Hari itu menjadi hari yang benar-benar tak pernah diharapkan oleh Donny. Mereka berdua memang telah membuat kesepakatan sejak awal peresmian hubungan mereka, tapi sungguh Donny tak menyangka bahwa apa yang ia sepakati bersama Dara benar-benar akan terjadi, bahkan dalam waktu yang begitu cepat.
“Dara? Kok nggak bilang kalau mau ke sini?” Donny melangkah melewati pintu depan rumahnya, menatap sesosok bayang kabur yang ditangkap oleh sisa-sisa penglihatannya. Sudah bertahun-tahun penglihatan pemuda jangkung itu terus menurun sedikit demi sedikit sehingga kini ia hanya mampu melihat sosok orang lain dalam bentuk bayangan yang bergerak di hadapan matanya.
“Iya,” hanya itu sepatah kata yang mampu diucapkan Dara untuk menanggapi perkataan lelaki di depannya. Ia sadar bahwa hari ini dirinya memang tidak seperti biasa. Biasanya Dara selalu memberi kabar jika ingin berkunjung ke rumah kekasihnya itu, bahkan ia minta dijemput di depan gang karena tidak mau jalan sendirian. Bagaimana pun kondisi penglihatan gadis itu juga tak jauh berbeda dengan Donny, ia kurang percaya diri untuk berjalan sendirian mencari rumah yang sudah berkali-kali dikunjunginya karena kondisinya sebagai tunanetra.
“Kalau kamu bilang, ‘kan aku jemput di depan gang,” Donny melangkah mendekati Dara. Ia ingin memberi sedikit pelukan kilat, namun Dara segera meletakkan sebelah tangannya di dada Donny, memberi isyarat pada pemuda itu untuk tetap menjaga jarak. “Kenapa,Sayang?”
“Ehm… Aku… Ada yang ngantar…”
Donny mengangkat wajah, mengalihkan pandang pada sekeliling teras rumahnya, mencari-cari sosok bayang lain yang mungkin ada di sana dan tertanggkap matanya. Tak lama ia merasakan sesosok tubuh yang mendekat, bayang tubuh itu lebih lebar dan tegap dengan langkah yang tampak tegas dan pasti. Meski tak mampu melihat wajah itu, tapi Donny tahu bahwa orang yang sedang mendekatinya adalah laki-laki. Hatinya yang dipenuhi kerinduan pada gadis yang amat dicintainya tiba-tiba berubah menjadi sebuah kecemasan. Ia merasa bahwa hal yang tak ingin ia alami akan terjadi hari ini.
“Fauzan.” ujar pemuda itu seraya meraih tangan Donny dan menjabatnya dengan bersahabat.
“Oh…” Kegelisahan merambahi otak Donny, membuatnya tak bisa bicara lebih banyak. Beberapa saat ketiganya terdiam, tak ada yang bersedia membuka mulut untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.
“Aku mau bicara sama kamu, Don. Berdua,” Dara akhirnya memecahkan keheningan, “Bisa?”
Donny terdiam sejenak, menelan ludah. Ia tahu bahwa firasat buruknya memang benar. “Oh iya, di dalam aja.”
“Sebentar ya, Zan.” Pamit Dara dengan suara yang amat pelan seraya mengikuti langkah Donny yang menggandengnya memasuki rumah dan meninggalkan Fauzan sendirian di teras.
Donny membawa gadis itu ke dalam kamarnya, tempat yang sudah biasa mereka gunakan untuk saling berkasihan dan melepas rindu yang membelenggu selama hari-hari mereka tak sempat bertemu. Tak mampu Donny menahan diri untuk menarik Dara ke dalam pelukannya setelah mereka menutup pintu kamar. Dara tak menolak pelukan itu, bahkan balas memeluk tubuh tinggi besar itu dengan erat, lebih erat dari biasanya.
“Kamu kenapa, sayang?” tanya Donny dengan lembut seraya mencium rambut Dara. Keduanya masih saling memeluk. Tidak ada jawaban, Dara hanya menggelengkan pelan kepalanya yang ia benamkan di dada kekasihnya.
Diam, lama.
“Kamu nggak tanya siapa laki-laki yang mengantarku itu?”
“Sudah tahu, Fauzan ‘kan?”
Dara mendongak, menatap bayang samar wajah lelaki yang masih memeluknya erat, “Bukan itu… Maksudku…”
“Iya, aku tahu kok,” potong Donny cuek.
“Tahu apa?” suara Dara mulai gelisah, ia mendorong tubuh Donny perlahan, meminta pemuda itu untuk melepaskan pelukannya.
“Dia…” Donny sengaja menggantung kalimatnya. Ia menarik nafas panjang, membelai lembut pipi kiri Dara. “Dia orang awas yang kau pilih untuk menjagamu.”
Diam. Hening, sunyi.
Tidak ada yang meneruskan pembicaraan sampai Dara mulai terisak pelan. “Maaf…”
“Nggak apa-apa, ini ‘kan sudah jadi kesepakatan kita sejak awal.” Donny mengusap rambut lurus gadis itu. “Kita ini tunanetra, bagaimana pun kita memang perlu orang awas untuk menjaga kita. Aku nggak bisa lihat, mungkin aku nggak akan bisa menjagamu sebaik Fauzan. Karena alasan seperti itulah dulu kita berjanji untuk saling ikhlas melepaskan jika kamu bertemu dengan lelaki awas yang benar-benar menyayangimu, begitu pun denganku. Kamu ingat itu ’kan, Ra?”
“Tapi Don, apa kamu memang berharap itu benar-benar akan terjadi?”
“Tentu saja tidak. Kalau aku tahu jadinya begini, aku nggak akan berjanji seperti itu.”
Dara semakin terisak, wajahnya semakin basah.
“Sejak kapan kamu bertemu dia?”
“Dia teman kuliahku dulu, dan ternyata kami satu kantor. Kami mulai dekat dua bulan terakhir. ”
“Fauzan…” Donny tampak berpikir, “Aku ingat nama itu. Bukankah kamu pernah menyukai laki-laki itu ketika kalian sama-sama kuliah?”
Dara tidak menjawab.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau kalian satu kantor dan hubungan kalian sudah mulai dekat?”
“Aku nggak bisa, Don” Dara kembali memeluk erat lelaki di hadapannya, membenamkan wajah di dadanya yang lebar membasahi kaos yang dikenakan pemuda itu dengan air mata. “Aku masih sayang.”
“Sudah, sayang.” Donny merengkuh gadis itu semakin dekat dalam pelukannya, “Toh ini juga yang diinginkan oleh orang tuamu. Bukankah mereka mengharapkan kamu berpasangan dengan lelaki awas yang bisa menjaga dan melindungimu seperti Fauzan?”
“Kalau aku dengan Fauzan, lalu kamu gimana?” Dara melepas pelukannya.
“Nggak usah khawatirkan aku,” Donny tersenyum, mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. “Aku ‘kan ganteng, nanti juga ada yang naksir.”
Dara yang sejak tadi terisak tiba-tiba terkekeh mendengar ucapan itu dan menepuk pelan dada Donny. “Kamu ingat perjanjian kita yang satu lagi?”
“Yang mana?”
“Kalau suatu hari kita punya pasangan masing-masing, kita akan tetap menjaga komunikasi dan menjadi sahabat untuk seterusnya. Ingat?”
Donny tersenyum teringat janji itu. “Iya, aku ingat.”
“Kalau gitu janji dulu,” Dara menarik jari kelingking Donny dan menautkannya pada jari kelingkingnya sendiri. “Aku akan tetap ada buat kamu. Cerita padaku kalau kamu punya masalah, aku akan bantu sebisa mungkin. Jangan lupa juga untuk cerita padaku kalau nanti kamu sudah dapat penggantiku. Janji?”
Dara memang sedikit manja dan kekanak-kanakan. Tapi inilah salah satu sifat Dara yang membuat Donny gemas dan tak kuasa menahan rindu tiap kali mereka terpisah oleh jarak dan waktu.
“Iya, aku janji,” ujarnya seraya mengecup kening gadis itu dengan seluruh rasa sayang yang dimilikinya. Jemari Donny menelusuri wajah Dara, mulai dari pelipis, pipi, dan bibir. Diusapnya bibir yang terasa lembap dan lembut itu dengan jari telunjuk, “Untuk yang terakhir, boleh?”
Donny tak menunggu jawaban, dikecupnya lembut bibir itu. Tak ada perlawanan, bahkan ia merasakan bibir gadis itu bergerak pelan memberi balasan. Keduanya menyadari apa yang sedang mereka lakukan. Ini yang terakhir dan tidak akan pernah ada lagi momen seperti ini untuk mereka berdua.