Ironisnya Realita

Jalanan masih tampak ramai seperti biasa. Deruan suara motor dan mobil masih bergaung ke seantero kota. Kadang ada yang dengan sengaja meraungkan suara motor hanya untuk pamer dan membuat kerusuhan. Biasanya itu adalah ulah para pemuda yang masih belum mengerti kondisi orang lain. Aku melangkahkan kaki, tidak ada ongkos menyebabkanku harus berjalan kaki dari kampus ke rumah. Bahkan kuliah pun aku nyaris putus asa karena tidak ada biaya. Uang yang kumiliki dari hasil kerja kugunakan untuk biaya kuliah, kadang-kadang biaya hidup tidak terpenuhi. Makan pun hanya sekali. Aku melihat Nia, kawanku yang satu kelas denganku.

“Hi, Rina,” sapanya riang.

“Halo,” kataku tanpa antusias.

“Mau pulang?” tanya Nia.

“Ya,” jawabku.

Nia tersenyum. “Ada waktu untuk bermain malam ini?” tawarnya.

“Tidak,” tolakku segera. “Aku tak mau menanggung dosa.”

Nia tampak agak tersinggung, tapi tatapannya hanya sinis dan senyumannya tampak mengejek. “Oh, aku sudah tahu kau adalah orang dengan kefanatikan yang tinggi,” cemoohnya lalu pergi.

Aku hanya bisa memaklumi kata-katanya yang menyindir itu. Parfum Nia masih menyebarkan aroma wangi meskipun orangnya telah pergi. Aku tahu Nia pergi ke diskotik untuk menikmati malam harinya bersama para laki-laki hidung belang, menjual tubuhnya demi kepuasan semata, atau mungkin hanya karena dia butuh uang untuk hidup lebih glamour. Aku selalu mencoba menasihatinya, tapi jawaban yang kudapat selalu sangat kurang ajar.

Baca:  Termanis di Redaksi

Sesampainya di kosan, aku merebahkan tubuhku sejenak di tikar yang tipis. Kuhembuskan napas dengan letih, memikirkan semua beban hidup yang tak kunjung habis. Bayaran kosan, sudah empat bulan aku mengutang. Bayaran kampus sudah waktunya kulunasi, UKT dan segala macam tektek bengeknya. Belum lagi biaya quota, buku-buku yang harus dibeli, dan semuanya. Biaya hidup pun belum tentu terpenuhi. Aku mendadak bangkit. Jika keadaanku seperti ini, kerja keras adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah. Aku membuat adonan kue seperti biasa, mengocok adonan dengan alat manual, karena aku tidak punya mixer. Tanganku sudah pegal sekali, karena mengocok adonan seperti ini membutuhkan waktu lama, kalau banyak bisa jadi berjam-jam. Sesekali kudengar suara derum mesin motor di luar, menandakan seseorang baru saja pulang entah dari mana. Kemudian terdengar suara musik keras sekali, dan aku hanya bisa mengeluh dalam hati.

Setelah berabad-abad rasanya, akhirnya adonan telah terkocok dengan sempurna. Aku mulai melumuri cetakan dengan minyak, menuangkan adonan ke dalamnya, dan memisah-isahkannya agar tidak berceceran. Dan saat kompor sudah mulai bersuara, aku memasukan cetakan demi cetakan ke dalam panci, tempat aku merebus kueku. Sekali lagi, aku tidak punya oven. Ini membutuhkan waktu kira-kira 30 menit. Aku menunggu dengan sabar. Dan saat sudah matang, aku membungkusnya satu per satu di dalam plastik kecil, dan merapikannya di dalam kotak. Aku bersiap-siap lagi, kali ini untuk berjualan keliling kota.

Aku mengunci pintu kosan, memanggul kotak itu lebih erat di pangkuan, kemudian mulai berjualan. Mulai dari daerah sekitar, bahkan sampai ke daerah yang cukup jauh. Kadang kulihat anak-anak jalanan yang menongkrong, sesekali tercium bau minuman keras dari mereka saat aku melewati tempat itu, atau sesekali kulihat orang yang sedang ngelem, menghirup kaleng sampai rasa kantuk menyerang. Tak sengaja kulewati diskotik tempat Nia sedang berpesta. Aku melihat beberapa orang sedang berjoget dengan lincah, atau justru berkata meracau tak tentu arah, dipengaruhi oleh alkohol. Aku mempercepat langkah, takut salah satu di antara mereka menyeretku ke dalam.

Aku melewati kebun-kebun yang pohonnya rimbun, menciptakan suasana gelap seperti mau menuju malam hari. Kata orang, di kebun seperti ini banyak sekali hantu penunggunya. Mereka biasanya akan menyamar sebagai nenek-nenek, wanita cantik, atau sesuatu yang lainnya. Tapi aku hanya berpikir, kalau ada Allah dalam hati, kenapa harus takut dengan makhluk seperti itu? Sesekali ada nyamuk yang menggigit jemariku atau menghinggapi wajahku, tapi aku tidak bisa menepiskannya karena aku harus memegang daganganku erat-erat. Yah, hal ini sudah sangat wajar. Aku sering digigit nyamuk kalau sedang ada di kebun seperti ini.

Baca:  Sepasang Mata Coklat

Mendadak, suara di belakang mengejutkanku. Ada suara anjing yang menggonggong dengan galak. Aku berlari dengan cepat, takut anjing itu mendekatiku. Jujur, aku sedikit takut pada anjing. Bukan takut apa-apa, aku hanya takut terkena najisnya saja. Aku masih terus berlari, rasanya napasku sudah sesak, tapi anjing itu masih terus mengejarku. Sampai akhirnya aku menabrak pohon besar, daganganku terjatuh, kotaknya terbelah dua, dan semua daganganku jatuh ke tanah. Aku jatuh pingsan. Saat bangun, aku mendapati diriku ada di sebuah tempat asing. Kelihatannya seperti rumah panggung. Aku teringat rumah, dan rasanya ini memang seperti rumahku di Kampung Kuta sana. Kemudian seorang wanita setengah baya mendekatiku, menyorongkan segelas air. Aku bangun, dan minum tanpa ragu-ragu. Tak lupa kuucap Bismillah.

“Kamu luka cukup parah,” kata wanita itu. “Istirahat saja di sini sampai kamu benar-benar sembuh.”

“Terima kasih, Bu,” kataku. “Tapi… saya ada di mana?”

“Kamu ada di pondok saya,” kata wanita itu. “Namaku Ningsih. Sebut saja aku Ning.”

“Terima kasih, Bu Ning,” kataku, dan akhirnya aku bisa duduk meskipun seluruh tubuhku rasanya sakit semua. “Tapi di mana dagangan saya?”

Bu Ningsih tampak ragu untuk menjawab. Namun akhirnya dia berkata: “Daganganmu sudah habis dimakan anjing yang mengejar kamu.”

Aku terhenyak kaget. Dagangan itu, semuanya kubuat dengan tenaga dan keringat yang banyak, sementara sekarang daganganku belum ada satu pun yang laku, tapi semuanya habis dimakan anjing. Air mataku jatuh tanpa terasa. Sia-sia semua modal yang kukeluarkan. Padahal semua bahannya berharga cukup mahal. Ini seperti kata pribahasa, sudah jatuh ditimpa tangga.

“Ya Allah,” rintihku tak mampu menahan tangis.

Teleponku berbunyi, dan saat kulihat, ternyata dari Nia. Aku mengangkatnya dengan masih menangis tanpa suara.

“Rina, Rina, tolong aku! Aku mau dibunuh!” kata Nia setengah panik.

Baca:  Kemilau Purnama (part 2)

“Apa?” seruku kaget.

“Ada laki-laki mabuk yang mengira aku mantan pacarnya!” Nia mencoba menjelaskan dengan nada panik. “Aku hampir dibunuh sekarang.”

“Tapi aku juga sekarang ada di tempat asing,” kataku dengan suara tercekat.

Namun belum sempat kudengar jawaban darinya, Nia menjerit keras sekali, dan begitu saja, hanya meninggalkan suara gaduh jalanan dan diskotik. Aku tergugu menatap layar ponsel, mungkinkah Nia sudah mati? Kenapa hari ini rasanya nasibku sial sekali? Batinku merana.

Selama beberapa hari aku dirawat oleh Bu Ningsih, dan saat keadaanku cukup membaik, aku izin berpamitan pulang. Bu Ningsih mengantarku sampai akhir batas kebun kayu yang kulewati saat aku dikejar anjing beberapa hari yang lalu. Aku datang ke kampus pagi-pagi sekali, shalat dhuha di Masjid dan menunggu teman-temanku di kelas. Semuanya datang, kecuali Nia. Firasatku tidak enak. Kemudian semua teman-temanku menyambutku, ada yang memelukku erat-erat, ada yang mengucap selamat atas kesembuhanku.

“Kamu tahu, Rin, Nia sudah meninggal,” kata salah satu temanku, namanya Intan. “Dia dibunuh di depan diskotik.”

Aku benar-benar kaget. Walaupun sudah kuduga dari awal, namun tetap saja aku terkejut mendengar kenyataan yang sebenarnya. Nia sudah mati. Kasihan, batinku pedih. Dia belum sempat bertobat, belum sempat memperbaiki dirinya.

“Nia menjadi pelacur karena terpaksa,” jelas Intan. “Dia didesak oleh ibunya untuk melakukan itu karena dia cantik dan pasti bisa menghasilkan uang banyak kalau dia menjual tubuhnya. Mereka punya hutang banyak, terutama ibunya yang sering meminjam ke bank. Ayahnya tukang judi, banyak hutangnya. Nia sebenarnya tidak suka, tapi mungkin lama-lama dia jadi terbawa suasana.”

Aku semakin terkejut bukan kepalang mendengar ini. Ternyata pandanganku terhadap Nia selama ini salah. Atau paling tidak lebih banyak salahnya daripada benarnya. Aku memandang hampa ke dinding sebrang. Teringat permohonan Nia padaku saat aku masih di rumah Bu Ningsih. Sayang sekali, aku tidak bisa menyelamatkan dua hal dari Nia. Pertama, aku tidak bisa menyelamatkan dirinya dari kubangan dosa. Kedua, aku tidak bisa menyelamatkan nyawanya dari seorang pemabuk berat. Maafkan aku, Nia. Apa pun takdir Allah untukmu, aku tidak tahu. Tapi kudoakan semoga kau bisa masuk Surga. Inilah realita. Sangat ironis dan miris. Tapi semua orang ada yang sanggup dan ada yang tidak sanggup menjalaninya.

Bagikan artikel ini
Nurul Rahmah
Nurul Rahmah

Penulis asal Ciamis, kelahiran 2003, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sukabumi.
Follow Instagram: @nur.alrahmah
Follow Twitter/X: @NRGaza
follow channel telegram: t.me/nrgaza

Articles: 10

Leave a Reply