Jakarta – “Mereka hanya ingin diterima.” Begitulah kata-kata tegas yang terlontar dari mulut Mella, yang diperankan oleh Natasha Dematra, dalam klimaks film I Am Star garapan sutradara dan produser Damien Dematra. Film yang berlatar tempat SMA inklusif Budi Waluyo ini memang mengangkat tema pengintegrasian anak-anak penyandang autisme ke dalam masyarakat, khususnya di aspek pendidikan. Diprakarsai oleh komunitas I Am Star, Autism Supported Parents yang diketuai Edi Prabowo, film ini pertama kali diluncurkan pada 26 Juli 2012 untuk memperingati Hari Autisme Sedunia dan terus gencar ditayangkan lewat acara-acara pemutaran khusus; seperti pada tanggal 22 dan 23 Maret 2013 lalu di auditorium London School of Public Relations, yang memang memiliki Center for Autism Awareness. Damien Dematra sendiri juga telah membawa film ini ke dunia internasional, di antaranya pameran film MIPCOM di Paris, Prancis.
I Am Star berkisah tentang Mella, seorang siswi cerdas dengan kepekaan sosial tinggi. Mella yang di awal film terpilih menjabat sebagai Ketua OSIS, segera menemui tantangan begitu sebagian teman-temannya menentang pemberlakuan program inklusif di sekolahnya yang mengintegrasikan empat orang siswa baru pengidap autisme: Arya, Abhy, Ervitha, dan Shinta. Mella pun harus berjuang melawan keraguan dan antagonisme dari kalangan murid dan guru mengenai keempat murid baru tersebut, termasuk menghadapi masalah dalam keluarganya sendiri yang terguncang setelah kematian adik perempuan Mella bertahun-tahun lalu.
Keempat anak autisme di film I Am Star memang berakting sebagai diri mereka sendiri dan menampilkan kisah hidup mereka yang juga berdasarkan kisah nyata. Kuartet ini pun tergabung dalam band I Am Star, aspek yang juga ditampilkan dalam filmnya. Arianda Wiradipa Prabowo (Arya) adalah seorang vokalis yang sudah memiliki modal karakter suara dan aura panggung menjanjikan; Andithyas Cintya Widianna (Shinta) adalah gadis periang berkacamata yang memegang gitar dalam band; Ervitha Puspa Dewie (Ervitha) adalah gadis manis berponi yang piawai menggebuk drum; dan Made Dwara Abhy (Abhy) adalah sosok tambun berwajah kalem di balik keyboard. Minat dan kemampuan mereka dalam bermusik dan tampil dalam film menjadi bukti bahwa autisme bukanlah sebuah hambatan untuk dapat mengekspresikan diri.
Setelah sebelumnya mendapat penghargaan untuk film L4US yang menyorot penderita lupus, Damien memang patut dipuji sebagai sosok sineas lokal yang memiliki atensi lebih terhadap isu sosial yang dihadapi disabilitas tertentu. Film I Am Star sendiri memang masih memiliki sejumlah kekurangan dari segi teknis; aspek yang relatif paling mencolok adalah penggunaan bahasa Inggris dalam skenario, sehingga dialog oleh sebagian besar karakter terkesan kurang alami. Damien memang sengaja memakai bahasa Inggris atas dasar pertimbangan untuk menyesuaikan dengan ke pasar internasional, namun sebenarnya banyak pula film dari negara non-berbahasa Inggris yang go international dengan tetap memakai bahasa aslinya dan hanya perlu menambahkan subtitle dalam bahasa Inggris. Aspek lainnya yang relatif mengganggu adalah penggunaan audio cues atau sound effect yang terasa agak berlebihan. Walau begitu, kemungkinan hal ini disengaja karena aspek suara dan musik memang sangat ditonjolkan di film ini.
I Am Star cukup apik dalam mengintegrasikan keempat pemeran autisnya ke dalam cerita. Damien sendiri sempat mengungkapkan kekhawatirannya akan tantangan mengarahkan Arya dkk., tapi akhirnya terbukti bahwa proses pembuatan film dapat berjalan lancar. Uniknya, bagian yang paling berkesan dari pemutaran film I Am Star sebenarnya adalah cuplikan beberapa menit kegiatan Arya dkk. sehari-hari yang diperlihatkan segera setelah film selesai. Lewat cuplikan tersebut, kita dapat menyaksikan bagaimana Arya memimpin orangtuanya sholat berjama’ah, Shinta yang asyik bermain game Dancing Dancing Revolution dengan adik dan ibunya, Ervitha yang dengan antusias memberikan pelajaran untuk anak-anak kecil berkebutuhan khusus, ataupun Abhy yang tengah memasak. Cuplikan tersebut dengan sangat efektif menegaskan bagaimana anak-anak autis pada dasarnya juga dapat belajar, bermain dan menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat layaknya anak-anak lainnya. Saking berkesannya cuplikan itu, sehingga akan sangat menarik seandainya dibuat pula film dokumenter tentang keseharian keempat anak ini.
Dalam sesi pemutaran film I Am Star, Arya, Abhy, Shinta dan Ervitha turut aktif berpartisipasi. Mereka memainkan beberapa lagu di sela-sela pemutaran untuk menghibur penonton, dan bahkan Arya pun sempat berinisiatif berinteraksi dengan penonton di saat jeda yang terhitung cukup lama. Mereka tampak senang dan bangga, apalagi begitu wajah-wajah mereka muncul di layar film. Anak-anak ini luar biasa, dan orangtua mereka yang tergabung dalam organisasi Autism Supported Parents pun patut diacungi jempol. Dengan gigih, para ayah dan ibu keempat anak ini terus aktif mencari informasi, mengakomodasi kesenangan dan kebutuhan anak-anak mereka, serta menolak untuk memperlakukan anak mereka secara berbeda hanya karena masalah autisme.
Seperti yang digarisbawahi dalam film I Am Star, anak-anak autisme memang memiliki dunianya sendiri. Namun, bukan berarti kita harus menyeret mereka dengan paksa keluar dunia mereka itu ataupun meninggalkan mereka asyik sendiri di dunianya. Kitalah yang harus memasuki dunia mereka dan terus-menerus mencoba untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan mereka. I Am Star dan rangkaian kegiatan di baliknya seolah menginspirasi bahwa anak dengan autisme bukanlah momok menakutkan bagi orangtua ataupun lingkungan pendidikan; dengan sedikit kesabaran dan kemauan untuk mencoba memahami, mereka pun dapat menjadi sama istimewanya dengan anak-anak lain. (RVN)