Hujan yang turun begitu deras. Gemericik suara hujan terdengar menitik di atas genting. Pepohonan dan tumbuh-tumbuhan bersuka cita menyambut air yang turun karena rahmat Tuhan yang Maha Esa. Setelah sebulan tak diguyur hujan, suasana desa begitu segar. Petani bersuka cita menyambut datangnya hujan. Namun, tidak denganku. Aku tak mampu berbuat apa-apa, aku hanya terduduk di atas kursi rodaku. Sedang ibuku yang sudah tua rentah sibuk menadahkan air hujan, untuk persedian air minum keluarga kami.
Perkenalkan aku Rinda, seorang anak tuna daksa yang tak memiliki kaki kiri, karena kecelakaan yang menimpaku saat aku berusia 5 tahun. Saat itu perasaan kedua orangtuaku hancur remuk, melihat putrinya yang harus kehilangan kakinya. Bayangkan saat aku tumbuh sebagai gadis remaja semua orang memandangku sebelah mata. Hatiku hancur, ketika teman-temanku yang saat itu tengah asyik bermain kejar-kejaran, dan aku yang ingin ikut bermain dengan mereka, mereka malah tak mau mengajakku, karena keterbatasanku. Aku bergegas memutar kursi rodaku untuk kembali ke rumah. Aku menangis di dalam kamar,
“ Tuhan, mengapa aku berbeda ? .” Saat itu aku menyalahkan Tuhan atas derita yang aku alami. Ibu yang mendapatiku tengah terisak-isak menangis di sudut kamar, mengelus kepalaku dan tersenyum.
“ Ibu.. kenapa tersenyum ?” tanyaku. Ibu menjawab
“ Kamu gadis yang cantik nak, jika kamu terus menangis nanti matamu bengkak, dan cantiknya hilang” hibur ibu. Aku memeluk ibu dan mengadu pada ibu.
Hari-haripun berlalu, aku melewati hariku di sekolah Luar Biasa (SLB) “Kasih Ibu”. Di sana aku merasa lebih dihargai dan memiliki teman-teman yang sama denganku. Kini aku telah duduk di kelas 1 SMA. Sejak SMP aku bersekolah disana.
Di sekolah ini aku mendapat motivasi dari kakak kelasku yang berhasil menjadi penulis walaupun dengan keterbatasannya, salah satu yang menginspirasiku adalah kak Lulu, seorang tuna wicara yang mampu melahirkan karya-karya yang laris dibeli. Aku yakin keterbatasan fisikku tak akan menghalangi talenta yang ada pada diriku.
Sama seperti kak Lulu aku juga sangat suka menulis, apalagi menulis puisi. Saat kelas 2 SMP aku memenangkan Lomba menulis puisi se- SLB “ Kasih Ibu”. Inilah Puisiku yang mendapat juara pertama di Lomba itu.
Asaku
(Oleh : Rinda)
Mendidih sampai ke ubun-ubun
Rasa benci yang sangat teramat , Membakar suka di hati
Dengarlah…. Dengarlah jerit hati di balik naungan sunyi
Tatkala Lidah memberontak, diri tak ingin terpedaya…..
Coba lihat… aku berdiri disini, bermandikan cahaya kelam
Terbasuh di bawah sinar rembulan temaram
Gerakan semu membayangi kakunya jiwa
Setapak demi setapak langkah menjejal
Senandungkan.. senandungkan lagu pembakar semangat tatkala diri terkapar lemah
Retakkan cermin kegelapan yang menjerumuskan
Semailah benih yang tengah terkubur dalam
Dalam deruh dan kecamuk cemoohan…
Tetaplah tegar, seperti karang yang terkena deburan ombak di lautan
Di mata Tuhan kita sama…..
Jangan peluh menatap masa depan
Asa itu tetap ada………
Teruslah berjuang hingga raga terpisah dari badan….
Saat aku memenangkan Lomba itu, aku diberi apresiasi sebuah piala cantik berwarna kemasan yang cukup tinggi dengan balutan pita berwarna merah dipinggangnya, tertulis “ Juara 1 Lomba Menulis Puisi tahun 2005”. Aku juga mendapat piagam penghargaan dan uang pembinaan sebesar Rp. 200.00,00. Semuanya ku persembahkan untuk ibu. Aku menangis dalam dekapan ibu, ibupun terharu, beliau berkata sungguh bangga mempunyai putri seperti aku.
Sayangnya, aku tak mampu mempersembahkan itu kepada ayah. Ayah telah meninggalkan kami saat aku berusia 8 tahun. Lukaku waktu itu sungguh bertumpuk menjadi satu, aku nyaris menjadi depresi, karena merasa beban hidupku yang teramat berat. Namun ibu selalu memberi semangat padaku.
Karena kemampuanku dalam menulis, sekolah mempercayaiku sebagai penulis tetap di majalah dinding sekolah. Selama berada di SLB, sudah sekitar 35 tulisanku yang tertempel bergantian di majalah dinding sekolah. 25 diantaranya adalah puisi dan 10 buah cerita pendek.
Eksistensiku dalam menulis tidak hanya terhenti disitu. 27 Februari 2007. Aku mencoba mengikuti ajang kompetisi menulis novel inspiratif yang terilhami dari kisah nyata. Salah seorang sahabatku Dwinda, seorang tuna netra memberi masukan padaku, dan bersedia menceritakan kisah hidupnya padaku. Cerita sahabatku itu mampu menjadi udara segar dalam menggarap novel inspiratifku yang berjudul “Kita Semua Sama”. Setelah lebih kurang satu bulan, aku menyelesaikan novel itu, namun aku kesulitan menulis akhir cerita novel itu.
Aku mendapat masalah saat tengah menyelesaikan novel itu. Seorang yang tak menyukaiku mencoba menghardik diriku. Dia begitu iri denganku, dia adalah Misan seorang anak autis yang sangat nakal. Ia sungguh tak menyukaiku dengan keterbatasan yang aku miliki aku tak mampu mengelak dari kekerasan yang dilakukannya. Ia memukul kepalaku dengan batu bata yang ada di sekitar sekolah kami, karena kejadian itu aku harus dirawat selama tiga hari di rumah sakit Citra Medika. Entah, apa salahku pada anak itu ?, mengapa ia tega melakukan itu padaku ?.
Aku sempat koma selam 1 hari, darah segar mengucur dari kepalaku akibat hantaman benda keras yang melukai kepalaku. Dokter menghimbau agar aku dioperasi kecil, namun karena keterbatasan biaya, Ibu meminta cara lain. Walaupun demikian ibu masih harus meminjam uang kepada tetangga. Ibu, maafkan anakmu yang selalu menyusahkanmu. Di rawatnya aku di Rumah sakit menunda penulisan novelku, akibatnya aku gagal mengikuti kompetisi penulisan novel inspiratif itu. Aku begitu kecewa karena tak dapat ikut, namun aku lebih kecewa lagi, jika aku tak mampu menhampus air mata dari ibuku.
Ku dapati tiap malam dalam do’a saat sholat malam ibu selalu meminta kesehatan diriku. Ibu selalu menyembunyikan kesedihanya, yang tak pernah ku tahu. Namun, sakit yang kurasa sekarang telah membukakan mataku. Aku harus kuat. Tekadku sudah bulat, sepulangnya dari rumah sakit aku akan bekerja membantu ibu.
Tiga hari telah berlalu, entah darimana ibu mendapatkan uang untuk membiayai perawatanku. Sekolah telah memberi bantuan sedikit, namun aku yakin itu belum cukup untuk membiayai perawatanku. Orang tua Misan, hanya mampu meminta maaf karena keluarga mereka juga bukan orang yang berada, dengan sabar ibu hanya menasehati orang tua Misan, dan tak menuntut sedikitpun pada mereka. Aku begitu terharu dengan kebaikan hati ibuku. Tuhan , aku begitu beruntung mendapatkan orang tua seperti beliau.
Aku tak mau kembali ke sekolah, aku memutuskan untuk membantu ibu menjajakkan kue lempar yang dibuatnya hingga tengah malam. Namun, ibu bersikeras menolak bantuanku itu. Ia berkata
“Nak, Ibu tak minta apa-apa pada Rinda, Ibu mau Rinda jadi anak yang pintar”. Aku tak mampu berkata-kata, diatas kursi roda itu aku hanya meneteskan air mata. Ibu memberi pengertian padaku, jika aku menjadi anak yang pintar maka aku akan sukses. Ibu berpesan agar aku selalu bersungguh-sungguh dalam segala hal, agar aku menjadi anak yang berhasil.Dan hal itu akan membuat ibu bahagia.
Aku kembali aku memikirkan perkataan ibu dan teringat akan kesuksesan kakak kelasku dalam menulis. Ku mulai dengan memperbaiki novel yang tengah ku garap, satu-persatu inspirasi datang ke dalam benakku. Benar, Siapa yang sungguh-sungguh dia akan berhasil. Hal ini tak hanya untuk orang nondisabilitas, namun aku pun bisa.
Suatu Hari, di sekolahku di tempel brosur perlombaan ajang kompetisi dan kali ini lebih bergengsi dari sebelumnya. Novel yang menang akan mendapat hak terbit. Aku sungguh antusias menanggapi informasi itu. Bu Ririn seorang guruku menyambut niat baikku itu, beliau bersedia meminjamkan laptopnya padaku.
Naskah novel yang tadinya ditulis tangan, kini mulai diketik dalam bentuk soft copy, sahabatku juga ikut andil dalam pembuatan novel ini. Setelah novel rampung dibuat dan diketik. Bu Ririn meminjamkan printernya untuk mencetak hasil karyaku itu, setelah sebelumnya beliau memberi saran dan editing terhadap karyaku itu. Aku bertambah semangat karena dukungan ibundaku, guruku dan sahabatku tercinta.
Hidupku terasa begitu lengkap dan sempurna.Akhirnya, aku menemukan judul yang cocok dari novelku, “ Ibu.. Biarkan Aku Berbakti”, itulah judulnya. Bu Ririn yang sempat membacaa novel itu mengucurkan air mata. Dwinda sahabatku yang hanya mampu mendengarpun, ikut menitikkan air mata, mendengar novel yang kubacakan. Ibu Ririn sudah tak sabar mengumpulkan karyaku itu. Tiba masa Lomba, kami bertiga mengumpulkan berkas melalui pos.
Dag… dig… dug, jantungku berdetak, tiap malam aku berdo’a agar naskahku dapat diterbitkan. Setelah menunggu selama 3 bulan pada akhir tahun 2008. Novelku yang berjudul “ Ibu.. Biarkan Aku Berbakti” yang tadinya berjudul “ Kita Semua Sama”, menjadi pemenang pertama Lomba Cipta Novel Nasional, Hatiku senang bukan kepalang, karena keberhasilanku itu, aku kini me-launching Novelku yang berjudul “ Ibu… Biarkan Aku Berbakti”. Novel yang benar-benar aku dedikasikan buat ibuku dan teman-teman dengan disabilitas di seluruh tanah air.
Novelku disambut hangat oleh masyarakat di seluruh tanah air. Novelku berhasil terjual sebanyak 3.000 eksemplar, dan menjadi best seller saat tahun 2009. Sudah mengalami lima kali cetakan. Aku berpegang teguh pada “ Man Jadda Wajada”, “Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil”. Sungguh benar-benar nyata kualami. Hal ini berlaku pada setiap insan yang bernyawa yang mau berusaha dan bersungguh-sungguh. Kisah dalam novel itu benar-benar terilhami dari kisahku.
Sepenggal Puisi dalam Novel
“Ibu, Biarkan Aku Berbakti”
(Oleh : Rinda)
Penat, Derita, Duka, dan Suka,
Menghiasi harimu yang nyata
Segurat senyum terpancar menutup tangis dalam hati,
Harimu engkau korban…
Saat aku tengah di kandungan,
Disusui, Di masa kanak, remaja dan dewasa
Kau tak henti-hentinya berdo’a untukku, Ibu…
Kisahmu yang peluh terpatri di hati anakmu,
Ibu…. Sampai tiba waktumu…,
Ibu, biarkan aku berbakti …
Semua tetangga, teman-teman SDku yang sempat memandang rendah diriku, terharu membaca novelku. Mereka meminta maaf atas perlakuannya padaku. Mereka berujar bahwa anak dengan disabilitas, memiliki hak dan kemampuan yang sama dengan anak nondisabilitas. Aku bisa membuktikan pada Ibu, bahwa aku mampu membanggakan ibu. Ku yakin di alam sana ayah juga bangga padaku.
Dengan semangat, tekad dan kasih sayang ibu, aku mampu menjadi penulis yang sukses. Kini aku dan orang-orang yang sama denganku tidak lagi dipandang sebelah mata, karena kami juga punya karya. Jangan pernah takut bermimpi sahabat-sahabatku. Kita sama seperti yang lainnya. Semangat selalu dalam menggapai cita “ Man Jadda Wajada”.
Editor: Putri Istiqomah Priyatna