“Sudah maghrib, Bu. Ayo, masuk…,” suara itu terdengar lembut meskipun ada nada khawatir ketika mengucapkan ajakan itu.
Perempuan tua yang masih mencangkung dengan selendangnya itu menoleh sesaat. Sepasang matanya menatap gadis yang menyapanya. Yang ditatap merasakan kekosongan. Sepasang mata itu seperti lorong panjang dan gelap tak berlampu; seperti jalan yang dulu sering dilaluinya.
”Ibu sakit?” tanya gadis itu.
Perempuan tua itu menjawab dengan gelengan kecil. Tak lama kemudian dia membuang nafas, bangkit dan berjalan masuk.
Beberapa hari ini perempuan tua itu kerap duduk melamun di teras depan. Sambil mengelus-elus selendang di pangkuan. Berjam-jam dia betah duduk di situ, dengan pandangan mata menerawang. Entah, apa yang berkecamuk dalam pikirannya.
Ranti tak berani mengusik atau bertanya. Sejak pertama kehadirannya di tempat ini, dia tak banyak bicara. Dia hanya mengucapkan sepatah dua patah kata bila ditanya. Dia pernah bilang mencari anak perempuan satu-satunya yang dibawa pergi suaminya dua puluh tahun silam.
Dua puluh tahun. Bukan waktu pendek untuk sebuah pencarian. Apalagi perempuan itu tak punya gambaran di mana keberadaan suami dan anaknya. Ranti membayangkan banyak hal terjadi setelah dua puluh tahun. Boleh jadi suaminya sudah menikah lagi, tidak pergi ke Jakarta seperti dugaannya, atau mungkin juga sudah tiada!
“Persetan dia sudah mati atau belum, yang penting aku bisa menemukan anakku. Hanya dia satu-satunya harapanku!” desisnya gusar saat dikemukakan kemungkinan itu.
Tapi waktu dua puluh tahun juga telah merubah sosok anak perempuan itu. Sekarang tentu sudah menjelma menjadi gadis dewasa. Jika kebetulan mereka berpapasan di jalan, mereka tidak akan mungkin saling mengenal. Saat perpisahan dulu, si anak masih berusia empat tahun. Perempuan itu tidak punya bukti foto atau surat keterangan tentang diri Sawitri, putrinya. Semua foto dan data kelahiran Sawitri ikut dibawa kabur.
Tapi perempuan itu sangat yakin, jika suatu ketika bertemu putrinya dia masih bisa mengenali. Sawitri memiliki kemiripan wajah dengannya, dia juga memiliki bakat menyanyi seperti ibunya. Dulu, semasa mudanya perempuan itu berprofesi sebagai penyanyi dangdut. Dia kerap tampil dalam panggung-panggung hiburan.
Pada dekade delapan puluhan hiburan musik dangdut begitu merajai pentas-pentas di berbagai daerah. Musik dangdut sangat merakyat dan selalu dipenuhi penonton. Penyanyi dangdut yang kebanyakan perempuan muda tidak sekadar mendendangkan lagu, tapi juga harus bisa bergoyang pinggul dan melakukan sebuah atraksi. Sudah menjadi kelaziman penyanyi dangdut berpenampilan seksi. Gaya sensual di atas panggung ikut jadi bahan jualan.
Tapi tak semua orang tahu, di balik gebyar panggung hiburan, para pelakon musik dangdut menyimpan ironi kehidupan yang cukup tragis dan miris. Seperti yang dialami Soraya, nama beken perempuan itu waktu muda. Hampir lima belas tahun dia bergelut dengan dunia panggung hiburan rakyat. Pasang surut menjalani profesi penyanyi dangdut keliling telah dikecapnya.
Awalnya dia ditentang oleh keluarganya karena memilih menjadi penyanyi dangdut. Bagi keluarganya yang hidup di lingkungan santri, profesi sebagai penyanyi dangdut dipandang dekat dengan kemaksiatan. Atraksi goyang pinggul dan pakaian seronok bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut mereka. Apalagi hiburan musik dangdut yang sering dipentaskan pada malam hari dengan penonton kebanyakan kaum laki-laki menguarkan aroma kemesuman. Penyanyi dangdut kerap dianggap perempuan gampangan.
Kenyataan, Soraya mesti menghadapi pahit getirnya menjalani hidup sebagai penyanyi dangdut. Bagaimana dia harus menyisihkan honor menyanyi yang tak seberapa untuk bayar kontrakan rumah, membeli kostum, perlengkapan make-up, dan lain-lain. Pendeknya, honor menyanyi tak mencukupi, mana panggilan manggung tidak saban hari. Hanya pada event-event tertentu seperti saat musim hajatan, pasar malam, kampanye parpol, atau acara khusus lainnya.
Jika kemudian Soraya mencari sampingan dengan melayani ajakan kencan para laki-laki hidung belang, itu semata demi melangsungkan hidup dan mempertahankan eksistensi sebagai penyanyi dangdut. Dia tidak mungkin kembali pada keluarganya yang sudah mengusirnya. Terlanjur basah terjun ke dunia yang sudah dipilihnya. Dia masih menyimpan harapan waktu dan keadaan akan merubah nasibnya. Seperti rekan-rekannya yang berhasil masuk dapur rekaman atau digaet promotor besar untuk pentas nasional.
Tapi dia pun sadar, dunia seni hiburan tak lepas dari intrik dan persaingan. Seleksi alam berlaku. Gadis-gadis muda yang ingin membangun mimpi menjadi artis atau penyanyi terkenal datang membawa ancaman. Tak jarang cara-cara kotor dilakukan. Soraya pun makin sadar usia yang terus merambat menipiskan harapan menggapai impian. Pamornya mulai meredup, panggilan manggung makin jarang, dan kerut yang mulai tampak di wajah melunturkan pesonanya. Memang dia masih terlihat cantik dan awet muda, tapi tak bisa dipungkiri ada yang lebih muda, cantik, dan memiliki gairah kesegaran dibanding dirinya.
Di tengah kegalauan menghadapi masa depan datang lamaran seorang laki-laki pengagumnya yang ingin menjadikannya istri, menumbuhkan harapan baru. Soraya tak peduli laki-laki itu tidak ganteng dan bukan orang kaya. Soraya sadar dirinya bukan perempuan mulia. Telah banyak laki-laki merusak kesucianya. Soraya ingin mengakhiri petualangannya dan membangun mimpi membina rumah tangga. Karena toh tidak selamanya dia menggantungkan hidup sebagai penyanyi dangdut. Sudah tiba waktunya untuk turun panggung.
Namun harapan menggapai kebahagiaan dalam hidup rumah tangga bak menggantang asap di atas perapian. Sang suami yang ternyata pengangguran, tukang judi, pemabuk, dan ringan tangan kerap menyakitinya. Semua harta Soraya hasil jerih payah menyanyi dihabiskan sang suami di meja judi. Kehadiran seorang putri cantik di tengah perkawinan mereka tak juga merubah perilaku sang suami. Soraya mesti menanggung derita lahir maupun batin. Penderitaannya mencapai puncak tatkala laki-laki itu minggat sambil membawa putri mereka.
Sudah berbagai kota dan daerah dia datangi untuk mencari mereka. Bertahun-tahun dihabiskan di jalanan demi bisa menemukan sang buah hati. Keadaannya telah banyak berubah. Tubuhnya kini tampak kurus kering, mata cekung, dan rambut kusut tak pernah disisir. Bahkan sebagian rambutnya dipenuhi uban. Kaki kirinya pincang karena tertabrak motor. Penampilannya mirip orang gila. Untuk bisa bertahan hidup dia meminta-minta seperti pengemis jalanan. Siapa pun tak akan mengira bila dulu dia seorang primadona panggung.
Ranti menemukannya meringkuk kedinginan di pinggir jalan. Dia lalu membawanya ke rumah panti. Ternyata dia menderita demam. Selama lima hari Ranti merawat dan mengobatinya. Sampai akhirnya dia menjadi sehat dan bisa kembali berjalan-jalan. Tapi Ranti memintanya untuk tetap tinggal. Apalagi setelah mendengar riwayat hidup yang dituturkannya. Ranti merasa iba dan tak tega menyaksikan perempuan itu harus menggelandang di jalan diombang-ambingkan oleh harapan tak pasti.
Ranti lalu mencoba membujuknya. Dia berjanji akan ikut membantu mencari Sawitri. Dunia sekarang lebih maju dengan teknologi komunikasi seluler, televisi, dan internet. Ranti akan menyebarkan kisah tentang Soraya ke berbagai media tersebut, khususnya situs jejaring sosial facebook. Siapa tahu Sawitri yang dicari ibu Soraya membaca dan kemudian menghubungi nomer yang telah dicantumkan. Mereka tinggal menunggu dering telepon datang dari seseorang yang mengaku sebagai Sawitri atau mengetahui keberadaan Sawitri.
Tapi pekerjaan menunggu terasa menjemukan. Perempuan tua itu tak bisa menahan hasrat untuk berjalan mencari putrinya. Beberapa kali dia hendak kabur, tapi berhasil dicegah. Jika pun berhasil keluar dari lingkungan panti, petugas bisa menemukannya dan membawanya kembali. Merasa letih, akhirnya perempuan itu pasrah. Tidak pernah kabur lagi. Tapi hari-hari kini banyak dihabiskan dengan duduk termenung di teras depan sambil mengelus selendang. Kain selendang yang pernah digunakan menggendong putrinya itulah satu-satunya benda kenangan yang masih tersisa. Dia tak mau dipisahkan dengan selendang kumuh itu.
Diam-diam Ranti sering memperhatikan perempuan tua itu dari kejauhan. Hatinya jadi pilu. Dia bisa merasakan penderitaan ibu Soraya. Perempuan tua itu mengingatkan dirinya pada sosok ibu kandung yang kerap timbul tenggelam di renung lamunan. Sama seperti nasib perempuan tua itu, dia pun terpisah dengan ibunya. Tapi beda riwayat dengan ibu Soraya, ibu Ranti meninggalkan putrinya saat masih bayi merah. Menurut cerita yang didengar Ranti, ibunya malu memiliki anak di luar nikah. Dia pergi untuk menutupi aib. Hingga dua puluh tiga tahun lamanya Ranti tak pernah melihat wajah sang ibu.
Ranti sendiri tak tahu di mana keberadaan ibu kandungnya. Nenek yang pernah merawatnya tidak tahu menahu, begitu pun keluarga yang lain. Hidup tanpa belaian kasih seorang ibu membuat Ranti terobsesi pada sosok ibu. Meski dikata telah dibuang sang ibu, tapi Ranti tidak benci atau dendam padanya. Justru dia benci pada laki-laki yang telah menyebabkan ibunya menanggung aib. Untuk mewujudkan baktinya pada ibu, Ranti kemudian merelakan tenaganya mengurus para wanita jompo. Dengan melayani dan merawat mereka Ranti merasa seperti merawat ibunya sendiri.
Dia mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya pada semua ibu-ibu yang ada di panti ini. Mereka pun sangat menyukainya. Jika kemudian Ranti lebih memperhatikan ibu Soraya, itu karena mereka memiliki perasaan senasib. Ranti merasakan getaran rindu luar biasa pada diri ibu Soraya. Perempuan tua itu bahkan tak mempedulikan keadaan dirinya, yang ada dalam pikiran dan hatinya adalah Sawitri. Terbayang di benak Ranti, andaikan ibunya seperti ibu Soraya. Menyimpan kerinduan dalam pada putri yang dibuangnya. Tanpa terasa air mata menitik membasahi pipi Ranti.
“Sawitri! Sawitriii….!” Tiba-tiba terdengar jeritan menyentakkan lamunan Ranti.
Dia tergopoh menghampiri asal suara. Di ruang depan terlihat ibu-ibu sedang berkerumun. Ranti menyeruak. Terlihat ibu Soraya terduduk di kursi sambil menangis histeris. Ibu-ibu berusaha menenangkan.
“Ada apa ini?”
“Tidak tahu kenapa, tiba-tiba ibu Soraya berteriak histeris,” kata Bu Hesti.
“Dia habis baca majalah ini…” Seseorang menyodorkan sebuah majalah terbitan bulan lalu.
Ranti melihat pada salah satu halaman termuat feature tentang seorang penyanyi dangdut muda. Mungkin ibu Soraya mengira penyanyi dangdut ini adalah Sawitri, putrinya. Padahal namanya bukan Sawitri.
“Tenang, Bu. Ini bukan Sawitri,” ucap Ranti sambil mengelus tangannya.
“Aku yakin dia Sawitri. Aku sangat yakin dia anakku!” bantah Soraya.
“Bukan, Bu. Dia bukan Sawitri. Namanya lain!”
“Nama bisa diganti. Tapi aku sangat yakin sekali. Wajah gadis ini sama persis diriku di waktu muda. Gayanya juga persis diriku. Tak salah lagi, dia Sawitri. Naluri seorang ibu tidak salah!”
“Tapi, Bu…?”
“Tidak! Aku yakin dia Sawitri! Aku akan menemuinya! Aku harus menemuinya!”
Perempuan tua itu berusaha melepaskan cekalan tangan orang-orang. Mencoba berontak. Sambil menjerit histeris. Seperti orang kalap, begitu besar hasrat untuk bertemu sang anak. Ranti bisa merasakan getar kerinduan yang luar biasa pada diri ibu Soraya. Ranti seperti melihat ibunya sendiri. Perempuan yang sedang menjerit histeris itu, yang begitu meluap hasrat bertemu sang anak, adalah ibunya. Spontan Ranti memeluknya.
“Ibu! Tenang ibu…!” bisiknya.
Perempuan tua itu terdiam. Semua yang melihat pun terdiam. Hening sesaat. Dia bisa merasakan pelukan gadis itu erat, seperti Sawitri dahulu ketika kedinginan. Anak itu memeluk tubuhnya untuk mendapatkan kehangatan. Perempuan tua itu berkaca-kaca kedua bola matanya.
“Sawitri…? Anakku!” cetusnya dengan suara bergetar.
“Ya, Bu. Aku Sawitri. Aku Sawitri yang ibu cari…,” balasnya lirih.
“Oh, Sawitri…!” Dibalasnya pelukan gadis itu erat sambil bercucuran air mata.
“Sawitri anakku…! Akhirnya kamu kembali ke pelukanku!”
Ranti mengangguk sambil tersenyum. Air matanya menetes haru. Dia tahu, meski ini kedengarannya konyol tapi tak ada salahnya dia berperan sebagai Sawitri. Perempuan tua itu membutuhkan kehadiran seorang anak untuk mengisi ruang hatinya yang hampa, demikian pula Ranti. Sudah terlalu letih perempuan tua itu berjalan mencari putrinya. Inilah saatnya dia mengakhiri petualangannya dan menemukan bahagia. Seperti kebahagiaan Ranti bisa menemukan ibunya dalam sosok berbeda! (*)
Editor: Putri Istiqomah Priyatna