Sungguh teramat rindu aku mengenang kisah ini. Kisah yang pernah memberikanku kesempatan kedua untuk hidup di dunia dan menghadirkan cinta saat tak sengaja menyelamatkan seorang gadis di tengah badai yang begitu mendebarkan.
24 Desember 1891.
Di pesisir timur kepulauan jawa, merupakan awal aku dilahirkan. Aku dan keluargaku adalah mozaig dari bangsa pribumi yang tengah menghuni pesisir pantai katulistiwa. Masa itu adalah prapersatuan belum menjadi kepemilikan kami para bawahan kolonial. Kala itu, setiap bulan desember kami harus memberikan hantaran kepada tuan majikan kami para kulit putih yang mengawasi tanah garapan kami. Biasanya akan di adakan juga perayaan seperti pasar malam di lapangan dermaga desa yang di sebut pelbok. Sepulangnya aku dari mengendalikan kapal nelayan, aku di paksa ayah untuk ikut mengurus kandang kuda malam hari di rumah tuan Snorsen orang yang menjadi tuan tanah garapan bapak. Hatiku dongkol apalagi aku ingin bisa mengunjungi pasar malam seperti teman-temanku.
Di terangi sebuah lampu minyak kami berjalan menuju belantara jalan tanah yang menuntun kami ke salah satu rumah yang menjadi bingkai peradaban eropa yang megungguli kekuasaan saat itu. Berlatarkan garis pesisir yang kian menyatu biru dengan malam, berdirilah siluet sebuah gaya rumah beraksitektur romawi dengan pilar yang seakan menantang zaman untuk memperkecil kehidupan para pribumi. Pekarangan taman yang berisi rose, kamelia, dan tulit itu begitu permai menghiasi kemewahan tanah imigran itu. Di belakang rumah, terdapat bangunan yang berfungsi menjadi kandang ternah yang sekaligus memuat perkakas dan rempah-rempah. Yang paling ku suka adalah bangku taman yang Melingkar berbentuk seperti sulur bunga yang juga di bingkai dengan ukiran rumit terbuat dari besi. Di tengahnya, terdapat sebuah meja berkayu mahogani yang teramat tebal dan begitu teduh dengan kanopi ranting pohon jati di atasnya.
Tak seperti biasa, keluarga snorsen bulan ini sedang kedatangan banyak tamu. Kedatangan kami di rumah itu hanya berstatus sebagai buruh panggilan. Dan ketahuilah, penampilan kami jauh dari layak di sandingkan dengan para bangsawan kolonial itu yang mengenakan pakaian sutra dengan benang dan kancing yang paling indah. Bajuku hanyalah sebuah kain serabut kasar yang dulu di jahit ibu dari sisa sobekan layar kapal.
Suara denting sendok dan piring terdengar ramai dan begitu mengeluarkan aroma makanan banyak. Aku baru ingat sepulang dari laut aku belum sempat makan malam karena terburu mengikuti ayah untuk mengurusi titah majikan yang baginya begitu penting itu.
Selepas membersikan kandang dan memberi makan kuda jerami, aku dan ayahku bergegas ke depan rumah tuan snorsen untuk pamit. Semoga saja malam ini aku bisa cepat makan dan bisa sempat menghadiri pasar malam.
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk menemukan sosok Tuan snorsen yang baru saja keluar dari pintu rumahnya. Ia tampak begitu gelisah dengan keberadaan awan mendung yang ditatapnya malam ini. Tak sengaja ia menoleh kepada kami berdua dan menyuruh kami untuk mendekatinya.
“Wahai Anan, ini adalah kabar yang paling buruk semenjak salah seorang keluargaku mengabarkan untuk datang ke sini melalui kapal barang.”
“Memangnya ada apa sir? Bukannya keluarga anda sudah datang semua,” tanya ayah dengan wajah heran.
Dengan tampang putus asa Tuan snorsen bercerita kalau sepupu jauhnya akan datang hari ini melalui dermaga surabaya. Kemdudian, selepas itu karena mereka memaksa ingin bisa sampai malam ini, Keluarganya sebagian ada yang berpisah dan memilih menyewa perahu penyebrangan menuju selat Madura namun sampai sekarang mereka belum tiba.
“Aku baru saja mendapat kabar ini dari madam maksie kalau Cucu dan menantunya sedang melalui jalur laut sore tadi.
Sebagai satu-satunya anak kecil di sana, aku memahami betapa rumitnya masalah tuan snorsen. Sedari sore hawa begitu panas menyengat dan kawanan burung pantai mulai bermigrasi membentuk rasi segi tiga di angkasa. Di antara kepercayaan keluarga pelaut, hari ini merupakan pertanda akan datangnya badai besar. Badai yang akan menimbulkan sesuatu yang mengerikan di tengah laut. Tak heran sebagian prahu dan tongkang penybrangan tak akan mau beroperasi hari ini. Hal ini di buktikan juga dengan Selubung kegelapan yang mulai memakan semua cahaya bintang dan sisa purnama malam ini.
“Apakah engkau bisa mengantarkan aku untuk menyusul perahu mereka?” Minta tuan Snorsen kepada ayah.
“Maaf sir, saya tidak akan mampu menyusul perahu mereka dengan prahu kecil saya. Apallagi Angin malah menarik kapal menuju arah badai.
“Sekarang aku memerintahkanmu untuk membantuku menyusul mereka. Datanglah ke pelabuhan untuk membawa perahu dagang milikku dan aku tak mau ada penolakan karena ini menyangkut soal jiwa seseorang di sana.” Perintah tuan Snorsen dengan paksa.
Ini sungguh buruk. Bukan hanya tiada makan malam, sekarang ayah malah harus di paksa mengemudikann kapal bersama tuan snorsen untuk menerjang badai mematikan di lautan sana.
“ayolah Damar, kali ini pulanglah dan sampaikan pada ibumu ayah akan menuju laut sebentar bersama tuan Snorsen.”
“tapi ini sangat gila yah. Angin dari pesisir sudah mulai tak terkendali dan apakah ayah yakin perahu dagang meyakinkan untuk bisa malalui badai?”
“Ini bukan urusan mu dan ayah ingin engkau pulang. Tiada bantahan lagi atau ayah di rumah akan memecutmu.” Bentak ayahku yang mengacungkan tangannya sebelum ia berlari menuju pelabuhan.
Perasaanku cemas dan aku tak mau pulang ketika mengetahui ayah akan melalui bahaya.. Sambil menoleh menuju jalan pulang. Aku memutuskan untuk berbalik dan mengejar keberangkattan kapal tuan Snorsen di pelabuhan. Ku kencangnkan langkahku menuju pelabuhan yang semakin basah karena sedikit gerimis dan angin mulai kuat berhembus.
(Baca bagian selanjutnya dengan klik “next”)
makasih infonya ya kak
Terima kasih sudah ikut berkontribusi. Tetap semangat dan terus produktif berkarya ya 🙂