        tanpa mikiran…

        Diskriminasi banget ya….

        Asli….
        mood saya hilang….

        saya merasa ngga dihargai….
        mas buang tulisan saya apa karena tersinggung karena sudah saya singgung di atas?
        kalau iya, saya mohon maaf,
        tapi,
        saya ngga akan menulis lagi,
        keculai untuk dongeng yang belum rampung,

        • sabar kak. emang itu kalo hilang berarti dihapus sama admin ya? hmmm jujur aku bukan orang canggih yg ngerti sama bahasan yang berat-berat. tp emangnya tulisan kak tyas mengandung unsur “Panas” po? ehheeh. ya jangna berhenti menulis kak. terus menulis, terus beropini, terus berkarya. semangat….

      • mbak Ekka, aku gtw kenapa tadi jam 1 siang dadaku sesek banget, mungkin asma ku kumat, terus jam 1:43 tulisan aku dihapus….aku makin sesek….tapi ya udah lah…toh mas Dimas bisa sesuka hati disini dan aku juga ga bisa berbuat apa-apa. Aku ga perduli mau dibilang apa, yang jelas, aku eksresikan emosi secara baik-baik ya….

    • Dibatasi dengan keterbatasan menjadi semakin terbatas, padahal sudah memiliki keterbatasan,

      Padahal bisa tanpa batas!

      Iya setuju,

      Ngapain pendekatan teriak-berdemo-jalan kaki-terus konflik sampai berdarah-darah (kayak kasus Trisakti).

      Sayang tuh nyawa!
      Belum lagi nama baik diri dan komunitas kan dipertaruhkan…..gitu bukan? (sok tahu)

  4. Hati-hati aja ini cuma jebakan batman. Biasanya, menjelang pemilu banyak kabar yang aneh-aneh dan itu sebagai lahan bagi para calon koruptor untuk menjaring dukungan dan simpati karena telah membantu suatu keadaan kaum minoritas.

  5. gimana ya simbol nangis itu? saya mau menulis pakai simbol itu aja, karena berbahasa sudah dilarang. Itu yang ngelarang tau tentang sumpa pemuda ga ya? kan disitu ada tentang bahasa. apa karena mereka ga pernah muda ya? hihihi

  6. Kudunya disabilitas (yang 10%) bersatu tuk jadi partai dan menyesaki DPR, biar mereka tahu, bahwa Indonesia ini banyak lho penyandang disabilitas, kalian, anak, cucu juga punya potensi menjadi seorang penyandang disabilitas juga, lho! jadi jangan terlalu konyol, ini benar-benar konyol. Kita juga bayar pajak, bahkan bayik pun bayar pajak. Tapi? jangan dulu deh mau minta dipenuhi hak sebagai warga negara yang bisa mengakses sarana transportasi dengan aman dan nyaman, ini bahkan di pendidikan? boro-boro untuk pekerjaan. Hmhm, ha habis pikir *RedFace*

  7. Kurang adil,
    Desentraslisasi dan standarisasi yang ketinggian, serta birokrasi,
    Tapi….
    Yakinlah saudaraku…
    akan ada jalan,

    Pasti ada asa

    La Tahzan, Indallaha ma’ana (bener ga ya tulisannya)
    yang artinya “Jangan sedih, Allah bersama kita”

Leave a Reply