Ferdi Story (8-15)

Hari itu adalah hari pengambilan raport semester ganjil untuk seluruh siswa sekolah. Kedua orang tua Ferdi adalah orang yang sibuk, namun beliau mampuh membagi waktunya untuk mengambilkan raport Ferdi. Di sekolah, lalu-lalang para orang tua murit cukup membuat panas suasana. Keadaan ini membuat Ferdi kurang betah berlama-lama di sekolah. Dia pun memutuskan kembali untuk menuju perpustakaan hanya sekedar merasakan dinginnya AC. Namun Sial, aliran listrik di perpustakan sedang terganggu sehingga AC tak beroprasi dan membuat ruangan tersebut cukup panas. Sekilas Ferdi melihat Indri di salah satu sudut ruangan itu, dengan cowok, yang sudah dikenalnya. “Hei Fer…! Sini dong.” Sapa cowok itu sambil menunjuk Ferdi. “Ada apa Dolf?” Kata Ferdi sambil menuju mereka. “Duduk dulu dong.” Kata Adolf dengan santainya sambil memberikan kursi kosong tepat di kirinya. Jadi posisinya Indri di kanan Adolf, dan Ferdi di kirinya. “Gue sangat bersyukur, akhirnya gue dan Indri berhasil balikan lagi lima menit sebelum gue lihat lo di ruang ini.” Kata Adolf sambil memandang ke Ferdi lalu ke Indri. Bagai disambar petir perasaan Ferdi waktu itu melihat kenyataan ini. Namun dia berusaha untuk tenang. “Ja-jadi, maksud lo. Indri cewek lo?” Kata Ferdi yang sepertinya dadanya hampir mau meledak. “Yaps… Benar! Kita udah lama jadian dan kita konflik sebentar lalu putus dan sekarang nyambung lagi. Lucukan?” Kata Adolf sambil tersenyum dan membelai rambut Indri. “I-iya sepertinya begitu. Hehehe…” Jawab Ferdi dengan nada tertawa yang dipaksakan. Tapi amat terguncangnya perasaannya, kepalanya seperti berputar, jantungnya berdegup kencang, hatinya terasa ditembak dengan peluruh meriam sehingga hancur berkeping-keping. “Nah, kita akan merayakannya, tepatnya kita akan ke KFC. Lo bisa ikut kalau mau. Dan tenang, gue akan traktir lo sekenyang-kenyangnya, kalau perlu ampe lo nggak mampu lagi untuk makan.” Kata Adolf yang sepertinya tidak mengetahui perasaan Ferdi yang sebenarnya. “Nggak, terimakasih. Oh yah Dolf, gue nggak bisa lama-lama, ortu gue mungkin udah selesai ngambilin raport gue.” Kata Ferdi yang ingin cepat-cepat meninggalkan mereka berdua. “oh… yah nggak apa-apa kok. Tapi, bentar deh.” Adolf mengambil sesuatu dari tasnya. Dan terlihat dua kotak cukup besar, telah keluar dari tas itu. “yang ini, adalah sensitif recorder, alat ini mampu merekam sampai radius seratus meter. Jika microphone ini di gunakan, kekuatannya akan berlipat ganda.” Kata Adolf sambil membongkar-bongkar kotak yang lebih kecil dan memperagakan alat-alatnya di atas meja. Terlihat alatnya berbentuk persegi panjang, hampir mirip dengan bentuk kotak korek api namun dua senti lebih tebal dan empat senti lebih panjang. Ferdi hanya menonton apa yang Adolf lakukkan. Adolf mulai memasang-masang peralatannya dan langsung mencobanya. Dia mulai merekam dengan mmenggunakan alat itu. Setelah selesai, hasilnya pun didengarkan Ferdi dan alangkah terkejutnya, hasilnya sangat jernih dan jelas. Sepintas Ferdi sangat kagum dengan alat itu. Untungnya Ferdi diizinkan melihat-lihat alat tersebut. Namun tampilan pada layar itu cukup membingungkan Ferdi. Semua kata pada menu itu hanya berupa lambang. “Jangan khawatir, ini kamusnya!” Adolf melimparkan buku kecil tipis, yang berisikan kamus yang berkaitan dengan simbol-simbol yang tertera pada layar tersebut. Ferdi hanya melirik kamus itu sebentar, kemudian Ferdi pun mengembalikan alat beserta kamus itu ke Adolf. “Ini langsung dari jepang, sangat berguna sekali untuk mendengarkan percakapan rahasia.” Kata Adolf sambil kembali membereskan peralatan itu. Ferdi hanya mengangguk dan Indri hanya diam saja. “Itu lo beli sendiri?” Tanya Ferdi sambil memandangi alat itu yang mulai tertata rapi di dalam kotaknya. “Nggak, gue dikasih. Sama Opah gue yang baru pulang dari sana. Itu kado Ultah gue!” Kata Adolf sambil menutup kotaknya. “Kira-kira, berapa harganya?” Tanya Ferdi penuh minat. “Katanya sih sekitar US$300.00. Yah kurang lebih tiga jutaan lah.” Jawab Adolf santai. “Tapi…, kalau lo mau, gue akan turunkan harga jualnya. Gue lagi butuh uang!” Kata Adolf yang sekarang berbisik. “Berapa?” Tanya Ferdi penasaran. “dua juta rupiah ajah.” Jawab Adolf semangat. Sejenak Ferdi berfikir, namun fikiranya menjawab untuk memutuskan tidak membelinya karena dia berfirasat, dia akan banyak mendapatkan masalah dari alat itu. “OK kalau gitu, tapi maaf, gue belum niat untuk beli nih alat.” Kata Ferdi sambil bangkit dari kursi. “yah… Nggak apa-apa kok.” Kata Adolf sambil memasukan kembali alat itu ke dalam tasnya. “Mau coklat?” Tanya Adolf sambil membuka kotak satunya yang agak besar. “Nggak, terimakasih.” Kata Ferdi yang langsung berjalan cepat ke arah pintu. Alangkah jengkelnya perasaan Ferdi waktu itu. Akhirnya, dia pun segera menuju kantin, barang kali disana ada minuman yang mampuh menyegarkan fikirannya. Setibanya di kantin, kursi udah agak penuh, dan yang kosong adalah kursi yang berada di sebelah wanita berjilbab yang tidak asing lagi wajahnya di mata Ferdi. Yah, Siti Nurhasanah, sebenarnya Ferdi malas untuk menghampirinya tapi biar bagai mana pun, Ferdi harus duduk di sebelahnya kalau dia mau makan di kantin itu. “Pak…, orange jus satu!” Kata Ferdi sambil duduk di sebelah kiri Anna. ”Hai, Asalamualaikum!” Kata Ferdi sambil menepuk pundak Anna yang sedang serius menikmati es buah. ”Walaikumsalam. Ya ampun…, bikin kaget aja. Sedang apa Fer di sini?” Jawab Anna Sambil mengekspresikan wajah keterkejutannya. “Nggak, pengen nemenin kamu aja, kasian, sendirian! Hehehe…” Canda Ferdi yang membuat sedikit hati Anna berbunga-bunga. “Ah… kata siapa, disini banyak orang kok!” Jawab Anna pura-pura lugu sambil menebarkan pandang ke seluruh sudut ruangan. Beberapa saat kemudian, es jeruk pun datang. Ferdi pun segera meminum es tersebut tanpa henti dan sekejap kemudian habis. “Yaampun Fer, jangan dibiasakan minum seperti itu! Itu minum gaya setan! Dan menurut medis pun, gaya minum seperti itu dapat mengganggu kinerja pencernaan kita.” Kata Anna menasehati. “Iya-iya.” Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Ferdi. “Hmmm…, cerewet banget nih anak!” Gerutu Ferdi. “Pak…, orange jus satu lagi, terus, nasih gorengnya juga satu!” Kata Ferdi sambil menunjuk salah satu pelayan kantin. “Kamu mau Ann?” Tanya Ferdi. “Nggak, makasih. Aku nggak bisa makan banyak-banyak.” Jawab Anna menolak. “Serius nih? Tenang, aku yang bayar!” Kembali ferdi bertanya meyakinkan. “iya…, tadi sebelum aku berangkat ke sekolah, aku udah sarapan.” Jawab Anna Ramah. “Oh… yaudah.” Jawab Ferdi. Tak beberapa lama kemudian, pelayan itu datang menghampiri mereka berdua dan menyuguhkan pesanan yang ferdi pesan. “Kamu nggak sekalian mesan?” Kata sang pelayan yang berbicara kepada Anna. “Nggak Pak, saya udah kenyang, tadi juga udah ditawarin sama dia. Oh yah Pak…, tolong dong saya minta air putih dua gelas yah!” Pinta Anna kepada Pelayan. Pelayan pun menuruti apa yang Anna pinta. Dibawalah dua gelas air putih berikut teko-tekonya. Anna hanya tersenyum melihat tingkah laku pelayan. Ferdi pun mulai melahap nasi goreng yang dia pesan. “Ann, siapa yang ngambil Raportmu?” Kata Ferdi dengan mulut yang masih penuh dengan nasi goreng. “SSSST! Habiskan dulu makanannya!” Kata Anna sambil menepuk pundak Ferdi. Ferdi hanya mengangguk atas perintah Anna. Lalu, Ferdi mempercepat makannya dan memperbesar mulutnya untuk memuat makanan sebanyak-banyaknya. “Fer…, pelan-pelan makannya, karena gaya makan seperti itu kurang baik! Itu dapat mencelakaimu!” Kata Anna dengan nada yang agak keras sambil menggebrak meja sekedarnya. “Cerewet ka…” Ferdi tidak mampuh meneruskan bicaranya. Rupanya dia keselek karena gaya makan yang menurut Anna salah. Anna pun langsung memberikan air putih kepada Ferdi. Ferdi pun meminumnya. “mangkanya, kalau dibilangin itu ngerti dong! Bukannya aku cerewet sama kamu, tapi aku Cuma nasehatin doang, karena itu semua buat kebaikan kamu juga!” Kata Anna menasehati dengan penuh kesabaran. “iya-iya…” Yah, hanya itu jawaban Ferdi. Setelah Ferdi selesai, Ferdi membayar semua yang dia pesan. Dia pun membayar es buah yang sebelumnya Anna pesan. Anna telah melarangnya, tapi Ferdi bersih keras untuk membayarnya dengan ancaman dia akan marah kalau ditolak. Dan akhirnya, Anna hanya menurut saja. “oh iya Fer, Nih…!” Anna menyodorkan sepucuk kertas undangan ke tangan Ferdi. “Surat undangan siapa ini?” Tanya Ferdi sambil membuka lembaran kertas tersebut. Anna hanya memerintahkan Ferdi untuk membacanya. Isi dari surat itu menerangkan bahwa hari ini Anna akan mengadakan acara ulang tahunnya yang ke 16. Di dalam undangannya tertulis harapan Anna agar para undangan dapat mengadiri acara tersebut sekali gus menyambung tali silahturahmi. Maka dalam waktu sekejap, Ferdi telah menyelesaikan membaca undangan itu. Tak ada ekspresi yang spesial di wajah Ferdi, semua bersifat dingin. ”Siapa aja yang diundang?” Ferdi meletakkan surat itu di atas meja. ”Yang jelas, anak-anak rohis diundang, terus juga teman-teman sekelas kita itu wajib kecuali ada keperluan lain yang nggak bisa ditinggalkan. Kamu nggak bisa yah Fer? Yaudah nggak apa-apa kok.” Kata Anna sambil memandangi wajah Ferdi. ”Nanti deh, aku fikirin lagi.” Ferdi menunjukkan wajah yang seharusnya tidak di tunjukkan kepada wanita dengan tipe seperti Anna (Cemberut + jutek). ”Yaudah kalau gitu. Kalau kamu mau datang, aku sangat-sangat bersyukur. Kalau tidak pun, nggak akan terlalu menjadi masalah buatku. Tapi kalau bisa usahain datang yah!” Kata Anna memohon kepada Ferdi. “Iya-iya. Udah yah, kayaknya ortu udah nunggu di gerbang. Aku duluan yah, Wasalamualaikum!” Kata Ferdi dengan sikap acuh tak acuh sambil melangkah meninggalkan Anna. “Wa-alaikum-salam.” Tak terasa, air mata Anna mulai mengalir setelah melihat sikap Ferdi yang sejujurnya sangat dia tidak harapkan. “Ya Allah, Apa kesalahan hamba sehingga dia bersikap seperti itu? Apakah hamba salah jika hamba memberikan nasehat kepadanya? Ya Allah, berikan dia hidayahmu!” Batin Anna. Anna pun bangkit dari kursinya dan berjalan keluar kantin. *** Di rumah Ferdi, orang tua Ferdi satu per satu memberikan ceramahnya kepada Ferdi tentang semua nilai-nilai yang Ferdi dapatkan. Dengan nilai yang pas-pasan seperti itu, orang tua Ferdi pun menawarkan Ferdi berbagai macam bimbingan belajar yang tentu saja akan membuat Ferdi sibuk. “Nggak…, pokoknya Ferdi nggak mau!” Kata Ferdi menolak tawaran mereka. “tapi Nak…, ini buat kebaikanmu juga!” Kata sang Ibu menasehati. “Pokoknya Ferdi nggak mau les-lesan! Ferdi mau bebas Mah, Pah! Tanpa terikat dengan bimbel. Kalau Mamah dan Papah tetap maksa Ferdi buat les, lebih baik Ferdi nggak usah sekolah!” Jawab Ferdi seperti nada kayak Anak kecil yang sedang ngambek. “Ferdi…! OK, kalau kamu nggak mau les juga nggak apa-apa. Tapi Mamah dan Papah minta, kamu harus tingkatin belajarmu!” Kata sang Bapak kepada Ferdi. Ferdi hanya terdiam. Suasana hening untuk sejenak, tiba-tiba, telpon rumah pun berdering. “San… tolong diangkat!” Perintah sang Bapak. Susan pun segera mengangkatnya. Setelah bercakap-cakap sebentar dengan penelepon, susan pun memberi gagang telpon itu ke ferdi. Ternyata dari Aditia teman dekat Ferdi. ”Yah, halo, Asalamualaikum. Ada apa Dit?” ” Walaikumsalam. Eh Fer, lo udah dapet undangan dari Anna belom?” ” Yah, gue dapet. Lo diundang nggak Dit?” ”Oh pasti dong, guakan tamu penting. Hehehe… Eh, lo datengkan? Awas lo kalau kagak dateng.” ”Iya-iya, kalau gue mut pasti gue dateng.” ”OK, itu aja yeh! Wasalamualaikum!” ”Waalaikumsalam.” Susan bertanya kepada Ferdi. ”Aditia ngomong apa Fer?” ”Anna. Dia ulang tahun.” Jawab Ferdi dengan agak males-malesan. ”Bagus itu. Lo diundang?” ”Ya, tapi males banget Kak datangnya. Belum lagi milih kado yang cocok untuk dia.” “Memang Anna itu siapa Fer?” Tanya sang Ibu. “Itu hlo mah, gebetannya Fer…” Ferdi langsung menutup mulut susan. “Oh walah…, anak kita udah besar yah mah? Pantesan nggak mau disuruh les, takut keganggu yah jatwal apelnya? Hehehehe…” Canda sang Bapak. ”Apa-apaan sih! Anna itu Cuma temen doang kok Pah, lagian juga Ferdi nggak pernah mimpi pengen jadi pacarnya.” Jawab Ferdi malu-malu. ”Ah… jangan boong, dosa loh Fer! Yaudah, kado urusan Kakak, yang penting lo mau datang dan Kakak nyaranin lo datang ke sanah. Fer, belajar menghormati orang lain! Coba bayangin, kalau lo yang punya acara, terus orang-orang yang lo undang itu nggak datang, kecewa nggak lo?” Nasehat Susan. ”Ya iyalah! Terus gimana jadinya Kak?” Tanya Ferdi bingung ”Udah, lo datang aja ke sana! Entar biar gue yang beliin kadonya.” “Yo wis, kakakmu benar, sebaiknya kamu datang Nak! Terserah, kamu mau make mobil mamah atau Papah. Kami nggak kemana-mana kok hari ini.” Jawab sang Bapak. “Hlo, Pak topo emangnya kemana Pah?” Tanya Ferdi keheranan. “Dia cuti, katanya ada yang harus dikerjakan. Bukannya kamu udah bisa bawa mobil nak?” Kata Sang Ibu. ”Bisa sih. Tapi…, oh yaudah Kak, beliin yah! Nih uangnya!” Ferdi mengambil sejumlah uang dari laci komputer kamarnya lalu diberikan ke Kakaknya. ”Beres Fer, pokoknya lo tinggal bawa aja. Kakak akan cariin kado yang bagus untuk dia!” Kata Susan bersemangat sambil menerima uang yang diberikan. Susan pun meninggalkan mereka, lalu pergi mencari kado tersebut. Dengan perasaan bimbang antara datang dengan tidak, dia pun berkali-kali menghitung peluang kemungkinan. Dan anehnya, peluang terakhir selalu jatuh pada jawaban datang. Akhirnya, Ferdi tidak ragu lagi untuk datang ke sanah. *** Sore harinya, sekitar pukul setengah lima, Ferdi sudah siap untuk menuju ke rumah Anna. Dia tampak berbeda sekali, dia memakai pakaian resmi yang mampuh menambah ketampanan wajahnya. Dia memilih untuk berangkat menggunakan mobil Papahnya. Namun diperjalanan, Ferdi agak melamun sehingga dia hampir menabrak trotoar jalan. Untung saja dia lekas sadar akan bahaya yang mengancam jiwanya. Dan beberapa menit kemudian, sampailah Ferdi di rumah Anna. Anna pun telah menantinya sejak tadi di halaman rumahnya. Hari itu, Anna terlihat lebih cantik dan anggun dengan pakaian yang Anna gunakan. Anna tersenyum ketika melihat kedatangan Ferdi. ”Al-hamdulillah, akhirnya kamu dateng juga. Mari, masuk Fer! Yang dateng baru guestina, Tania, dan Alia. Memang dia sejak dari siang sudah datang di rumahku. Makasih yah, kamu udah mau datang ke sini.” Kata Anna sambil membimbing Ferdi ke ruang tamu. ”Hmmmm, iya. Mana Ibu dan Ayahmu Ann?” Tanya Ferdi sambil melirik kesekitar rumah kalau-kalau ada orang tua Anna. ”Ibu dan Ayah sedang keluar kota. Mereka berangkat setelah mengambil raportku.”  “oh….” Ferdi pun duduk di ruang tamu. ”Bentar yah Fer, Aku bikinin minum.” Lalu Anna pergi ke dapur untuk membuatkan minum buat Ferdi. Beberapa menit kemudian, Anna kembali dengan membawa segelas Es Orange jus, seolah-olah, dia mengetahui apa yang menjadi Minuman kesukaan Ferdi. Gelas yang dibawa Anna cukup dingin, dan berembun dibagian luarnya. Dia lupa untuk membawa tatakan gelas sehingga Anna memegang dinding dari gelas tersebut. Akhirnya, ketika gelas itu mau diletakan di meja, gelas itu terlepas dari tangan anna lalu jatuh dan pecah. Seluruh isi gelas tumpah ke lantai. Serpihan dari beling gelas itu, mengenai kaki Ferdi. Anna menyesali kejadian tersebut. ”Fer, maafin aku, tadi aku lupa make gelas yang ada gagangnya.” ”Sudahlah Ann, nggak usah dipermasalahkan, mungkin sudah saatnya gelas itu pecah. Sekarang, tolong kamu ambilkan aku kain lap, untuk mengepel lantai ini OK!” Kata Ferdi sambil bangkit dari bangkunya. ”Oh nggak usah Fer! Biar Aku aja yang melakukkannya.” Anna bergegas mencari kain lap untuk mengepel lantai tersebut. Di ruang tamu, Ferdi menyingkirkan serpihan-serpihan dari beling tersebut dengan sapu ijuk yang dia temukan di halaman rumah Anna. Ketika Anna kembali ke ruang tamu, Ferdi sedang menyingkirkan beling tersebut. ”Yaampun Fer, Aku bilang nggak usah! Biar Aku aja yang mengerjakan!” Kata Anna sambil berusaha merebut sapu dari tangan Ferdi. ”Nggak apa-apa Ann, sebagai manusia kita juga harus berbagi tugas. Aku nggak mau kamu terluka karena terkena beling-beling itu.” Kata Ferdi yang tetap saja membersihkan lantai itu dari serpihan beling dengan sapu yang dipegangnya. ”Maafin aku yah Fer, gara-gara Aku kamu jadi direpotin gini. Kamukan kesini bukan untuk kerja.” Kata Anna yang mulai mengepel lantai itu. ”Sudah, nyantai aja. Aku seneng kok melakukkannya.” Kata Ferdi dengan tersenyum. Anna masih mengepel lantai yang terkena tumpahan sirup dari gelas yang pecah itu. Sedangkan Ferdi telah selesai menyingkirkan beling-beling tersebut. Dia kembali duduk di korsi. Di meja sudah tersedia satu gelas sirup yang sama. ”Anna, ini buat siapa?” Tanya Ferdi yang sudah tahu jawabannya. ” Yah buat kamu, memang buat siapa lagi? Tolong diminum yah Fer!” Kata Anna dengan tersenyum sambil mencelupkan kain pelnya ke ember. Ferdi meminum minuman yang telah disediakan Anna. ”Ann! Hebat kamu! Minuman ini enak sekali! Ini siapa yang buat?” Kata Ferdi dengan tertegun. ”ah,  masa sih Fer! Yang buat ya aku. Kamu bohong yah bilang minuman ini enak?” ”Bener, ini enak banget, manisnya pas! Liat, gelas ini udah kosong. Yah, kalau masih ada sih Aku mau lagi.” Kata Ferdi sambil mengacung-acungkan gelas kosong itu. ”Kamu mau lagi? Bentar yah!” Dengan segera Anna mengambil gelas yang telah kosong itu dan mengisinya kembali dengan minuman yang sama. ”Ann, met ulang tahun yah! Ini, aku bawakan sesuatu untukmu, tolong diterima yah!” Ferdi mengambil kado yang telah dirancang sangat cantik oleh Kakaknya dari tasnya. Diberikanlah kado tersebut kepada Anna. Anna terlihat senang menerimanya. ”Makasih yah! Anna nggak bisa balas apa-apa.” ”Nggak apa-apa. Aku udah seneng kok, kalau kamu udah mau terima kadoku.” Anna meninggalkan Ferdi sebentar untuk meletakkan kado itu di kamarnya. Setelah meletakkan kado itu, Anna kembali. Dia duduk agak jau dari Ferdi. ”Ann, kamu kenal Indri nggak? Kan waktu SMP kalian satu sekolah, di purna bangsakan?” ”Indri? Hmmm, kenal kali yah. Mungkin aku lupa aja sama wajahnya. Emang kenapa Fer?” ”Aku suka dengannya Ann, aku sangat sayang dengannya. Tapi, ternyata dia udah lama punya cowok yang bernama Adolf.” “Adolf?” Tanya Anna Heran. “Padahal tadi aku yang mau menembak dia. Karena sampai saat ini nggak ada wanita yang lebih aku cinta dan sayangi selain dia, walau pun wanita itu mencoba untuk memperhatikan aku.” Lanjut Ferdi sedih. “Bagai mana denganallah, Rasul, keluarga, dan teman-temanmu yang lain, yang mungkin saja lebih menyayangi kamu.  Apakah kamu lebih menyintai Indri, yang jelas belum tentu baik untukmu, lebih dari semua itu?” Tanya Anna sambil memandang tajam Ferdi. “Fer…, sadarlah! Masih banyak yang lebih mencintai kamu selain Indri. Cuma kamu nggak berusaha membuka matamu untuk memandang kesekitar, seperti ke…” Kata Anna hampir kelepasan, namun dia langsung berbelok. ”Oh…, Astagfirullah al-azim! Aku lupa! Jangan-jangan kuehnya gosong, aku tinggal kedapur dulu yah! Oh yah, sekalian gelasnya aku bawa.” Kata Anna sambil mengambil gelas yang kosong itu. ”Oh, yaudah silahkan ” Dia menuju ke dapur menemui ketiga temannya yang setia membantunya. Di dapur, ketiga temannya masih sibuk membuat makanan. Anna datang dengan wajah yang cukup kesal, membawa gelas minuman yang sudah kosong dan dia bantingkan gelas itu ke tempat pencucian piring. Untung saja gelas itu kuat, sehingga tidak pecah. Dia mencucinya lalu meletakkannya di rak piring. ”Ann, lo kenapa? Tadi lo ceriah-ceriah aja deh.” Kata Tania sambil menata puding. Anna hanya terdiam mendengar pertanyaan tersebut. ”Mendingan lo ngomong deh Ann sama kami, ada apa sih?” Tanya alia yang mencoba membuat hiasan diatas kueh ulang tahun dibantu oleh gustina. ”Percuma gue undang dia! Cuma bikin panas hati gue doang.” Kata Anna sambil memandang mereka. ”Maksudnya siapa?” Tanya Gustina sambil memoleskan coklat kemudian menata buah ceri diatas kueh ulang tahun itu. ”diotaknya Cuma Indri, Indri, dan Indri saja! Nggak bisa mahamin perasaan orang kalih yah dia.” Kata Anna yang setiap mengucapkan nama Indri dia membanting sesuatu seperti sendok kueh, piring kertas, dan terakhir melempar centong nasi. Mereka pun mengerti apa yang Anna maksud. Dengan nada sedih, dan sambil membereskan semua yang dia lempar, diceritakkanlah peristiwa itu yang membuat dirinya menjadi kesal. Mereka tersenyum saja mendengar perkataan Anna. ”Yaudah Ann, gini aja, lo bersikap biasa-biasa aja di depannya, kalau lo emang ada rasa dengannya, lo dapat tunjukkan sikap lo, bahwa lo bisa lebih dari Indri. Bisa nggak lo?” Kata mereka sambil menata baik kueh, puding, mau pun makanan lainnya di atas nampan. Anna terdiam sejenak. “bisa nggak yah gue bersikap lebih dari Indri? Yaudah gue usahain deh. Semoga bisa.” Batin Anna. Tak lama kemudian, Ferdi berteriak dari ruang tamu memanggil. ”Ann, Anna, Aditia beserta rombongan rohis lainnya udah dating nih!” Anna bergegas berlari menemui mereka semua. Disambutlah mereka semua dan dipersilahkan duduk di tempat yang telah disediakan.   Akhirnya, seluruh undangan telah berkumpul di rumah Anna. Dan tanpa membuang waktu lagi, acara itu pun dimulai selepas Mahrib. Kata sambutan disampaikan oleh Anna mewakili orang tuanya. Begini katanya. “Asalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu. Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini, Allah mengizinkan kita semua sehingga kita dapat berkumpul di sini untuk menghadiri syukuran ulang tahunku yang ke 16. Selawat serta salam tidak lupa kita curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari jalan yang gelap gulita tanpa Arah, ke jalan yang terang benderang yang penuh dengan arah dan tujuan yang jelas. Dengan menyampaikan Agama Islam dan memberikan Al-qur’an serta hadis sebagai pedoman hidup kita agar kita tidak tersesat. Langsung saja, sekali lagi aku mengucapkan banyak-banyak berterimakasih kepada kalian, karena telah menyempatkan diri untuk datang ke acara ini. Yah walau pun acara ini sangat sederhana, aku harap acara ini dapat memberikan hal-hal yang berkesan bagi kalian semua. Aku selaku tuan rumah, memohon maaf jika masih terdapat kekurangan disanah-sini. Itu karena keterbatasan kemampuan yangku miliki untuk membuat semuanya sempurna. Baiklah, Aku tidak berpanjang lebar lagi dalam berbicara, marilah kita mulai saja acara ini.” Acarapun dilanjutkan dengan pembacaan surat Yasin dan tahlil, yang dipimpin oleh Abdul Razaq Alhusaini, salah satu pengurus Rohis. Kemudian diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh Ahmad Gafur. Setelah sambutan dan do’ah, Acara dilanjutkan kembali dengan acara-acara yang bersifat informal, seperti tiup lilin, potong kue, dan lain-lain. Nyanyian selamat ulang tahun pun tidak lupa dihnyanyikan oleh seluruh yang hadir di situ. Setelah acara makan-makan berakhir, para undangan pun berpamitan kepada Anna satu persatu. Sampai akhirnya, seluruh undangan meninggalkan rumah Anna pada jam 10 malam. Tetapi, Anna bingung, dia tidak melihat Ferdi, Aditia, Alia, Tania, Serta guestina. “Waduh, kemana mereka? Apa mereka sudah pulang yah? Ah masa sih, mereka nggak mungkin sebegitunya.” Batin Anna.  Tiba-tiba, telpon di rumah Anna berdering. Anna mengangkat telpon itu lalu berkata:”Asalamualaikum, ini siapa yah?” ”Walaikumsalam, Ann, ini aku. Sorry, tadi aku nggak sempet pamitan sama kamu. Sebab, aku terburu-buru. Papahku mendadak jatuh pinsan dirumah dan aku ditelpon orang rumah untuk cepat pulang. Oh yah, Alia, Guestina, dan Tania juga ikut aku pulang. Udah yah Ann, hati-hati dirumah. Wasalamualaikum!” Kata Ferdi panik sehingga langsung menutup telepon itu. ”walaikum salam.” Tampak wajah Anna menangis karena dia kebingungan, di rumah itu hanya dia. Akhirnya, Anna membereskan gelas dan piring yang telah berserakkan, dan mengangkutnya ke dapur sendirian. “Kalian semua tega sama ana, ninggalin Anna sendirian. Anna benci sama kalian! Apa lagi Ferdi, kamu emang bener-bener cowok yang egois!” Kata Anna sambil meletakkan piring dan gelas di pencucian piring. Anna menangis, sambil mencuci piring dan gelas-gelas itu. Tetapi, ketika Anna menoleh kebelakang, alangkah terkejutnya dia. Ketika melihat 4 sosok mahluk yang menyeramkan dengan memasang muka garang. Mereka menatap Anna dengan garang.  ”Siapa kalian? Jangan menggangguku!” ”hai anak manusia, sesungguhnya kau yang telah mengganggu kami. Kau telah membuat keramaian di daerah kami. Ketahuilah, kami adalah utusan-utusan dari kerajaan jin yang berada dipohon beringin, yang terletak di belakang rumahmu.” Kata salah satu mahluk terseram sambil memegang punggung Anna. Memang, di belakang rumah Anna terdapat pohon beringin yang rindang dan cukup seram jika dilihat. Karena pohon tersebut sudah berusia cukup tua. ”Lalu, kalian sekarang maunya apa?” Tanya Anna dengan wajah pucat. ”Sebagai hukuman untukmu, kamu harus ikut kami sekarang! Tutup matamu,dan  jangan dibuka sebelum kami perintahkan! Jika kau menolak, Kamu akan tahu sendiri akibatnya!” Kata salah satu diantara mereka. Anna pun menuruti apa yang diperintahkan. Dia menutup matanya dengan kedua tangannya rapat-rapat. Dibawalah Anna kedalam rumahnya lalu dia diperintahkan oleh mereka untuk duduk di sofa yang berada di ruang tamu di rumah tersebut. Mereka pun duduk disamping Anna. ”Apa yang tadi kamu dan teman-temanmu lakukkan?” Kata Mereka dengan nada menakutkan. ”Aku habis melakukkan syukuran ulang tahunku yang ke 16, dan aku mengundang teman-temanku untuk merayakannya.” Kata Anna yang sekarang agak tenang. ”Mengapa kami tidak diundang? Apakah kau tidak mengetahui keberadaan kami?” Jawab mereka yang sepertinya semakin marah. ”Benar, aku hanya manusia biasa. Sedangkan kalian semua adalah mahluk-mahluk gaib, aku tak dapat melihat kalian. Aku hanya dapat melafazkan do’ah-do’ah untuk kalian agar kalian tenang dan sentosa. Maafkan Aku!” ”Mengapa kau tidak memberikan kami kemenyan, stanggi, kopi manis/ pait, ancak atau sesajen lainnya? Padahal itu lebih baik untuk kami.” Jawab salah satu mahluk. ”Maafkan Aku, aku tidak dapat memberikan itu untukmu, karena itu diluar ketentuan agamaku, dan aku nggak mau menjadi orang musrik.” ”Baiklah, kami memaklumi itu. Kami akan segera pergi untuk kembali ke istana kami. Semoga tuhan melindungi kamu.” ”Amin!” “ Tapi kami marah, kenapa… Kenapa kami dibilang mahluk gha’ib? Padahal kamu belum benar-benar tahu siapa kami karena mata kamu terpejam.” Kata mereka yang sekarang bangun dan berada persis di depan Anna, dan salah satu tangan dari mereka mencekik leher Anna. Dengan Reflek Anna langsung membuka mata dan,Anna pun terkejut bukan kepalang melihat keempat temennya yaitu Ferdi,Alia, Tania, dan  Guistina berdiri sambil tersenyum dan berkata:”Dor! Hehehehehe… Seru nggak?” Lalu mereka semua bernyanyi dengan diringin gitar yang dimainkan Ferdi. Anna kesal bercampur malu atas perlakuan teman-temannya. ”hentikan…! Emang lo fikir semua ini lucu apa? Nggak lucu tahu.” Bentak Anna. ”Emang siapa yang bilang lucu Ann? Kita nggak bilangkan temen-temen? Mari kalau misalnya lucu, yuk semua, ketawa yuk! Hahahahahaha…” Jawab Ferdi mewakili. Mereka pun semua tertawa. Anna meninggalkan mereka semua dan membanting pintu kamarnya sekencang-kencangnya. ”Gimana nih? Anna ngambek!” Kata Ferdi kepada ketiga teman setia Anna. ”Itu sih biasa Fer, Udahlah, kita bujuk aja.” Jawab Tania dengan tenang sambil menuju ke kamar Anna. Mereka pun mengikuti Tania menuju ke depan pintu kamar itu. ”Ann, buka dong Ann. Kami Cuma mau bikin kejutan doang kok tadi. Anna maafin kami! Anna baik deh, cantik pula, pokoknya Anna orang yang paling cantik sedunia. Ferdi jadi sayang deh sama Anna. Buka dong Ann!” Kata Ferdi dengan rayuan maut sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Anna. Anna hanya terdiam di dalam kamar, dan tidak menghiraukan bujukan-bujukan mereka. Lama mereka membujuk Anna, tapi nggak ada reaksi yang terjadi. ”Yaudah Ann, mungkin gue salah, emang kejutan itu gue yang buat. Yaudah kalau lo marah banget sama gue, gue pamit pulang yah Ann. Asalamualaikum.” Kata Ferdi sambil berbalik dari kamar Anna dan menuju halaman. ”Walaikumsalam.” Batin Anna. Ferdi pun pulang meninggalkan Anna. Dia segera menghidupkan mobilnya dan tancap gas meninggalkan rumah itu. Dirumah Anna, Alia, Guestina dan Tania masi tetap membujuk Anna untuk membukakan pintunya. Akhirnya dia pun membukanya. ”Ann, Ferdi hanya ingin membuat kejutan yang seru doang untuk lo. Kan nggak seru, kalau acara lo itu hanya bersifat datar-datar aja. Kok lo gitu si sama dia?” Kata Alia yang ternyata masih sabar membujuk Anna. ”Maafin gue! Sebenernya gue nggak marah sama dia, tapi gue malu aja udah ngomong dia egois di dapur. Mungkin dia denger kali yah.” Jawab Anna sambil membukakan pintu untuk mereka. ”Ya jelas, orang pas lo lagi nuyuciin piring kami bersembunyi di pojok dapur dekat lemari makan, dan pas lo ngucapin gitu dia hanya tersenyum aja. Yaudah, abis gitu, langsung aja kami melancarkan aksi terhadap lo.” Kata Tania sambil tersenyum penuh arti. ”Tahu nggak, pas dia pamitan pulang, dia itu terlihat murung gitu. Dan bilang ke gue untuk ngebujuk lo sampe lo mau bukain pintu. Dan dia juga minta maaf banget ke lo atas semua itu.” Tambah Alia yang sebagian pembicaraannya berhasil dia karang sendiri. ”Nih, menurut gue, lo telpon dia aja dan minta maaf ke dia. Itu juga kalau lo mau.” Balas Tania sambil menunjuk pesawat telpon di atas meja. ”Yaudah kalau gitu, gue akan telpon dia.” Kata Anna sambil bergegas menuju telpon. Anna pun menelepon rumah Ferdi dan dijawab oleh Susan. ”Halo, ini siapa?” Kata Susan yang sepertinya mengantuk. ”Asalamualaikum Kak susan, ini Anna. Ferdi sudah sampai belum kak?” ”Walaikumsalam. Belum tuh Ann. Ada apa yah?” Kata Susan sambil menguap. ”Nggak Kak, Anna mau bicara aja sama dia. Dia punya nomor HP nggak kak?” ”Oh punya kok, tolong dicatat yah! Nomornya….” Anna mencatat nomor tersebut. ”yaudah Kak, terima kasih yah! Maaf udah ganggu. Wasalamualaikum.” ”Walaikumsalam.”

Baca:  Seorang Di Tepi Jalan
Bagikan artikel ini
Wijaya
Wijaya

Saya adalah orang yang hobinya membaca dan menulis.

Articles: 23

Leave a Reply