HAPPY ENDING

Bagaimana jika orang yang dulu paling kamu benci dan tak pernah kamu acuhkan sama sekali, ternyata adalah orang yang sama, orang yang menyelamatkan hidupmu, membiarkan dirimu baik-baik saja sementara dia yang harus menanggung setiap luka? Pasti bingung, karena itu juga yang ada di pikiran Evan Pramudia, seorang mahasiswa tampan anak jurusan seni rupa murni.

 

 

Dua hari yang lalu, Kholis dan Dion – kedua temannya – memaki dan meninjunya, mengatakan bahwa dia adalah makhluk paling tak berhati yang mungkin ada di Universitas Mandiri. Paling gak peka bukan hanya se jurusan bahkan se-fakultas, tapi selingkung universitas. Mau tau apa sebabnya?

 

 

Ini semua bermula dari wajahnya. Evan adalah laki-laki tampan dengan tinggi 170 cm, kulit sawo matang, dan hidung yang terbentuk mancung sempurna, melengkapi bulu mata dan alis tebal itu, menaungi wajahnya yang masih juga dianugerahi sepasang lesung pipi yang akan terlihat bila dia tersenyum. Hanya saja, Evan sendiri memang jarang senyum, bahkan dia irit berbicara. Cool, kalau istilah anak mudanya. Tapi herannya, tiap hari adaaa aja perempuan yang ngirimin, ngasihin, dan nitipin macam-macam kepada banyak perantara, yang semua tertuju hanya untuk dirinya. Tapi seperti ciri khas laki-laki cool (atau jaim?) pada umumnya, dia nggak pernah sama sekali menanggapi bentuk perlakuan khusus dari para wanita itu. Kecuali satu orang. Satu wanita, yang sebenarnya sangat ia benci. Justru bukan karena sikapnya yang caper. Evan membencinya hanya karena perempuan itu selalu ada justru disaat dia benar-benar butuh bantuan.

 

 

“Ini, catmu aku ganti. Maafin temenku ya, dia nggak sengaja numpahinnya.”

 

 

“Tadi buku sketsamu ketinggalan kan di meja kantin? Sayangnya terlanjur ketumpahan minuman entah punya siapa, jadi, aku ganti aja ya sama yang baru.” nama wanita itu Maira, Khumaira Rizki Salsabilla. Itu juga Evan tahu namanya bukan karena dia yang kenalan sendiri, tapi pas ada acara galang dana untuk korban bencana alam di kampusnya, dia ngeliat satu perempuan hilir mudik dan ada name tag di dadanya, bertuliskan nama tadi. Dan dia adalah malaikat yang sama yang selalu ada saat tiba-tiba ia membutuhkan bantuan atau dalam kesulitan.

 

 

“Ni cewek cenayang apa gimana ya Lis? Perasaan, dia nongol mulu kalau gue lagi dalam kesulitan. Padahal kenal juga kagak.” suatu hari, Evan mengutarakan rasa herannya pada Kholis dan Dion, kedua sahabat setianya.

 

 

“Yang lo maksud itu Maira, ya?” tanya Kholis.

 

 

“Iya kali. Gue nggak kenal sama tu orang,” jawab Evan acuh seraya mengambil rokoknya yang sisa satu batang itu, dan membakarnya.

 

 

“Lo parah sih sampe gak mau berusaha kenal sama tuh cewek, padahal dia udah baik banget ke elo,” komentar Dion.

 

 

“Dia nggak pernah ngajak kenalan kok,” sanggah Evan.

 

 

“Ya usaha dong, dodol, jadi cowok gak ada inisiatifnya banget sih lo,” omel Kholis. Dion cuma mengangguk tanda sepakat. Dalam soal irit bicara, anak ini ya se-type sama Evan, sama-sama kayak kulkas dua pintu saking dinginnya.

 

 

***

 

Hingga banyak waktu telah berlalu pun, ternyata Evan masih belum mengajak Maira mengobrol secara langsung. Padahal mereka masih sering ketemu, dan Maira masih juga menjadi “malaikat” untuknya tanpa pernah ia sadari. Entah Evan beneran lupa, atau dia secara sengaja melupakannya. Hingga akhirnya, tiga hari yang lalu menjadi peristiwa yang paling bersejarah dalam hidupnya.

Baca:  Nggak Selamanya Becanda Itu Menyenangkan

 

 

***

 

“Van, minggir Van, Minggir, awaaaas!” teriakan seorang perempuan menyadarkan Evan atas bahaya yang tengah mengincarnya. Kesalahan terbesar terjadi untuk event besar yang seharusnya meriah oleh sukacita. Ini acara ulang tahun kampus, tapi sepertinya ada konstruksi panggung yang salah pasang sehingga posisinya tidak kuat dan siap jatuh kapan saja. Dan Evan ada di sana, sedang membantu persiapan jalannya acara. Dan pada detik-detik paling krusial dalam hidupnya, suara terindah ketika itu ia dengar ; suara yang memperingatkannya perihal panggung naas yang segera roboh tanpa aba-aba, tepat beberapa senti di hadapan Evan yang masih utuh bernyawa. Dan sekarang, ternyata penyelamat itu adalah perempuan yang sama, perempuan yang selalu ia acuhkan kehadirannya.

*

 

**

 

Kholis dan Dion menariknya paksa tanpa penjelasan apa-apa, membawanya menuju tempat yang entah. Evan yang ingin protes setengah mati tidak diizinkan berbicara, sebelum akhirnya mereka sampai di sebuah plang bertuliskan “rumah sakit”, tarikan itu berhenti, cengkeraman itu terlepas begitu saja.

 

 

“Kalian ini apa-apaan sih? Ngapain gue digeret-geret kayak narapidana sampai bisa sampe disini? Kenapa gak dijelaskan dulu ke gue?”

 

 

“Ngomong sama orang gak peka itu ampun-ampunan susahnya. Gue cuma gak mau mengulur-ulur waktu!” seru Kholis.

 

 

“Tapi gue jadi kayak orang bego disini, Lis, kalian nyalah-nyalahin gue, kalian maki-maki gue tanpa gue tau sebenernya ada apa. Apa ini adil buat gue?” tanya Evan murka. Wajahnya memerah menahan amarah.

 

 

“Gue rasa Evan ada benernya deh Lis,” Dion buka suara.

 

 

“Terus?” Kholis menunggu instruksi.

 

 

“Kita terusin dulu deh perjalanannya, sambil cari tempat buat mulai cerita,” usul Dion. Kholis setuju. Kembali mereka bertiga jalan bersama (dan nggak pake seret-seretan), memasuki area rumah sakit itu.

 

 

***

 

Evan mengacak rambutnya kasar. Bagaimana bisa dia menjadi orang paling terakhir yang tau fakta ini? Kenapa harus Kholis dan Dion yang tau lebih dulu? Tak adil. Ini benar-benar tak adil baginya.

 

 

“Aira itu temen gue sama Kholis, kami berada di group band yang sama.” Dion mulai menjelaskan. Bahkan ia sama sekali tidak ingat soal nama itu, juga wajahnya. Khumaira dan Aira, ternyata adalah orang yang sama. Orang yang selama ini ia benci, tapi juga ia rindukan. Sang kakak yang pergi darinya, tepat setelah ayah dan ibu mereka dinyatakan meninggal dalam sebuah musibah kecelakaan pesawat. Seorang kakak yang meninggalkannya terlunta-lunta dan tersiksa di sebuah panti asuhan – yang ternyata ilegal – yang membuatnya hampir menjadi korban human traficking atau perdagangan manusia. Maira tahu rahasia itu, karena ia tak sengaja mendengarkan percakapan Pak Fajar dan bu Rina, pemilik panti asuhan itu yang akan membawa beberapa anak ke agen-agen yang sudah siap memakai jasa mereka entah untuk apa. Beruntung pada saat itu, Maira telah mendapatkan orang tua adopsi yang baik, sepasang suami istri bernama Bu Nurul dan Pak Husein yang sudah berrumah tangga lima belas tahun, tapi belum mendapatkan keturunan.Maira pergi tanpa pesan apa lagi kesan, bahkan ia menutup telinganya agar tak mendengar jerit tangis Evan kecil ketika itu. Tapi ia pergi dengan menggenggam rahasia, juga sebuah janji, janji bahwa ia akan membebaskan Evan dari tempat laknat itu.

 

 

“Tapi sampai sepuluh tahun berlalu, ternyata dia gak datang untuk gue Lis, dia bahagia sama keluarga barunya dan gak inget sama gue, gak inget sama gue yang masih suka nyariin dia, berharap dia datang…” ucap Evan. Di wajahnya ada air mata, tapi sorot matanya juga masih menyimpan amarah. Yang ia butuhkan saat ini cuma penjelasan, bukan dari orang lain, tapi dari Aira langsung.

 

 

“Gue nggak tau apa yang terjadi selama sepuluh tahun kalian terpisah itu. Tapi Aira… Maksud gue, Mbak Aira itu temen nge-band kita dari SMA. Dia selalu bilang satu hal kalau kita berdua lagi kenapa-napa.” kata Kholis. Evan mendengarkan, tidak meninterupsi penjelasan itu sedikitpun.

 

 

“Ngeliat kalian itu kayak ngeliat adik laki-laki gue tau gak. Dia tuh cuma satu, dan special. Gue rindu banget sama dia, sayang takdir belum berpihak sama kita. Gue pengen banget ketemu sama dia…”

Baca:  ASMARA DI UJUNG PELURU

 

 

“Dan suatu hari,” Dion menambahkan, “kami ditunjukin foto seorang anak kecil. Gue sama Kholis kaget, kok muka anak itu mirip sama elo yang juga kita kenal. Kita punya asumsi sendiri bahwa lo adalah adiknya Mbak Aira, tapi kita gak berani nanya. Sampai pas perpisahan SMA itu, kan dia kakak kelas kita kan, otomatis dia lulus duluan. Setiap siswa nerbangin balon harapan saat itu, sebagai simbol cita-cita dan harapan mereka yang tinggi. Mungkin lo ingat…” Evan menggeleng. Sejak dulu, ia benci keramaian. Ketika gegap gempita perpisahan kelulusan itu berlangsung, dia malah pergi ke bagian paling sepi di gedung sekolah itu, melukis disana.

 

 

“Di balon harapannya Mbak Aira tertulis dia pengen jadi musisi sama pengen ketemu adik laki-lakinya. Tertulis juga nama lo dengan lengkap disitu, Evan Pramudia…” lanjut Kholis.

 

 

“Jadi, Van… Sebenernya dia gak pergi kemana-mana. Dia selalu ada buat lo. Tapi dunia ini terlalu luas, jadi kalian sulit buat bertemu di satu titik yang sebenernya sama-sama kalian cari,” ucap Dion.

 

 

“Asumsi dan ego lo itu yang membutakan semuanya, masak lo milih buat acuh dan pura-pura lupa sama kakak lo sendiri.” Kholis menambahkan. Evan menangis. Iya, dia menangis. Kini ia tahu alasan di balik hadirnya perempuan itu sebagai malaikat di hidupnya, di setiap kesulitannya. Ternyata dia memang malaikat itu, malaikat yang hilang dan ingin dia cari selama ini.

 

 

***

 

Evan mendorong kursi roda Aira, memasuki kediamannya yang sederhana tapi nyaman. Kediaman yang susah payah ia bangun dari hasil keringatnya sebagai barista dan komikus atau ilustrator meskipun freelance. Tidak ada lagi sikap angkuh yang selama ini bercokol dalam diri seorang Evan Pramudia. Kini yang tersisa tinggal kehangatan, kehangatan yang telah kembali menemukan tempatnya berlabuh.

 

 

“Selamat datang di rumahku, Mbak Aira,” ucapnya riang seraya membuka pintu istana kecilnya itu.

 

 

“Terima kasih, Evan,” sahut Aira riang seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling bangunan itu. Dan hanya ada satu kata yang dapat mendeskripsikan perasaannya kini : nyaman.

 

 

“Kamu persis seperti apa yang mbak bayangkan selama dalam pencarian ini. Kamu tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan, dan banyak fans-nya,” goda Aira.

 

 

“Harusnya mbak tuh yang banyak fans-nya, mbak kan artist,” goda Evan seraya membantu sang kakak untuk duduk di sofa yang lebih empuk.

 

 

“Fans, bagi mbak adalah orang-orang yang mendo’akan agar mbak cepat ketemu sama kamu,” kata Aira lembut.

 

 

“Emang mbak udah cerita ke mereka? Mampus aku, pokoknya kalau fans-nya mbak desak-desakan saat mau ketemu sama mbak aku gak mau ikut, risih tau,” protes Evan. Aira tertawa.

 

 

“Fans-ku gak se-anarkis itu kok Van, mereka waras semua…” bantah Aira.

 

 

“Semoga benar begitu mbak. Aku benci bertemu orang semenjak gak ada mbak, aku gak pernah merasa aman lagi semenjak ditinggal sama mbak. Dari SD sampai SMA, baru ketemu orang yang bisa kuajak temenan itu ya cuma Kholis sama Dion, sisanya aku gak ngerti…”

 

 

“Wah-wah-wah, apa-apaan nih kok kita diomongin?” tanya sebuah suara tiba-tiba. Evan kecolongan. Ia lupa menutup pintu. Dan di depannya kini, ada Kholis dan Dion yang membawa kue ulang tahun super besar dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan gaya yang norak sekali untuk Evan.

 

 

“Bener juga, hari ini gue ulang tahun ya?” ucap Evan setelah bebas dari dekapan kedua sahabatnya yang pada pea semua.

 

 

“Selamat ulang tahun, Van,” kata Aira seraya memeluk erat-erat adik kesayangannya itu. Adik yang akan ia jaga sampai kapanpun selama ia masih hidup dan bernapas.

 

 

“Terima kasih mbak, terima kasih guys… Kalian adalah kado yang luar biasa indah dalam hidup gue…” kata Evan terharu seraya merengkuh mereka satu-persatu.

 

 

“Eh Van, tapi di ulang tahun lo ini, ada satu hal yang mau gue sampaikan juga…” kata Kholis. Mengingat rahasia tentangnya dan Aira baru saja terungkap, Evan jadi tegang sendiri. Perasaannya jadi tak menentu. Akankah ada kejutan baru yang harus singgah di hidupnya kini? Ekspresinya jadi serius, tapi Kholis malah tersenyum, sehingga tambah memicu rasa penasaran Evan.

Baca:  CINTAKU DI YOGYAKARTA

 

 

“Sebenernya ini sesuatu yang masih ada hubungannya sama kakak lo sih,” kata Kholis.

 

 

“Kenapa Lis? Sumpah jangan aneh-aneh lo…” kata Evan. Tuhan, jangan renggut lagi bahagiaku, mungkin itu suara hatinya saat ini.

 

 

“Sebenernya gue sama Mbak Aira tuh udah dua tahun ini pacaran. Dan gue… Gue… Gue mau ngelamar Mbak Aira buat gue jadiin istri. Bo-Boleh kan, Van?” tanya Kholis. Evan menatap kakaknya dan sahabatnya berganti-ganti. Ternyata oh ternyata. Dan tanpa berpikir dua kali, dia langsung mengangguk, mengiyakan lamaran Kholis yang agak absurd itu. Lagian, untuk apa dia harus berpikir sampai seribu kali kalau pemuda yang akan menjadi suami kakaknya adalah sahabat baiknya sendiri, sahabat yang membersamainya hampir melebihi saudara, istilahnya sampai sama-sama tau dalemannya masing-masing.

 

 

“Eh, jadi gue bakal jadi kakak ipar lo ya Van? Ini agak aneh ga sih?” Kholis garuk-garuk kepala.

 

 

“Aneh sih, tapi ya mau gimana lagi kalau udah jodoh. Justru gue lega kalau kakak gue bakal dijaga sama orang sebaik lo, gue udah percaya sama lo kok Lis…” kata Evan.

 

 

“Kholis nih paten punya pokoknya Van, udah bersertifikat halal dari BPOM juga…” kata Dion ngasal.

 

 

“Sialan lo Di, dikira gue apaan.” sungut Kholis.

 

 

“Eh udah-udah, jangan damai, eh jangan ribut… Kholis…” Panggil Aira lembut.

 

 

“A-Apa mbak? Eh, sayang…” Kholis gemeteran.

 

 

“Aku hargai niat tulus kamu, juga kejujuran kamu. Tapi kondisiku lagi kayak gini, lagi di atas kursi roda gini. Apa kamu gak keberatan?” tanya Aira sungguh-sungguh. Dan secara otomatis pula Evan melihat ke arah sang kakak ; ke arah kakinya. Lagi-lagi pengorbanan yang begitu besar telah dilakukan oleh malaikat tanpa sayapnya ini. Seandainya hari itu Aira memilih untuk tetap menyelamatkan dirinya tanpa memperingatkan Evan, mungkin dia tidak harus lumpuh dan berada di kursi roda sekarang. Evan menghela napas. Mbak Aira, kamu masih se-malaikat itu ternyata.

 

 

“Enggak mbak… Aku sayang sama mbak, dalam keadaan apapun. Yang nuntun aku ke mbak bukan cuma mata lahir mbak, tapi mata batin. Tuhan udah kasih aku orang yang tepat untuk masa depanku, dan mbak inilah orangnya…”

 

 

“Tapi orang tuamu?” Aira memotong.

 

 

“Mereka memasrahkan semua sama aku mbak. Kalau itu yang terbaik buatku, mereka setuju… Mbak, aku janji, gak akan nyakitin mbak. Aku serius…” ucap Kholis sungguh-sungguh. Tidak hanya Aira, tapi Evan juga menyelami mata teduh milik Kholis, mecari sedikit saja kebohongan disana. Ternyata nggak ada, dan seorang Muhammad Nur Kholis itu telah benar-benar bulat dengan keputusannya untuk menjaga dan mencintai Aira sepanjang sisa hidupnya, memilih gadis itu sebagai penerus darah keturunannya, sebagai ibu terbaik dari anak-anaknya.

 

 

***

 

“Saya terima nikahnya Khumaira Rizki Salsabilla dengan mas kawin tersebut, tunai.” suara Kholis yang mantap mengucap ijab menggetarkan sanubari siapapun yang mendengarnya. Hari ini pernikahan seorang penyanyi terkenal bernama Aira Salsabilla dengan rekan duetnya sendiri sedang berlangsung. Pernikahan yang sangat sederhana tetapi sarat makna. Dan begitu kata sah terucap, langit membuka, ribuan malaikat menari dengan penuh suka cita, memberi selamat atas kembali bertautnya dua hati anak-cucu Adam yang mensucikan ikatan mereka melalui bahtera rumah tangga. Evan ada disana, bertindak sebagai wali dan saksi untuk sang kakak. Kedua orang tua asuh mereka sama-sama sudah pergi menghadap pencipta, jadi tidak bisa ikut serta dalam kebahagiaan tak terkira ini. Dan satu hal yang ia baru tau adalah, orang tua asuhnya selama ini adalah masih kerabat jauh dari orang tua yang mengadopsi sang kakak. Benar apa kata Dion, sebenarnya mereka tidak terpisah begitu jauh. Hanya saja, dunia ini terlalu luas, dan Tuhan sedang menguji kesabaran mereka berdua. Tapi semua badai itu telah lama berlalu, berganti kebahagiaan yang selama ini sama-sama mereka dambakan. Tapi mereka tak boleh egois dengan berharap bahwa kebahagiaan ini akan menyertai mereka selamanya. Selayaknya pergantian waktu siang dan malam, kebahagiaan pasti akan datang silih berganti dengan kesedihan. Tapi, kan gak ada salahnya kalau mereka tetap berharap yang terbaik. Sebab memiliki akhir hidup yang bahagia (happy ending) adalah harapan dan cita-cita semua orang.

SELESAI

 

Bagikan artikel ini
zelda maharani
zelda maharani

seorang pelajar yang jatuh setengah mati pada seni

Articles: 8

3 Comments

Leave a Reply