Jalan Intelektual Mahasiswa Difabel

Perjalanan intelektual mahasiswa dari waktu ke waktu memiliki pasang dan surut. Biasanya, saat semester pertama, mereka begitu semangat, penasaran dengan berbagai hal baru di dunia kampus, dan bisa dipastikan mereka juga akan mencari kenalan sebanyak mungkin dengan beragam cara. Mulai dengan bergabung dengan organisasi, unit kegiatan mahasiswa, kompetisi, proyek, forum diskusi, seminar, konser, dan lain jenis kegiatan. Tapi, kita akan memfokuskan pada 2 kata pertama pembuka, yaitu perjalanan intelektual, sebuah hal yang krusial untuk mendapat perhatian khusus.

 

Saat mula-mula memasuki dunia kampus, sudah tentu kita akan diwajibkan untuk mengikuti serangkaian kegiatan sejak pagi hingga sore, bahkan malam hari pada hari ketiga. Kegiatan tersebut adalah ospek (orientasi pengenalan kampus), tapi beberapa institusi mengganti namanya agar lebih relevan dengan branding institusinya, seperti PBAK, PPKMB, dan masih banyak lagi. Biasanya agenda tahunan ini berisi pemaparan materi beragam isu dari sejumlah akademisi terkemuka di kampus itu, baris-berbaris sambil mendengarkan orasi berapi-api dari mahasiswa senior, berdiskusi, permainan pelepas ketegangan, perform dan sosialisasi unit kegiatan mahasiswa dalam rangka regenerasi, dan seterusnya. Hanya pertanyaannya sekarang, sudahkah hal-hal tersebut menumbuhkan intelektualitas dalam diri kita? Apakah kegiatan tersebut mampu mengembangkan nalar kritis kita dalam menanggapi dinamika era distruktif yang kian meresahkan dari detik ke detik ini?

Baca:  Ini Lho Jajaran 5 Kampus Ramah Difabel Dunia! Yuk, Belajar Dari Sini

 

Sayangnya, belum cukup. Nyatanya, selepas kegiatan kebanyakan mahasiswa baru masih saja mengulang kebiasaan saat masa putih abu-abu. Tidak disiplin dalam mengikuti perkuliahan di kelas, lebih rajin ikutan konser daripada forum diskusi, selesai kuliah langsung pulang, gaya hidup tinggi, mudah terseret arus pergaulan, dan lain-lain. Dampaknya juga tidak main-main. Bayangkan sendiri saja kalau hal-hal tadi masih berlanjut dan berlebihan dilakukan!

 

Perilaku distruktif yang mengancam daya intelektualitas itu, rupanya juga terasa dampaknya pada mahasiswa difabel. Hanya kadarnya lebih sederhana dan tidak setinggi mahasiswa non-difabel pada umumnya. Berdasarkan pengalaman dan sejumlah cerita, biasanya kasus yang sering terjadi pada mereka adalah problem kemandirian, baik kemandirian dalam keseharian, kemandirian dalam mengikuti perkuliahan, maupun kemandirian dalam aktualisasi diri. Memang, dalam situasi tertentu dibutuhkan pendampingan. Namun, tidak selalu, kan?

 

Contoh sederhananya, saat kita sudah mampu mengakses jalan menuju kelas, kenapa masih harus menunggu orang untuk menemani jalan? Tidakkah kita berupaya untuk berjalan sendiri dan bertanya pada orang di tengah perjalanan apabila salah mengambil jalur? Contoh lain lagi, saat mahasiswa difabel hendak memasuki unit kegiatan mahasiswa karena hendak mengasah bakat dan minat, acapkali ragu-ragu mempertanyakan dan meresahkan, akankah aksesibel dan penuh inklusif penerimaan unit kegiatan mahasiswa tersebut pada dirinya yang seorang difabel? Satu lagi, sewaktu hendak menyuarakan aspirasi di kelas karena belum inklusifnya dosen dalam mengajar dan perilaku beberapa teman yang tidak mengenakan, mengapa masih meragu penuh pertimbangan untuk bersuara?

 

Rata-rata, akhirnya mereka mengambil jalan prakmatis, menunggu layanan pendampingan dari pihak tertentu, minimal kawan dekatnya di kelas. Memang, kemandirian setiap orang berbeda-beda, termasuk penulis yang terkadang masih belum sepenuhnya mandiri karena keterbatasan penglihatan. Namun, tidakkah kita memiliki standar dan batas kemandirian sendiri ketika sudah menjadi mahasiswa? Alasannya sederhana. Karena kita manusia yang dilengkapi logika, nalar kritis, intuisi, dan perasaan oleh Tuhan. Terlepas kita difabel apapun itu, sisa pancaindra dan hal-hal lain dalam diri, selayaknya terus kita tingkatkan.

Baca:  Problematika Dunia Kerja pada Disabilitas

 

Sederhananya, kita tidak bisa melihat, tapi kita bisa mendengar dengan normal, mencium bebauan dengan baik, meraba dengan peka, berpikir dan merasa dengan sepenuh jiwa segala informasi dari sekeliling. Atau, kawan kita ada yang tidak bisa berpikir setinggi langit, tapi bisa mengoptimalkan sisa pancaindra untuk menghasilkan hasta karya. Lagi-lagi timbul pertanyaan, bukankah mereka bisa memperoleh pencapaian seperti itu karena orang-orang yang mendampingi di sekelilingnya? Tidak bisa dipungkiri, peran pendamping cukup signivikan. Cuma, yang menjadi catatan di sini adalah peran pendamping diperlukan saat kita tidak bisa mengakses lagi suatu hal. Seperti tunanetra yang membutuhkan orang melihat saat dihadapkan dengan bentuk visual, teman tuli yang membutuhkan bahasa isyarat dalam komunikasinya, difabel intelektual dan mental yang memerlukan kalimat yang lebih sederhana dalam obrolan, serta masih banyak lagi contoh yang mungkin bisa ditemukan dalam keseharian dan sekitar kita.

 

Untuk mengangkat itu, sejumlah organisasi pelayanan kemanusiaan biasanya menyelenggarakan agenda seperti forum diskusi, pelatihan, dan jenis program yang lain. Partisipan pengelolanya pasti dominan non-difabel. Jarang melibatkan difabel itu sendiri, sehingga terkadang tidak tepat guna dan tepat sasaran. Misalnya, pelatihan vokasional bagi difabel. Belum tentu kegiatan tersebut dapat diikuti oleh keseluruhan kategori difabel. Bisa jadi tunanetra paham secara teori, tapi mereka tidak mampu mengikuti kecepatan teman tuli dalam mempraktikan teori tersebut.

 

Contoh lain, forum diskusi misalnya. Kita sering kalah cepat dengan non-difabel dalam berbicara karena tidak biasa berbicara secara tepat dan cepat. Untuk itu, tidak salahkah jika kita memiliki cita-cita guna membentuk forum diskusi bagi difabel sendiri? Di sana, mungkin kita bisa saling bertukar ilmu yang pernah didapat selama di kelas dan perspektif hasil refleksi pengalaman personal masing-masing. Pemantik dan pembahas dipilih secara bergiliran. Hasil diskusi, bisa didokumentasikan. Bisa dengan rekaman, bisa juga dengan notulensi tulisan. Dampaknya? Bakal terasa sesudah berjalan berkali-kali. Mungkin nalar kritis kita akan meningkat, keterampilan berbicara dan menulis, serta kefasihan dalam mengendalikan diskusi akan berkembang. Catatan, forum ini khusus untuk mahasiswa dan fresh graduat difabel. Bukan untuk generasi sepuh yang sering mendominasi di organisasi masa itu, ya!

Baca:  'Beda' Tidak Berarti 'Selalu Tak Sama'

 

Akhirnya, di kelas dan kegiatan lainnya bersama non-difabel kita lebih bisa berdaya. Tidak ada lagi stigma difabel itu objek belas kasihan. Justru adanya difabel sebagai subjek penggerak perubahan. Difabel berdikari dan mampu menangani keterbatasan, baik dari dalam diri maupun standarisasi lingkungan sekitarnya. Kita bisa eksis bertahan dari penindasan materi dan teori. Seperti kelompok rentan lainnya yang sampai saat ini masih berjuang melawan dan berkembang menemukan posisi yang elegan di ranah publik.

 

Bantul, 13 September 2024

 

 

Bagikan artikel ini
Akbar AP Pendekar Kelana
Akbar AP Pendekar Kelana

Akbar Ariantono Putra, lebih akrab dengan Akbar AP, lahir di pinggiran sebelah timur Kota Bantul pada 02 Februari 2003. Terlahir sebagai Disabilitas Netra, tidak membuatnya surut dan gagal dalam menjalani hidup. Baginya, ada kelebihan di balik kekurangan. Ada potensi meski dalam keterbatasan.

Pria yang cenderung introvert ini menyenangi bacaan bertema fiksi seperti petualangan dan fantasi serta non-fiksi semisal sejarah, biografi, dan isu sosial. Moto hidupnya adalah :
🌹Ya Allah, Gusti Sesembahan Seluruh Semesta Alam, Ajari Aku, Supaya Menjadi Sebuah Bahtera Jiwa, Yang Mampu Melayari Samudra Kehidupan Ini, Yang Selalu Ada Gelombang Cobaan Yang Memberikan Pengalaman Penuh Hikmah💎&💎Memperkaya Jiwa.🌻

Articles: 9

One comment

  1. pemikiran yang menarik mas Akbar. memang kadang di lingkungan sesama difabel, akan terasa lebih nyaman. tetapi di lingkungan yang inklusif, kita juga bisa optimal kok. asal tujuannya bukan untuk bersaing tapi untuk saling memahami. Tak harus jadi yang terbaik, selama bisa berkontribusi sesuai dengan kadarnya.. Sebab dengan kita tetap berada di lingkungan tersebut, secara tidak langsung hal itu juga jadi edukasi untuk masyarakat.

Leave a Reply