“Gue nggak ngerti lagi apa mau mereka. Perasaan gue nggak pernah nyari perkara deh. Tapi kenapa mereka kayak gitu sama gue?” Lagi-lagi jam kosong siang itu kugunakan untuk berbagi pikiran dengan Diah, salah seorang teman sekelas yang cukup dekat denganku.

“Hmm, nggak ngerti juga ya gue. Mungkin dia iri sama lo kali? Kan tiap hari nilai-nilai lo bagus, jauh di atas mereka. Lagipula guru-guru kan pada pro banget sama lo.” Jawab Diah. “Yang jelas bukan lo aja kok yang digituin. Gue juga. Walaupun nggak secara langsung, tapi gue tau kok mereka sering ngomongin gue di belakang.” Diah menambahkan sambil meletakkan kepalanya di atas meja.

“Apa gara-gara lo temenan sama gue, terus lo jadi ikut-ikutan digituin sama anak-anak?” tanyaku merasa tidak enak.

“Yaa, gue nggak tau deh. Tapi nggak masalah buat gue, apa pentingnya mereka buat gue? Toh nggak ada mereka pun gue nggak rugi kok.” Kata Diah cuek.

 

***

 

Seharusnya kelas 12 adalah waktu yang sangat berharga untuk belajar lebih giat demi lulus SMA. Namun itu tidak berlaku dengan teman-teman sekelasku. Mereka malah semakin santai menjalani hidup mereka sebagai siswa-siswa aneh bin ajaib. Yep, aneh bin ajaib karena mereka malah sangat senang mengganggu anak-anak lain yang hobi belajar dan membaca buku, contohnya aku dan Diah. “Yaelah, ngapain belajar sih? Beli aja KJ, Modal duit seratus ribu doang kok, dijamin lulus deh UN lo.” Begitulah kira-kira kata mereka.

 

Sebetulnya bukan itu pokok permasalahannya. Anak-anak itu bukan saja suka menggangguku karena aku hobi belajar. Namun lebih karena aku adalah seorang siswa yang mengalami low vision alias lemah penglihatan. Penglihatanku hanya tersisa 20%. Aku hanya bisa membedakan warna, sedangkan untuk membedakan wajah dan membaca tulisan aku sudah tidak mampu.

Baca:  Cinta dan persahabatan

 

Klotak! Tiba-tiba sebuah benda kecil jatuh ke atas kepalaku.

“Apaan nih?” tanyaku kepada Diah.

“Raba aja tuh, di atas kepala lo.” jawab Diah. Hmm, potongan penghapus rupanya.

“Siapa yang lempar?” tanyaku.

“Nggak tau gue, tadi gue nggak liat ke arah sana.” Jawab Diah.

“Eh, gue ke WC bentar ya, gue harus melakukan tugas mulia nih. Hahahaha,” aku berjalan ke arah pintu kelas sambil tertaawa. Sementara buku yang sedang kubaca aku biarkan terbuka di atas mejaku yang terlatak di belakang meja Diah.

 

Tak lama kemudian, aku kembali ke kelas dengan perasaan lega karena “beban” yang daritadi kutahan sudah berhasil kulepaskan dengan sangat indahnya. Setibanya di kelas, aku langsung menuju ke mejaku untuk melanjutkan membaca buku Sejarah, mata pelajaran favoritku. Tapi… “Loh? Ini kok tulisannya pada mendem semua? Kerjaan siapa lagi nih?”

 

“Diah, lo liat nggak tadi ada siapa yang ke meja gue? Ini buku gue kok jadi gini? Tulisan Braille nya pada kehapus gini?” tanyaku kepada Diah yang daritadi ternyata sedang khusyuk mendengarkan lagu Korea dari iPotnya.

“Wah, gue nggak tau deh. Kehapus gimana deh maksudnya?” tanya Diah kaget.

“Nih, lo liat aja,” jawabku sambil menunjukkan bagian yang terhapus.

“Loh? Setengah halaman gini? Tapi masih bisa kebaca nggak?”

“Yaa, bisa sih, tapi susah. Problemnya sih bukan apa-apa. Ini buku kan bukan punya gue. Gue minjem di sebuah lembaga gitu. Kalo rusak kan ujung-ujungnya gue juga yang tanggung jawab.”

“Ah, gila. Nggak bisa dibiarin itu mah. Lapor guru aja deh. Yuk gue anterin.” Jawab Diah sambil beranjak dari bangkunya.

“Ha? Lapor guru? Yakin lo?” tanyaku.

“Ya iya lah, itu sih udah kelewatan namanya. Merusak barang orang lain, ngerugiin banget lagi. Udah ah, ke ruang guru sekarang aja mumpung lagi jam kosong. Setau gue wali kelas kita lagi nggak ngajar deh kalo jam segini,” jawab Diah sambil menarik tanganku dan mengajak keluar kelas. Tiba-tiba, “Cyeee, mau kemana tuh berduaan?” Dan… Klotak! Satu lagi potongan penghapus mengenai kepalaku. Huft, lagi-lagi anak-anak aneh bin ajaib itu.

 

***

 

“Oh gitu ceritanya. Terus kamu tau siapa pelakunya?” tanya Pak Kurniawan, wali kelasku.

“Ya nggak tau Pak, saya aja baru banget balik dari WC. Tapi dugaan saya sih ya paling anak-anak iseng yang biasa itu Pak,” Jawabku.

“Kamu tau nggak Diah?” tanya pak Kurniawan kepada Diah.

“Sayangnya saya juga nggak lihat Pak, tadi saya lagi enak-enak dengerin musik,” jawab Diah dengan muka agak sedikit menyesal.

“Ya udah, gini aja, sekarang kita balik ke kelas, terus Bapak tanya ke mereka satu-satu.” Jawab Pak Kurniawan dengan bijak.

 

***

 

“Daritadi kita nggak main-main di meja dia kok Pak,” Bowo yang punya suara paling lantang di kelas menyahut pertanyaan Pak Kurniawan tentang siapa yang menghapus tulisan Braille di buku sejarahku.

“Iya Pak, orang daritadi kita lagi ngerjain tugas Pak, kita kan anak rajin Pak.” Sammy menambahkan.

Baca:  Termanis di Redaksi

“Hmm, berarti ada jin di kelas ini kali Pak?” aku nyeletuk kesal. “Lebih tepatnya jin berbentuk orang.” Tambahku.

“Sudah sudah, tenang dulu. Jadi nggak ada yang mau ngaku nih?” tanya Pak Kurniawan.

“Mau ngaku apaan Pak? Orang jelas-jelas bukan kita kok yang ngelakuin,” jawab Sammy keukeuh dengan pendapatnya. Pak Kurniawan pun keluar dari kelas, entah apa yang akan dilakukan wali kelasku itu. Tiba-tiba…

“Woy anak belagu, ngapain sih lo pake ngelapor ke Pak Kurniawan segala?”

“Ya sekarang gini aja, buku lo kalo gue coret-coret lo bakalan kesel nggak?” tanyaku berusaha terlihat tenang.

“Ya coret-coret aja, lagian gue bisa beli yang baru kok. Duit gue banyak! Nih!” jawab suara itu lagi, yang ternyata suara Sammy sambil menjatuhkan setumpuk uang di mejaku.

“Tapi nggak bisa gitu juga dong. Sekarang apa alasan lo buat ngerusak buku dia?” tiba-tiba Diah berdiri di depan Sammy.

“Ah lo lagi. Ngapain sih lo selalu belain dia?” tanya Sammy nyolot.

“Lo masih tanya kenapa gue belain dia? Karena dia sahabat gue. Gue udah kenal dia dari SMP, dan selama gue kenal dia tuh anak baik-baik, nggak kayak lo!”

“Diah, gue kurang baik apa sih sama lo? Tiap hari gue selalu ngajakin lo pulang bareng, tapi lo terus-terusan nolak dan lebih milih pulang bareng anak buta itu. Lo lebih milih pulang naik angkot ketimbang naik Ferrari gue? Aneh lo.”

“Ya jelas aja, mana mau gue pulang bareng preman macam lo?”

“Kurang ajar juga lo ya?” Tangan Sammy siap-siap memukul Diah. Untung saja mataku saat itu bisa bekerja dengan cukup baik dan aku segera menangkap dan memiting tangan Sammy. “Nggak sia-sia juga gue pernah belajar bela diri,” pikirku.

“Lo main kasar sama dia, urusan lo sama gue.” Desisku pelan. Tanpa banyak kata, kubanting Sammy ke lantai. Bantingan yang cukup keras membuat Sammy tidak dapat bergerak.

“Mana temen-temen ajaib lo itu yang biasa iseng sama gue? Sekarang Cuma bisa nonton doang tuh. Itu yang namanya jagoan? Itu yang namanya anak gang yang tiap hari petantang-petenteng sok keren di sekolah?” aku masih dalam posisi menahan Sammy. Tiba-tiba Pak Kurniawan membuka pintu dan masuk bersama Pak George, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

“Stop!” teriak Pak George.

“Sekarang jelaslah siapa pelakunya. Tadi saya lihat dari CCTV di ruang wakil kepala sekolah.” Pak Kurniawan menambahkan dengan ekspresi kesal. Seketika anak-anak pun terkejut. Mereka tidak menyadari bahwa di setiap kelas ternyata terpasang CCTV yang memantau mereka.

“Sekarang, Sammy, kamu ikut saya ke ruang wakil kepala sekolah!” seru Pak George.

“Nggak mau Pak! Enak aja! Masa iya saya bisa kalah sama orang buta kayak dia? Bapak tau kan siapa bapak saya? Dia wakil menteri! Masa iya anak wakil menteri bisa kalah sama orang buta? Nggak terima saya!”

Baca:  Antara Cemburu dan Percaya

“Saya nggak peduli siapa bapak kamu. Sekarang yang sekolah di sini kamu atau bapak kamu? Peraturan tetap peraturan. Mau bapak kamu ngasih duit satu trilyun saya juga nggak akan berubah pikiran. Saya harus menegakkan peraturan di sekolah ini tanpa pandang bulu.” Setelah berbicara demikian Sammy langsung ditarik ke luar kelas oleh Pak George.

 

***

 

“Thanks ya lo udah belain gue tadi. Gue nggak nyangka ternyata lo bisa bela diri juga.” Kata Diah.

“Hahaha, no problem. kebetulan aja dulu gue pernah belajar dikit. Thanks juga ya lo udah nemenin gue ke Pak Kurniawan tadi, terus pake acara ngomelin Sammy sampe itu bocah sebel banget kayanya.” Jawabku santai.

“Ya gue emang udah kesel banget sama dia. Kelakuan preman gitu, sok-sok pengen ngedeketin gue pula. Tiap hari ngajakin pulang bareng, kalo istirahat ngajakin makan bareng di kantin. Kan serem gue. Mana mau gue sama preman gitu.”

“Yaa, tapi kan dia udah berusaha baik-baikin lo, masa lo nggak terima?” tanyaku sedikit meledek.

“Ya ngapain juga? Males gue sama orang nggak beres macam dia. Mendingan gue temenan sama lo deh.”

“Kenapa gitu?”

“Ya gue nyaman aja temenan sama lo. Lo tuh nyambung diajak ngobrol, nggak neko-neko, pokoknya kriteria sahabat yang baik lah.”

“Walaupun kondisi gue kaya gini?”

“Yaelah, nggak ngaruh juga buat gue. OK lah mata lahir lo kurang berfungsi, tapi lo masih punya mata hati.”

“Thanks ya lo udah mau jadi temen gue.”

“Iya, dan gue berharap kita bisa temenan terus sampai… Nggak tau deh sampai kapan, terserah Tuhan aja deh. Btw gue laper nih, kantin yuk.” Diah langsung mengambil tanganku dan mengajak ke luar kelas.

 

——————–

 

When you try your best but you don’t succeed

When you get what you want but not what you need

When you feel so tired but you can’t sleep

Stuck in reverse

 

When the tears come streaming down your face

When you lose something you can’t replace

When you love someone but it goes to waste

Could it be worse?

 

Lights will guide you home

And ignite your bones

I will try to fix you

 

High up above or down below

When you’re too in love to let it go

But if you never try you’ll never know

Just what you’re worth

 

Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you

 

Tears stream down your face

When you lose something you cannot replace

Tears stream down your face

And I

 

Tears stream down your face

I promise you I will learn from my mistakes

Tears stream down your face

And I

 

Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you

(Coldplay – Fix You)

Bagikan artikel ini
Fakhry Muhammad Rosa
Fakhry Muhammad Rosa

Fakhry Muhammad Rosa, seorang tunanetra kelahiran Pontianak, 31 Mei 1994. Alumni jurusan Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Aktif menjadi pengurus di ITCFB (IT Center For The Blind) sebagai penulis artikel teknologi (silahkan baca di http://www.itcfb.org). Aktif bermusik sebagai drummer di Mitra Netra Band dan bassist di Remikustik.

Articles: 32

6 Comments

Leave a Reply