Di suatu daerah, yang terletak di jakarta, terdapat dua orang pemuda bernama Joni dan Bagas. Joni adalah anak yang lugu dan selalu menuruti perintah temannya. Sedangkan Bagas adalah anak yang pemberani, jika bicara tak terkontrol dan suka memerintah. Mereka berencana untuk belibur.
”Jon, liburan semester ini enaknya kita kemana?” Bagas bertanya pada Joni.
” Ya aku sih terserah kamu.” Joni menjawab sekenanya.
”Dasar, kalau ditanya selalu menjawab terserah. Ya sudah, kita ke gunung sajah! Terserah, kamu mau ikut atau tidak.” Mendengar jawaban Joni yang tak bersemangat Bagas langsung menentukan rencana liburan mereka.
”Baiklah, aku mau. Dari pada aku tidak kemana-mana.” Joni menyetujui usul Bagas.
”Karena orang tua kamukan uangnya banyak, kamu yang membawa segala perbekalannya yah!” Bagas memerintah Joni.
”Yasudah, tak apa-apa.”
Akhirnya, mereka setuju untuk berkemahan di suatu gunung tersebut. Gunung tersebut cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Untuk menuju ke kaki gunung itu mereka harus menempuh perjalanan sekitar 3 sampai 4 jam dengan menaiki kendaraan, dan sekitar kurang lebih 1 hari untuk menaiki gunung tersebut. Joni dan Bagas pun menyiapkan segalanya untuk semua itu. Bagas, menyiapkan perlangkapan perkemahan, sedangkan Joni menyiapkan perbekalan untuk di sana, seperti makanan dan obat-obatan.
Pada hari yang telah ditentukan bersama, mereka pun berangkat ke tempat itu. Setelah sampai di kaki puncak gunung, hari telah sore, mustahil bagi mereka untuk melanjutkan pendakian mereka ke puncak gunung itu. Selain itu, langit tampak sangat mendung dan gelegar halilintar terdengar ketelinga mereka. Hujan pun turun sesaat kemudian disertai hembusan angin yang cukup kencang menerpa tubuh mereka. Tampak wajah Joni yang ketakutan atas fenomena alam ini.
”Gas, gimana nih Gas? Aku takut sekali. Malahan tidak ada orang selain kita.” Joni ketakutan memanggil Bagas.
”Diam…!!! Kamu kok penakut sih? Emangnya kalau tak ada orang selain kita kenapa? takut mati karena tersambar petir? Kamu punya iman tidak? Hidup mati kita itu ditangan tuhan! Tahu tidak kamu?” Bagas membentak Joni agar Joni berhenti mengeluh takut. Joni pun menangis atas perlakuan Bagas terhadapnya. Bagas tersenyum kecil melihat wajah Joni yang pucat itu. ”Duh kacian, kamu menangis? Sinih, aku elap air matamu! Duh, orang ganteng begini sampai aku buat nangis. Maafin aku deh sayang, aku Cuma mengetes mental kamu doang, masa sih baru dibentak gitu doang udah nangis.” Dengan nada bercanda Bagas mengelap air mata Joni dengan handuk kecil miliknya.
Hujan semakin deras, pakaian mereka pun telah basah kuyup dibuatnya. Bagas mengambil langkah-langkah positif atas semua ini. Dia ambil empat helai kantong pelastik besar dari ranselnya, dua pelastik sebagai penutup kepala mereka, dan dua lagi untuk ransel mereka.
Kemudian tiba-tiba, seorang laki-laki yang mengendarai sebuah oplet tua dan berjalan menuju mereka.
ketika lelaku itu tepat di depan mereka, ia bertanya, ”Kalian sedang apa hujan-hujanan di sini?”
”Kami adalah pendatang Pak, tujuan kami di sini hendak melakukan pendakian terhadap gunung ini. Tetapi, takdir bekehendak lain. Hujan turun terus-menerus hingga membuat menangis teman saya.” Jawab Bagas. Tampak muka Joni agak memerah karena telah dipermalukan oleh Bagas.
Kemudian, lelaki itu berkata lagi, “Waduh, kok ganteng-ganteng gini menangis sih? Hehehehe… Mari, ikut ke rumah Bapak saja! Sambil menunggu hujan redah.”
“Apa-apaan sih kamu, Gas! Kamu kok tega sih mempermalukan aku! Kan tadi kamu yang membentak aku, sehingga aku menjadi menangis.” Joni bersungut-sungut kesal pada Bagas.
Bagas tersenyum saja mendengar perkataan dari Joni. Bagas berkata, ”Hehehehehe… Iseng saja. Habis aku ingin melihat kamu marah-marah Di depanku hehehe…”
Joni kemudian membentak bagas,”Bagas…! Bukan gitu caranya…!”
Bagas kembali menggoda Joni, ”Habis caranya gimana dong sayang? Hehehe…!”
Hampir saja tangan Joni melayang ke mulut Bagas, namun berhasil ditangkis oleh Bagas.
lelaki itu bingung melihat perilaku Bagas dan Joni, “Kok kalian berdua malah bertengkar sih? Mau ikut Bapak tidak? Kalau tidak yasudah! Bapak masih banyak urusan.” Spontan Bapak itu melajukan mobilnya, Bagas berteriak memanggillelaki itu untuk berhenti untuk berhenti, kemudian menaiki oplet tersebut.
Sesampainya mereka di rumah lelaki tersebut, mereka dipersilahkan masuk dan diberikan handuk untuk mengeringkan badan.
“Silahkan duduk nak! Kalian mau minum apa? Kopi, teh, atau susu? Apa mungkin mau es teler? Tapi maaf nak, kalau es teler Bapak nggak punya! Hehehehe…”
“Kalau fanta atau teh botol ada tidak pak? Hehehehe… Bercanda Pak! Kalau saya teh es manis hangat tidak pakai gula saja Pak. Tidak tahu nih Pak teman saya, kamu mau minum apa Jon?” Bagas balas bercanda menanggapi lelaki itu.
”Sudah Pak, saya air putih hangat saja.” Joni menjawab sungkan.
“Ya sudah sebentar! Bapak akan perintahkan anak Bapak untuk membuatkannya.” Lelaki itu memanggil anaknya membuatkan minum untuk mereka.
”Oh yah, kita belum kenalan nih. Nama bapak ,Purwanto Wijaya, Saya sering dipanggil Bapak Wijaya atau PakPur, oleh masyarakat sekitar. Profesi saya adalah penyiar di sebuah setasiun Radio dan profesi sampingan saya adalah narik oplet. Hobi saya adalah melukis. Kalau anda berdua siapa?” Pak Pur menganalkan diri pada Bagas dan Joni
”Kalau nama saya Bagas Pak, saya kelas 3 Disebuah SMA negri di jakarta, saya pecinta alam.” Bagsa mengenalkan dirinya.
”Saya joni Pak, sekolah saya sama dengan dia, hobi saya adalah membaca dan menulis beberapa karya tulis. Yah, walau pun karya-karya saya belum pernah diterbitkan. Tetapi saya terus-menerus membuat karya-karya tersebut.” Joni juga memperkenalkan dirinya.
”Iya Pak, hampir semua perasaan dia dituangkan ke karya-karyanya itu. Dia marah pun bisa dia bikin menjadi sebuah puisi. Hehehe…” Bagas kembali menggoda Joni, Joni hanya tersenyum mendengar kata-kata dari bagas.
“Hobi-hobi kalian bagus kok, tinggal di kembangkan saja!” kata Pak Pur menanggapi perkenalan mereka
Tak lama kemudian, anak Pak Pur datang menghidangkan tiga gelas minuman untuk mereka. ”Pak, nih minumannya, mas, silahkan diminum!” anak Pak Pur mepersilahkan agar minuman yang telah ia hidangkan di minum.
“Iya, terimakasih yah!” Bagas melirik anak Pak Pur yang cantik. Dia berbisik kepada Joni, ”Ssst, Jon, cantik yah!”
”Iya gas! Kamu suka dengannya? Si Mira gimana?”
”Itu dapat diatur Jon! Hehehe… Ah becanda doang kok Jon, lagiankan si Mira itu telah sepenuhnya memberikan cintanya untukku, masa aku tega sih menduakan cintanya. Hehehe…”
“kalian membicarakan siapa?” Pak Pur heran melihat Joni dan Bagas yang saling berbisik.
“Tidak kok Pak, kami… Cuma membicarakan anak Bapak, Dia cantik yah Pak…!” Bagas menjawab malu-malu.
Beliau hanya tersenyum dan berkata, ”oh… Anak saya, ah biasa sajah kok…! Kalau mau tahu nama Anak saya adalah Shinta Rahma Wijaya. Dia sering dipanggil Rahma atau Shinta. Dia hobi membuat suatu kerajinan tangan terutama yang menggunakan manik-manik, dia juga aktif di dalam ekstrakulikuler. Dia juga ikutan osis dan KIR serta menjadi Pemimpin Umum majalah di sekolahnya. “
”Oh… Gitu yah Pak.” Koor Bagas dan Joni.
Masih banyak yang lain yang mereka obrolkan. Pak Pur memperlihatkan kerajinan tangan yang ia dan anaknya buat pada mereka. Mereka sangat kagum terhadap hasil-hasil karya tersebut. Joni dan Bagas juga melihat proses pembuatan sebua kerajinan tangan yang berbentuk tas dari manik-manik yang di buat oleh anak Pak Pur.
Akhirnya, hujan tak kunjung reda juga, PakPurwanto pun menawarkan untuk menginap di rumahnya. Mereka pun menerima tawaran itu.
Keesokan harinya, Joni dan Bagas mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan mendaki gunung tersebut. Mereka memutuskan untuk kembali ke jakarta. Dan mereka cukup puas karena mereka telah berkunjung ke rumah Pak Pur yang seorang pengrajin. Setidaknya mereka mendapatkan ilmu pengetahuan yang sangat berharga dari liburan kali ini.