Kata-kata “tak ada yang abadi di dunia ini” ternyata bukan hanya sebatas kata. Aku benar-benar memahaminya kali ini. Ya, sejak kecelakaan yang membuatku masih harus terbaring dirumah sakit hingga saat ini. Kecelakaan yang membuat kakiku lumpuh. Tidak bisa berjalan, bermain, apalagi menari yang merupakan hobiku sejak kecil. Aku tahu ini hanya untuk sementara, dokter sendiri yang berkata seperti itu kepadaku.
Tapi ini cukup untuk membuatku kehilangan segalanya. Aku dipastikan tidak dapat mengikuti lomba cheerleader paling bergengsi di provinsi ini. Lomba itu diadakan dua minggu lagi. Dan dengan kondisiku yang seperti ini, otomatis aku harus merelakan perlombaan itu. Itu bukan hal yang mudah untukku! Aku sudah berlatih keras selama kira-kira sebulan. Merelakan waktuku begitu banyak hanya untuk berlatih, membuat pelajaranku terbengkalai, bahkan aku harus merelakan waktu yang seharusnya kuhabiskan dengan Adit, pacarku. Semua itu kulakukan karena aku yakin bahwa aku akan menjadi bintang di perlombaan itu, dan reputasiku akan naik. Tapi sekarang apa? Semua itu sia-sia! Yang lebih buruknya lagi, sekolahku tetap akan mengikuti perlombaan itu. Aku kira akulah bagian terpenting dalam tim itu. Aku pemimpinnya. Aku kira mereka tidak akan meninggalkanku. Tapi apa kenyataannya? Dengan mudahnya mereka menggantikanku!
Bunyi ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Mama yang sedari tadi menemaniku segera bangkit dan membukakan pintu. Tak lama, pintu kembali tertutup dan mama kembali kearahku sambil membawa bunga matahari. Dan mama memberikan bunga itu kepadaku. Sudah kuduga, dari Adit. Aku pun tersenyum membayangkannya. Dia memang sangat romantis. Tak hanya bunga, ada surat beramplop oranye. Aku segera membacanya.
“Maaf, aku nggak bisa terus menerus nemenin kamu. Aku nggak pantas jadi pacar kamu. Mungkin akan lebih baik kalau kita hanya sahabat. Aku harap kamu tetap ceria, seperti bunga matahari ini. Semoga cepat sembuh..”
Sontak saja senyumku memudar. Aku tahu benar, bukan seperti itu yang Adit maksud. Aku tahu benar, dia tak ingin terbebani olehku yang tidak bisa berjalan, olehku yang bukan ketua tim cheerleader lagi. Ini bukan salahnya. Aku semakin membenci diriku. Tangisku hampir saja tumpah saat itu juga. Namun aku tak ingin mama melihatnya. Segera saja aku meminta mama untuk mengantarku ke taman rumah sakit. Aku ingin menghirup udara segar setelah apa yang telah kualami. Semuanya sudah cukup buruk sebelum surat itu datang. Dan sekarang, rasanya hidupku semakin suram.
Mama mendorong kursi rodaku sampai ke taman. Aku berkata pada mama bahwa ponselku tertinggal di kamar sedangkan aku ingin mendengarkan musik. Dengan sabar mama kembali ke kamar dan meninggalkanku dikamar. Sendirian. Ini memang mauku, sesuai dengan apa yang kurencanakan. Aku langsung menangis terisak-isak. Marah. Membentak pepohonan dan rumput-rumput yang bergoyang. Bersamaan dengan itu, suara riak air macur di taman itu meredam suaraku.
“Mungkin kita berandai-andai, andai saja hidup selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Namun kenyataannya, terkadang hidup tidak seperti yang kita inginkan” suara seorang lelaki membuatku berhenti membentak. Aku baru sadar ada orang disekitarku. Ia seorang lelaki, mungkin seusiaku, ia memegang tongkat, dan matanya diperban. Mungkin saja ia sudah lama berada disitu dan mendengar semua keluh kesahku. Ya, dia pasti mendengarnya.
“Tugas kita bukan untuk menyerah dan marah. Tugas kita untuk menerimanya dan berusaha memperbaikinya menjadi lebih baik. Menjadi seperti yang kita inginkan” lanjutnya. Pria ini menyebalkan. Sok tahu. Sok menasehatiku.
“Untuk apa berusaha jika hasilnya akan nihil? Jika akhirnya semua tetap tak berjalan seperti yang kita inginkan” sahutku.
“Setidaknya kita sudah berusaha. Yang kamu sebutkan tadi adalah kemungkinan terburuknya saja. Daripada kita hanya menyerah dan marah. Apa gunanya? Tidak akan memperbaiki apapun, sedikitpun” balasnya.
“Kamu nggak ngerti!”.
“Bagaimana bisa aku nggak ngerti? Aku sama sepertimu. Bedanya, kamu tidak bisa berjalan, dan aku tidak bisa melihat. Kamu pikir mudah bagiku untuk menerima semua ini? Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan”. Aku terdiam mendengar jawabannya. Aku tahu benar, kita berdua merasakan hal yang sama. Tapi ia tidak mengeluh.
“Mau kamu apa?” tanyaku. Aku kehabisan kata-kata untuk membantahnya.
“Aku ingin kita taruhan. Siapa yang lebih dulu sembuh diantara kita berdua. Apakah aku yang akan bisa melihat lebih dulu? Ataukah kamu yang bisa berjalan lebih dulu? Yang menang, boleh meminta satu permintaan kepada yang kalah”.
“Taruhan macam apa itu?”.
“Kamu menyerah sebelum bertanding?” tanyanya.
“Tentu saja enggak. Oke, kita taruhan!” aku mengiyakannya. Setelah itu kami pun berkenalan. Namanya Yoga. Kami mulai berbincang-bincang mengenai kehidupan kami, dan mengenai mengapa kami bisa sampai berada dirumah sakit ini. Sejujurnya aku senang mendapat teman disini. Apalagi kamar Yoga ternyata berada satu lantai dengan kamarku dan hanya berbeda empat kamar. Tak lama setelah itu, mama telah kembali dan membawakan ponselku. Aku pun mengenalkan Yoga kepada mama.
Keesokan harinya, hidupku mulai membaik. Belum semuanya, tapi tidak seburuk sebelumnya. Mungkin ini juga karena kehadiran Yoga yang tulus menjadi temanku. Teman senasib sepenanggungan. Pagi-pagi sekali dia sudah berkunjung ke kamarku dan sarapan bersama. Setelah itu dia ikut mengantarku dan mama untuk latihan berjalan. Ia juga menungguiku. Seringkali ia mengejekku karena terjatuh.
“Ah, payah. Baru segitu aja udah jatuh, gimana mau sembuh? Ayo latihan lagi” ujarnya. Tentu saja aku tak mau diremehkan begitu saja dan akhirnya bangkit. Sampai akhirnya aku benar-benar lelah dan kami kembali ke kamarku untuk menikmati pudding yang merupakan snack hari itu.
Keesokkan harinya, Yoga tidak datang sepagi kemarin. Aku menunggunya, tetapi ia tak kunjung datang. Sampai tiba waktunya untukku untuk berlatih berjalan, dia belum juga datang ke kamarku. Tetapi aku tetap berlatih dengan semangat. Toh walaupun dia tidak menemaniku, taruhan tetap berjalan, kan?. Hari itu masih sama seperti kemarin. Aku masih saja terus terjatuh dan terjatuh. Namun setiap aku terjatuh, aku selalu ingat perkataannya yang meremehkanku, dan akhirnya aku mencoba untuk berdiri lagi.
Ketika aku kembali ke kamarku, aku terkejut melihatnya disana. Membawa bunga matahari. Entah kebetulan atau apa, dia memberiku bunga yang sama seperti yang dibawakan Adit. Saat kutanyakan, ia berkata bahwa bunga itu sebagai hadiah pertemanan kami. Aku sangat senang. Aku kira dia tidak akan mengunjungiku hari ini. Tetapi ternyata dia mengunjungiku dan bahkan memberiku hadiah. Mama segera meletakkan bunga itu disudut kamarku, menggantikan bunga dari Adit yang sudah mulai layu.
Sorenya, kami berjalan-jalan ditaman. Ah, salah, tentu saja hanya dia yang berjalan, sementara aku tetap terduduk di kursi rodaku. Dia mendorong kursi rodaku dan aku yang mengarahkannya. Betapa saling melengkapinya kami. Seperti sepasang kekasih. Ah, apa yang kubicarakan. Mengapa aku jadi berpikir seperti ini. Apakah aku sedang jatuh cinta?
Esoknya, aku sudah diijinkan pulang. Aku senang. Aku sudah sangat merindukan rumahku. Tetapi disatu sisi, aku sedih. Tentu saja akan lebih sulit bertemu dengan Yoga. Namun, kesedihanku sirna ketika dokter mengatakan bahwa aku masih harus ke rumah sakit setiap hari untuk berlatih berjalan. Itu berarti, aku masih bisa bertemu dengan Yoga setiap hari.
Seminggu itu berlalu begitu cepat. Hari-hari kuhabiskan bersama Yoga dengan penuh kebahagiaan. Dengan penuh kejutan-kejutan kecil yang ia berikan. Dengan penuh canda, tawa, dan senyuman. Dengan penuh kata kata penyemangat. Hingga akhirnya aku pun dapat berjalan lagi. Aku sangat senang kala itu. Bahkan dengan spontan aku memeluk Yoga. Yoga juga senang, walaupun otomatis ia kalah taruhan denganku.
Semua kembali indah. Hidupku kembali indah. Memang, aku tetap tidak bisa mengikuti perlombaan cheerleader se-provinsi. Tetapi masih ada lomba yang lain dua bulan mendatang, dan aku kembali ditunjuk sebagai kaptennya. Sementara itu, Adit, dia kaget saat melihatku kembali ke sekolah. Dia tidak menyangka aku akan kembali secepat itu. Dia mulai bersikap baik lagi terhadapku. Namun tentu saja, aku hanya menganggap dia sahabatku, seperti yang dia inginkan dulu saat aku membutuhkannya.
Siang itu, sepulang sekolah, aku bermaksud mengunjungi Yoga dirumah sakit. Hari ini, perban dimatanya akan dibuka. Aku tak sabar melihatnya. Aku juga tak sabar melihat ekspresinya saat melihatku. Selama ini, dia hanya mendengar suaraku. Selain itu, aku juga ingin menceritakan hal-hal yang terjadi dihari pertama aku kembali kesekolah. Yoga adalah pendengar yang baik, dan aku selalu senang mendengar pendapatnya. Terkadang ia menjadi seorang teman untukku, terkadang ia menjadi seorang kakak yang amat dewasa, namun ia bisa juga menjadi sangat romantis layaknya seorang…pacar.
Aku agak gugup ketika menyaksikan dokter membuka perbannya perlahan-lahan. Dan akhirnya, saat yang kutunggu-tunggu tiba. Dia membuka matanya. Aku sangat senang dan bersorak. Akhirnya Yoga dapat melihat lagi! Namun, tunggu, ada apa ini. Mengapa yang lain terdiam? Apa…apa mereka tidak senang? Orangtua Yoga, dokter, mengapa mereka semua terdiam?
“Aku tunanetra permanen…” ujar Yoga menjawab kebingunganku. Tunggu, apa-apaan ini? Apa maksudnya? Tidak mungkin Yoga tunanetra permanen. Jika memang begitu, untuk apa dia mengajakku taruhan?
Tak lama setelah itu, semua pertanyaan dibenakku terjawab. Sedari awal, Yoga sudah tahu bahwa ia akan menjadi seorang tunanetra dan tidak akan bisa melihat lagi. Dia hanya ingin membuatku semangat. Dia hanya tak ingin aku berputus asa. Karena itulah ia mengajakku taruhan dan berbohong kepadaku bahwa ia akan bisa melihat lagi. Aku menangis mengetahui kenyataan itu. Aku sedih, aku prihatin, aku malu kepada diriku sendiri. Mengapa dulu aku begitu sering mengeluh? Sedangkan aku seharusnya bersyukur. Aku hanya lumpuh sementara, sedangkan Yoga? Tapi justru ia yang menyemangatiku disaat seharusnya aku yang menyemangatinya. Justru ia yang lebih bersyukur disaat seharusnya aku yang lebih bersyukur.
Aku teringat, aku masih mempunyai satu permintaan karena aku menang taruhan. Aku memutuskan untuk memberikan permintaan itu kepadanya. Karena memang ia yang lebih berhak menjadi pemenang. Yoga menerima permintaan itu dengan senang hati sambil menghapus airmataku. Aku terkejut ketika permintaan itu digunakannya untuk memintaku menjadi kekasihnya.. Tentu saja aku menyanggupi permintaannya. Aku pikir, hanya aku lah yang menyimpan rasa.
Kami menjadi sepasang kekasih yang bahagia. Dari Yoga aku belajar banyak hal. Aku belajar tentang kehidupan. Aku belajar tentang cinta. Cinta bukan tentang menonton film bersama, makan malam bersama, datang ke acara musik bersama. Cinta juga bukan tentang saling mengagumi fisik. Cinta juga bukan tentang berlomba untuk menjadi pasangan yang paling romantis. Tapi, cinta adalah saling melengkapi, saling menyempurnakan, dan saling menguatkan. Cinta adalah anugerah.
Cinta adalah anugerah karena untuk saling menguatkan.
Baca ini sambil bayangin kalo dijadiin film romance
I like it
Keren ceritanya. Bad ending, tapi juga happy 🙂