Bandung – Jembatan penyebrangan yang dikhususkan pemerintah kota Bandung bagi para Disabilitas dirasa kurang efektif. Bahkan lambat laun akan jadi tidak efektif lagi. Jembatan setinggi 8 meter dengan tekstur melandai ini memang berbeda bila dibandingkan dengan jembatan penyebrangan pada umumnya.
Tahun 2005, jembatan ini berdiri kokoh setelah Pemerintah Kota Bandung menerima keluhan dari para disabilitas, khususnya penyandang tunanetra dan tuna daksa yang beraktivitas di sekitar jalan Padjajaran. Pertimbangan lainnya adalah keberadaan kompleks PSBN Wyataguna yang menjadi pusat aktivitas tunanetra. Selain itu, lokasi tersebut berdekatan dengan GOR Koni yang banyak digunakan oleh ORMAS-ORMAS disabilitas, khususnya tunadaksa.
Dengan adanya Perubahan jalur kendaraan yang diberlakukan sejak awal 2004, mengakibatkan kecemasan tersendiri bagi mereka atas berubahnya jalur tersebut menjadi satu arah. Berdirinya JPO ini ternyata masih saja menyisakan sedikit masalah bagi para disabilitas (pengguna JPO).
Mereka mengeluhkan tekstur jembatan yang menurun-menanjak dengan jumlah kurang lebih empat kali panjangnya dari jembatan biasa, hal ini mengakibatkan proses menyebrang lebih melelahkan. Maksud PEMKOT Bandung membuat jembatan dengan model seperti itu agar para penyandang tuna daksa yang mengunakan cruk dan kursi roda dapat memanfaatkan pula sarana ini.
Sejak awal dipergunakan hingga sekarang, banyak permasalahan yang timbul dan dirasakan langsung oleh para pengguna JPO. Ukuran jembatan yang sangat panjang dengan dilengkapi penutup di bagian atasnya, menjadikan jembatan ini punya daya tarik tersendiri bagi beberapa pihak yang sama sekali tak berkepentingan. Jika melewati jembatan unik ini, tak jarang ditemukan para pengemis, orang hilang ingatan, bahkan dipertengahan malam digunakan untuk kejahatan.
Para tunanetra yang seharusnya menikmati fasilitas ini, justru mengalami banyak kejadian tak menyenangkan. Cerita tentang dimaki-maki pengemis yang terinjak kakinya saat tertidur di jembatan sampai cerita diolok-olok dengan kata-kata kasar oleh orang yang kurang waras menjadi cerita sehari-hari. Bahkan, cerita yang mengerikan pernah dituturkan seorang tunanetra yang mengalami perampokan saat dia tengah menyebrang di malam hari.
Permasalahan di atas semakin membuat persepsi bahwa JPO di jalan Padjajaran bukan lagi sarana menyebrang yang efektif bagi para disabilitas, dan pada akhirnya mereka lebih memilih menyebrang di bawah jembatan, meskipun harus menunggu orang yang bersedia membantu.
Sebenarnya permasalahan ini tak perlu ada bila semua pihak ikut peduli. Dengan turut andilnya para petugas keamanan yang berada di GOR KONI dan Wiataguna, sepertinya hal-hal di atas berangsur-angsur akan berkurang. Sedikit kepedulian dari semua pihak akan kembali menjadikan sarana umum semacam ini tidak menjadi sia-sia. Mengingat sarana umum ini telah dibangun dengan biaya yang tidak sedikit.(Nensi)