‘Warnet High Speed on-line 24 Jam non stop’. Tulisan hitam tebal yang tertera pada papan yang sudah agak kusam yang ku lihat saat Aku menengok ke sebuah bangunan kecil di pinggir jalan yang senggang. “Jadi kita ke warnet itu, beneran cepet enggak kayak tulisannya?” kata seorang perempuan cantik yang sejak tadi jalan bersamaku.
Sesaat ku pandangi dulu wajah oval yang dihiasi oleh alis tebal dan mata yang cemerlang itu yang kelihatan tetap menarik walaupun butir-butir keringat membasahinya di bawah terik matahari pukul satu siang. “Kayaknya sih begitu, udah cepet yuk, panas banget nih!” kataku segera bergegas menyeberang jalan menuju ke warnet itu.
Ku buka pintu kaca warnet dan angin sejuk dari Air Conditioner menyapu wajahku ketika ku langkahkan kaki masuk ke dalamnya. “Silakan masuk” kataku basa-basi kepada Fira yang mulai memasuki ruangan tersebut.
“Ada yang kosong mas?” kataku kepada seorang pria tengah baya yang kelihatannya sedang antusias sekali dengan layar komputernya. Sampai-sampai Ia berkeringat di suasana dingin ruangan ini. “Tuh yang ujung!” jawabnya dengan kesal. Sepertinya Aku telah menganggu konsentrasinya. Sebenarnya itu adalah pertanyaan yang tidak seharusnya ku tanyakan, karena ini sudah warnet langgananku dan tinggal pakai saja yang mana sedang tidak terpakai. Siang ini suasananya sepi dari 5 unit komputer hanya dua yang terpakai. Memang warnet ini pada waktu apapun selalu sepi karena tempatnya yang tidak strategis. Tapi aku suka di sini, karena kerahasianku dapat terjaga walaupun koneksinya tidak seperti yang tertera di plang nama. Fira menempati komputer di sebelahku dan tidak lama kemudian Ia berkata sedikit kesal. “Ah apaan, katanya high speed. Tapi nyatanya lemot abis nih!” ujarnya padaku. “Abis mau bagaimana, inikan satu-satunya warnet yang dekat dengan sekolah!” kataku menjelaskan. “ Sudahlah, just kidding kok!” katanya manis. “Ah nih guru Bahasa Indonesia pake suruh-suruh nyari atau bikin cerpen segala lagi, udah tahu gue paling kagak suka mbaca!. Eh Frans, gimana dong cara nyarinya!”, “Udah kalo gitu, elu buka aja http://www.google.co.id, terus ketikin kriterianya cerpen terus klik cari deh!, gampang kan?” kataku yang pada saat ku lihat ternyata dia sedari tadi bukannya mencari buat tugas malah buka-buka Friendster. Agak lama setelah aku memberikan petunjuk pada Fira, selama itu aku mengisi kekosongan dengan mengetik sebuah cerpen yang akan kujadikan tugas Bahasa Indonesiaku.
Konsentrasiku dalam menulis pecah ketika ku dengar ada suara yang memanggilku. “Frans, hei coba lihat sini dong!”, ternyata itu suara Fira yang mengejutkanku. “Ada apa, komputernya error?”, “Enggak, coba lihat cerpen-cerpen karya penulis ini. Coba baca, keren-keren banget deh!”. Aku menutup tulisanku sebelum menggeser tubuh untuk melihat layar komputer yang sedang digunakan oleh Fira. “Keren apanya?” kataku setelah beberapa lama membaca cerpen-cerpen tersebut. “Ah kamu itu memang enggak punya cita rasa seni tinggi ya, cerpen-cerpen ini keren-keren banget. Isinya nyentuh perasaan banget dan memberitahu tentang manusia yang dilihat dari berbagai sudut pandang serta berbagai seluk beluk kehidupan masyarakat!” jelasnya seperti menggurui. “Terus, kalo yang cerita cintanya nama cewenya pakai namaku lagi. Nih orang tahu aja kalau aku ini cantik. Memang betul sih!” katanya ke G-R an. “Ah, you are so narsis ya!, Aku rasa biasa-biasa saja dan kalau tentang nama Fira di situ, mungkin itu kebetulan aja kok!. Terus pake bilang kalo gw tidak punya cita rasa tinggi segala lagi, lah kamu sendiri gimana!” kataku menjatuhkan Fira yang sedang terbang. “Eh ini bukan narsis, jadi kamu enggak tahu ya kalau selama ini aku memang cantik, kasian deh!. Sudahlah, cuman bercanda lagi kok!” kata Fira cengar-cengir. “Terus…, kamu mau ambil tuh cerpen?”, “Untuk sekarang sepertinya iya, tapi berikutnya aku akan membuatnya sendiri. Oh iya, cara savenya di internet gimana nih?” Fira agak sedikit kebingungan. Aku membantunya untuk menyimpan cerpen tersebut ke disket dengan senang hati.
*****
Setelah sepuluh menit, Ia keluar dari kamar mandi. “Ah hari sabtu lagi, nanti malam minggu, waktu yang paling ku benci!” katanya menggerutu sambil mengenakan pakaian. Ia memang sangat membenci malam minggu, karena Ia beranggapan bahwa waktu itu adalah waktunya untuk bersenang-senang keluar rumah tapi Ia tidak dapat menikmati moment tersebut. Ia tak punya pacar, dan teman-temannya pada waktu sibuk dengan pacar-pacarnya masing-masing sehingga tidak ada orang yang dapat diajaknya untuk pergi keluar. Sehingga malam Minggunya hanya bisa Ia habiskan di rumah atau pergi keluar sendirian lontang-lantung kagak jelas gitu. Entah mengapa Ia sampai sekarang masih belum punya pacar, sebetulnya tampangnya cukup lumayan dan berprestasi di sekolahnya. Tapi tidak ada wanita yang cukup dekat olehnya dan memang Ia juga tidak berusaha untuk mendekati seorang wanita.
“Ini punya romi!”, “Enggak, ini punya Romi. Balikin sekarang!” terdengar suara dari adik laki-laki kembarnya yang sedang berkelahi di ruang depan. Ia merasa sangat terusik sekali dengan keributan tersebut. Di saat waktu yang paling dibencinya Ia mau segera tidur untuk beristirahat agar cepat-cepat waktu itu berlalu. “Romi, Roni, jangan berisik dong!, kakak mau tidur nih!” katanya sedikit membentak. Seperti tidak mendengar perkataannya, Romi dan Roni adiknya terus saja berisik berebut mainan di depan. “Diam dong, kakak mau tidur nih!”, “Mas, kok masih sore gini tidur sih?, keluar aja sini main sama adik-adikmu!” terdengar suara Ibunya berkata dari dapur. Ia merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Diambilnya jaket pergi dan tidak lupa sebatang pensil dan buku kecil catatannya yang selalu setia menemaninya kemanapun Ia pergi. “Aku pergi keluar dulu ya Ma!” katanya kepada Ibunya sambil melewati adik-adiknya yang masih berkelahi. “Jangan malam-malam ya pulangnya!” setengah berteriak Ibunya dari arah dapur sepertinya sedang mencuci piring.
Suasana masih ramai di rumah-rumah yang Ia lewati ketika Ia keluar rumah pada pukul 7 malam. Terlihat banyak anak-anak yang berlari-larian dan sebagian lagi ada yang bersama-sama orang tuanya menonton televisi di ruang depan. Ia terus berjalan mengikuti langkah kakinya yang entah akan membawanya kemana. Tiba-tiba langkah kakinya menghentikannya di daerah yang di sana terdapat masjid yang cukup kecil dan di sebelahnya terdapat pusat perbelanjaan yang biasa disebut Mall. Kemudian Ia melangkahkan kakinya ke masjid yang sangat sepi tersebut dan duduk di salah satu anak tangganya. Ia mengeluarkan buku kecilnya dan mulai menggores-goreskan pensil di salah satu halaman buku tersebut. Nalurinya menyuruhnya untuk mulai menulis sebuah esei tentang kota Jakarta ini. Kota seribu adzan tetapi juga adalah kota seribu kemaksiatan. Banyak sekali masjid tempat beribadah di sini, tetapi tetap masih ramai Mall yang penuh dengan perangkap setan dari pada memakmurkan masjid. Sebenarnya tiket untuk menuju surga itu sangatlah murah, tetapi malah tiket menuju neraka yang harganya mahal banyak sekali orang yang mengejarnya. Bertepatan saat Ia menyudahi ceritanya, adzan memanggil umat untuk shalat Isya berkumandang dari masjid kecil di mana Ia duduk sekarang. Hanya ada beberapa orang saja yang melaksanakan shalat di masjid tersebut, di mana suasana tetap ramai di Mall sebelah.
Mas percakapannya dibuat tab-tab baru dong. biar enakan bacanya heheh
ehh ini si tokoh ‘ia’ cewek apa cowok? di bagian atas namanya Fira keterangannya cewek. tapi kok pas di bawah ada kalimat “Tapi tidak ada wanita yang cukup dekat olehnya dan memang Ia juga tidak berusaha untuk mendekati seorang wanita” ? hehe 😀
hehe. saya yang nulis juga agak bingung kok. 😀 tapi maksudnya tokoh utamanya ini cowo dan tanpa nama