Waktu itu hari telah senja, sang surya mulai tenggelam di peraduannya, digantikan sang rembulan yang masih tampak malu-malu karena baru terbangun dari tidurnya. Di halaman rumah, terlihat Pak Topo yang sedang mencuci mobil sambil bersenandung riang.
Sekedar informasi, rumah Ferdi berada di dalam sebuah perumahan elit yang cukup nyaman. Tingkat keamanannya yang tinggi membuat banyak orang yang menjadi betah tinggal di lingkungan itu.
Rumahnya juga di lengkapi dengan kolam berenang yang luasnya kira-kira 100 meter persegi yang terletak dihalaman samping rumahnya. Di sekitar lingkungannya, juga terdapat taman bermain, lapangan bola, dan juga banyak daerah resapan air yang ditumbuhi tanaman hijauh membuat udara di sekitarnya semakin sejuk.
Dari kejauhan, tampak setitik sinar yang makin lama makin dekat dan ternyata sinar itu dihasilkan dari lampu mobil yang menuju rumah Ferdi. Mobil itu seperti Mobil Carry yang kenalpotnya sedikit berisik. Mobil itu berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah tersebut. Sesosok wanita yang berparas lumayan, dengan tubuh agak jangkung kurus, serta rambutnya yang keriting sepertinya rekayasa salon, keluar dari mobil itu. Dia membawa tas kuliah, dan menenteng sesuatu sepertinya makanan. “Makasih yah say, udah nganterin aku.” Kata wanita itu dengan romantis sambil kembali menutup pintu mobil itu.
“yah sama-sama honey!” Balas sang pengemudi ‘sepertinya pacarnya’ sambil kembali melajukan mobilnya meninggalkan rumah itu.
Wanita itu masuk ke pintu gerbang yang tidak tertutup. “Eh…, non Susan sudah pulang. Hehehe…” Sapa Pak Topo sambil mengelap kaca depan mobil yang tercuci itu.
“Si Ferdi sudah pulang Pak?” Tanya Susan ramah.
“Oh… sudah non, tadi si sepertinya dia di kamar.” Jawab Pak Topo yang kini mencelupkan kain lap itu ke ember lalu mengelap kaca samping kiri mobil.
“Oh yaudah.” Kata susan sambil meninggalkan Pak Topo dan masuk kedalam rumah.
Dia melangkah masuk ke kamarnya. Keadaan kamarnya berbeda dengan kamar Ferdi, terlihat sangat rapih dan menggunakan pengharum ruangan yang seperti beraroma orange, dengan hiasan kramik yang berada di dinding, setumpuk boneka lucu berderet di bagian paling atas meja komputernya, serta meja rias yang di atasnya tersedia beraneka macam alat kosmetik. Diletakannya bungkusan yang dia bawa di atas meja komputer dan tasnya di samping bungkusan itu. Dia segera berganti baju, dari baju resmi ke baju santai.
Setelah semuanya selesai, dia langsung keluar kamar.
“Fer…, Ferdi…! Di mana lo?” Kata Susan memanggil-manggil sambil berjalin menuju kamar Ferdi. Ternyata pintu kamarnya tidak terkunci, dia pun masuk begitu saja.
Dia melihat Ferdi yang terbaring terlentang, dengan mulut ternganga lebar, sambil mengelurkan dengkur cukup keras serta air liurnya membasahi tepi mulutnya. Susan menghampirinya dan langsung mengguncangkan tubuhnya.
“Fer…, Fer…, bangun lo!” Kata susan sambil mengguncangkan tubuhnya cukup keras. Dengkur Ferdi berhenti namun sekarang terdengar gumaman nggak jelas dari mulutnya. Dia pun berbalik membelakangi susan. “ih…., bangun nggak?” Sekarang susan menyubit tangan Ferdi. Sepontan Ferdi kembali berbalik ke posisi semula “Auch… Apaan sih kak!” Gerutu Ferdi sambil melotot ke arah Susan. Namun sedetik kemudian matanya kembali terpejam dan kembali mendengkur. Tampaknya susan telah kehabisan kesabaranya. Dia pun berjalan keluar kamar, sepertinya ingin mengambil sesuatu. “Non, Bapak pulang dulu yah, mobilnya udah Bapak masukin.” Kata Pak topo sambil setengah berlari ke Susan untuk memberikan konci mobil itu.
“ Oh yah terimakasih Pak, kuncinya Letakan aja di meja telpon!” Perintah susan sambil berjalan menuju dapur.
“Baik non.” Jawab Pak Topo yang langsung melempar kunci itu ke atas meja telpon.
Di dapur, Susan mencari lemari makan. Di lemari itu, dia mengambil gelas, sendok, gula dan teh, jelas, dia ingin membuat segelas teh manis. Dituangkan air panas ke gelas tersebut lalu mengaduknya dengan sendok.
“In… Indri, tunggu in…! Dengerin gue dulu! Guenggak sengaja ngelakuin ini semua! Indri maafin gue, tolong dengerin dulu apa yang sebenarnya terjadi!”
Susan mendengar teriakan sepertinya suara Ferdi. Susan pun meletakan teh manisnya di meja makan lalu berlari kearah suara itu, dan dia pun melihat Ferdi yang berlari ke halaman samping rumah dimana di situ ada kolam berenang. “Fer… Ada apa Fer…!” Teriak Susan yang mengejar Ferdi ke arah itu. Namun Ferdi hampir sampai ke pinggir kolam itu dan kemudian “Indri…!!!” Ferdi berteriak sekeras-kerasnya dan dia pun kecebur ke kolam itu. Dinginnya air kolam menyadarkan otak Ferdi yang ternyata dia telah bermimpi cukup buruk. Susan hanya tertawa menyaksikan itu semua. “Mangkenye kalau tidur itu jangan terlalu serius.” Kata susan sambil tertawa geli. Ferdi kembali melompat dari dalam kolam sambil tersengal-sengal. Dia duduk di pinggir kolam sambil mengingat apa yang telah terjadi. Dan dia pun sadar sepenuhnya
Bahwa dia telah bermimpi berada disebuah pesta ulang tahun yang meriah dan dia asyik minum-minum, hingga mabuk berat. Dalam keadaan mabuk, ternyata Anna memanfaatkan kesempatan itu untuk membawa Ferdi ke sebuah kamar yang sepertinya telah disiapkan sebelumnya. Di kamar itu, tanpa di sadarinya, kejadian itu pun terjadi begitu saja tanpa mampuh untuk terbendung. Persis dengan apa yang pernah terjadi antara Aryanto dengan seorang siswi di sebuah toilet. Ketika Ferdi dan Anna sangat klimax, terdengar pintu kamar dibuka lalu terdengar isakan tangis dan pintu itu pun terdengar dibanting cukup keras. Ferdi mengenali persis suara itu, walau dalam keadaan mabuk berat. Ceritanya dalam mimpi itu, Ferdi sudah menjalin hubungan dengan Indri, namun bayang-bayang Anna selalu menghantui Ferdi, yang terkadang memicu pertengkaran diantara Ferdi dan Indri. Ferdi pun segera mengejar Indri walau keadaannya masih polos. Dia terus mengejarnya tanpa memperdulikan Anna yang berkata, “Lupakan dia, dan cintailah aku! Aku yang berhak atas kamu, karena kamu telah mengambil semuanya!”.
Akibat dari mimpinya, Ferdi menjadi ngelindur dan kecebur di kolam ini.
Ketika Ferdi sedang asyik duduk, Susan kembali mendorong badannya hingga kembali tercebur kedalam kolam itu dan Susan kembali tertawa terbahak-bahak. Tidak terasa, Susan sudah berada satu senti sebelum kolam itu dan tiba-tiba secara reflek, Susan melompat dan “Byur” susan ikut kecebur. Dan sekarang Ferdi yang tertawa “Mau ikut berenang juga rupanya Kak.” Kata Ferdi yang kembali keluar dari kolam. “Brengsek lo Fer, awas, gue balas lo!” Kata Susan yang menyangka bawah Ferdi yang telah menceburkannya.
Ferdi langsung pergi ke kamar mandi tanpa memperdulikan Kakaknya.
Di kamar mandi, dia kembali teringat mimpi terkutuknya itu, dia membayangkan kalau di dalam mimpinya itu akan menjadi kenyataan, namun dia berusaha untuk membuang itu jauh-jauh, dan menganggapnya sebagai bunga tidur.
“Ya Allah, lindungilah hambamu dari godaan syetan yang akan menghancurkan masa depan hamba.” Doa Ferdi dalam batin.
Akhirnya, dia pun selesai mandi. Dia menuju kamarnya dengan menggunakan handuk lalu berganti baju. Setelah selesai, dia kembali keluar. “Kak…, Kak susan!” Ferdi memanggil-manggil Susan dan memutuskan untuk kekamarnya. Dia buka pintu kamar itu tanpa mengetuk dan dia temukan kakaknya di kamarnya sedang mendengarkan radio dengan ditemani sekardus martabak. Ferdi pun langsung menatap martabak yang tertata rapi di atas kardus itu.
“Napa, lo mau?” Kata Susan yang bertampang jutek dengan mulut yang masih penuh dengan martabak. “Fer…, asal lo tahu, gue mah nggak dendaman orangnya.” Gerutu Susan sambil menyodorkan martabak itu ke Ferdi.
“Bukan Ferdi Kak, yang dorong Kakak ke kolam, yang Ferdi lihat Kakak loncat sendiri ke kolam itu.” Tegas Ferdi sambil mengambil sepotong martabak itu lalu memakannya.
Susan pun tidak memperdulikan apa yang Ferdi katakan.
”Oh yah, Mamah dan Papah barusan SMS Kakak, katanya mereka pergi ke pesta perkawinan temannya ya mungkin pulangnya agak malem.” Kata Susan sambil mengambil sepotong martabak lagi.
Ferdi pun segera melahab martabak yang berada dikardus dan habis seketika.
”Eh, kalau makan istigfar dong! Martabak gue ampe abis. Emang lo fikir itu buat lo semua apa?” Kata susan dengan muka cemberut.
”Maaf kak, Ferdi laper banget.” Kata Ferdi sambil menghabiskan sisa terakhir potongan martabak yang berada di tangannya.
”Makanya, kalau di kasih uang jajan, jajanin! Di tumpuk doang didompet sih. Emang lo fikir duit lo bisa beranak apa? Ya sudah, karena gue juga laper, lo cari lauk nasi gih! Bi Ijah nggak masuk seharian ini karena anaknya demam. Lo boleh bawa mobil gueh. Nih uangnya”
Kata Susan dengan muka cemberut sambil menyerahkan uang sebesar Rp50.000 ke Ferdi.
“ dan konci mobilnya ambil aja di situ!” Lanjutnya sambil menunjuk laci meja komputer urutan kedua dari bawah. Kemudian, Susan membereskan bungkus martabak yang sudah kosong itu dan dimasukan ke kantong pelastik. “Gue nitip ini, tolong yah!” Kata Susan dengan tersenyum sambil memberikan sampah bungkus martabak itu ke Ferdi. Ferdi pun keluar dari kamar Susan dan entah kenapa, dia meletakkan sampah itu di atas meja tamu begitu saja.
Sebenarnya, Ferdi agak segan mengendarai mobil susan, selain mesinnya susah hidup, suara kenalpotnya brisik, dan panas kalau dibawa lama-lama karena AC-nya sudah lama tidak beroprasi, sehingga dia harus membuka kaca jendelanya. Lagi pula, radio tape-nya nggak ada. Tetapi, Ferdi kali ini terpaksa, dari pada dia jalan kan lebih capek. Dan dia Menghargai Kakaknya karena mobil itu dibeli oleh uang tabungan kakaknya sendiri. Walau pun Ayah mereka seorang derektur utama dari salah satu rumah sakit terkemuka, tetapi mereka jarang meminta uang dari ayah mereka untuk membeli sesuatu. Jika mereka masih mampu untuk membelinya sendiri, mereka akan membelinya.
Ferdi pun mengeluarkan mobil Susan dari garasih rumahnya. Dan langsung berangkat mencari makanan. Suara mesin mobil yang brebet-brebet, serta kenalpotnya yang terkadang menembak dan jalannya yang nggak stabil, terkadang membuat Ferdi menjadi jengkel.
Orang tua mereka sudah menyarankan, agar mobil itu lekas diganti, namun Susan tetap keras kepala karena dia menganggap, mobil itu membuat sejarah tersendiri buatnya.
Gara-gara mobil itu mogok, akhirnya Susan dipertemukan oleh Toni ( sekarang jadi Cowoknya), yang kebetulan lewat dan membetulkan mobil tersebut. Hubungan mereka semakin dekat, dan akhirnya mereka jadian.
Beberapa lestoran telah Ferdi lewati, tapi dia engan untuk berhenti. Dia ingin menuju ke salah satu lestoran yaitu Wijaya Food Center. Karena, lestoran itu menyediakan aneka makanan yang cukup berkualitas, dibandingkan lestoran lain di sekitar kota jakarta. Lagi pula, harganya pun terjangkau.
Memang, moto dari lestoran itu adalah:”Kepuasan konsumen adalah nomor satu, keuntungan adalah nomor dua.”
Beberapa menit kemudian, Ferdi pun tiba di lestoran itu.
”Selamat sore Pak, selamat datang di Wijaya Food Center. Lestoran kami menyediakan berbagai macam aneka makanan.” Kata Pelayan dengan nada ramah.
”Waduh, maaf, saya belum menikah. Panggil saya mas saja yah! Memang tampang saya kayak Bapak-Bapak yah?”
”Maaf Pak, eh salah maksud saya mas, kami tidak tau.” Kata Pelayan serba salah.
“Maaf, karena lestoran ini berbasis hight technology, kami siap membantu anda jika anda kesulitan dalam mengoprasikan mesin pemesanan yang terlihat di depan anda saat ini.” Kata pelayan itu dengan sangat-sangat ramah.
“ terimakasi, saya sudah sering ke tempat ini.” Kata Ferdi yang membuat sedikit wajah pelayan itu memerah.
“Oh, yah, kalau gitu silahkan.” Kata Pelayan itu dengan nada ramah yang langsung meninggalkan Ferdi.
Dia pun mendekati mesin itu. Mesin itu mirip dengan mesin ATM, dan terdapat head phone, keyboard qwerty, dan di tengahnya terdapat laci besar tempat keluarnya makanan yang telah dipesan. Sistem kerjanya adalah: masing-masing mesin pemesanan terhubung dengan oprator yang menerima text pesanan yang dikirimkan oleh masing-masing mesin itu. Lalu oprator memasukan makanan ke dalam laci mesin oprator, dan kereta makanan secara otomatis akan membawa pesanan tersebut melalui jalur penghubung antar laci mesin ketempat pemesan dan meletakkannya di laci mesin pemesan sesuai dengan perintah secara komputerisasi.
Ferdi menekan tombol start pada mesin itu. “Welcome to WFC the order machine, please insert your WFC card order now.” “selamat datang di mesin pemesanan WFC, masukan kartu pemesanan anda sekarang!” Kata suara screen reader mesin itu yang mirip dengan suara wanita sempurna, melalui head phone yang dia gunakan. Di layar pun muncul tulisan yang sama dengan tampilan dua bahasa yaitu Ingris-Indonesia. Ferdi mengambil sebuah kartu berwarna biru yang berlogo Wijaya Food Center yang kira-kira seukuran kartu telpon umum. Dia pun memasukannya ke mesin itu. Terdengar suara bip, tanda kartu dikenali.
“Are you blind? If so, Use this voice to get more help. Press Y key to enable this voice or n to disable.” “anda tunanetra? Jika ya, silahkan gunakan suara ini untuk mendapatkan bantuan yang lebih. Tekan Y untuk mengaktifkan atau N untuk tidak.”
“Walau gue nggak buta, apa salahnya kalau gue make suara ini. Abis suaranya memacu adrenalin gue sih! Jadi keenakkan nih.” Kata Ferdi dengan nada genit. Dia pun menekan tombol “Y” untuk menggunakan suara tersebut.
“Select your language option, by using the up or down erow keys and then press enter. Or press the first letter of the language option to quick selection.” “Pilih bahasa anda, dengan menggunakan tombol panah atas atau bawah, kemudian tekan enter. Atau, tekan hurup pertama dari bahasa yang anda pilih untuk pilihan cepat!”
“Kira-kira ada bahasa binatang nggak yah?” Batin Ferdi yang sudah tau jawabannya. Bahasa pilihan yang ada hanya dua bahasa saja yaitu indonesia dan inggris. “Indonesia dong…, scara gitu, guekan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi sama bangsa gue.” Batin Ferdi. Dia pun memilih bahasa Indonesia dengan menekan hurup “I”.
“Silahkan pilih! Gunakan tombol panah lalu tekan enter, untuk menentukan pilihan anda.”. Pada layar mesin, muncul beberapa item seperti “Isi foucer, cek saldo, lihat menu, pemesanan langsung, dan mengerim tex pesanan.”
“oh iya, gue lupa tanya makanan apa yang kakak gue mau. Yaudah gue telepon aja kali yah.” Batin Ferdi. Untung saja, dia membawa telpon genggamnya lalu dia menghubungi Susan Kakaknya.
”Susan speaking. Who is this?”
”Halo, ini kakak? Ini Ferdi kak! Kakak mau makan apa?”
”Emang lo di mana sekarang Fer?”
”Di Wijaya food center kak.”
“Apa…,loe di WFC? Emangnya lo pake kartu siapa?” Kata Susan yang nadanya tiba-tiba menjadi agak panik.
“Yah kartu guelah, emangnya kenapa kak?”
“Enggak…, nanya aja.” Kata Susan yang sepertinya menyembunyikan sesuatu.
“Ya udahlah, di menunya ada apa aja Fer? Tolong baca!” Lanjut Susan.
Ferdi mengaktifkan pilihan “lihat menu”.
Dengan sabar Ferdi membacakan nama-nama makanan yang terpampang di layar mesin itu.
”Yaudah, gue pesan mie goring bakso udang, terus sama spageti. Kalau lo terserah deh, oh yah minumannya orange juice yah!”
”Baik kak.”, telpon pun terputus.
Ferdi mengaktifkan pilihan “Pemesanan langsung”
“Mohon tunggu, oprator kami akan melayani anda. Pastikan mikrofon yang anda gunakan berfungsi secara maksimal.”
“Tes-tes satu, dua, tiga, di coba.” Ferdi mengetes mikrofon yang berada di depannya.
”Wijaya food center selamat sore, bisa kami Bantu?” Jawab sang oprator dari dalam mesin itu.
”Mbak, saya pesan mie goreng bakso udang satu, spageti satu, nasi goreng ayam satu, sama orange jus dua. Semua dibungkus yah!” Kata Ferdi.
”Baik, mohon tunggu sebentar.”
Tapi alangkah terkejutnya Ferdi, ketika dia mendengar suara bip panjang dari mesin itu yang diiringi dengan tulisan peringatan yang bunyinya “Maaf, sisa saldo dalam kartu anda tidak mencukupi untuk melakukkan pemesanan ini. Silahkan pilih menu cek saldo untuk mengetahui sisa saldo anda.” Ferdi langsung mengaktifkan menu cek saldo dan betapa terkejutnya dia, karena saldo yang tersisa tinggal RP 500. “Aneh, kayaknya kemaren masih Rp 50.000 deh, kenapa yah?” Batin Ferdi yang penuh keheranan. Tanpa fikir panjang, Ferdi langsung mencabut kartu itu tanpa mengaktifkan perintah “keluar” sehingga membuat mesin itu mengeluarkan bip panjang tanpa henti. Ferdi tidak menghiraukan bip itu karena saking jengkelnya.
Ferdi berjalan menuju ke counter focer untuk mengisi focer sebesar Rp 50.000.
“Maaf mas, focer yang Rp 50.000, sudah habis terjual. Sekarang yang ada adalah focer yang Rp 100.000.” Jawab penjual focer yang berada tidak jauh dari mesin tersebut.
“Yaudah deh mbak, nggak apa-apa.” Ferdi membuka dompetnya lagi untuk mengambil uang Rp 100.000 dengan muka yang semakin jengkel.
“ Ini mas!” Kata penjual focer itu sambil menyerahkan focer serta uang kembalian sebesar Rp 500.000.
“Kembalinya buat mbak aja. Anggap aja uang tips!”
“Ma-makasih yah mas!” Kata penjual itu sambil mengembangkan senyumnya ke arah Ferdi.
Ferdi pun meninggalkan penjual itu dan kembali menuju mesin pemesanan yang sama.
“Duh, seandainya dia cowok gue, mungkin gue bahagia banget kali yah!” Batin wanita penjual focer itu sambil matanya memandangi Ferdi dari balik meja counter-nya.
“Ganteng amet sech dia!” Lanjut wanita itu yang pandangannya semakin terfokus ke arah Ferdi sehingga, membuat dia tidak menyadari, ada seorang pembeli yang sedari tadi memandangi dia dengan jengkel.
Di mesin yang sama, Ferdi kembali memasukan kartunya. Namun tak ada respon, melainkan suara bib yang tanpa henti.
“Huh…, berengsek banget sech nih mesin! Nggak tau apa kalau gue udah laper banget.” Gerutu Ferdi.
“Ada apa dengan mesinnya mas?” Tanya seorang wanita yang mendengar gerutuan Ferdi. Wanita itu berpenampilan sederhana dan berkacamata hitam. Ferdi pun menoleh ke wajah wanita itu yang berdiri di belakangnya.
“Enggak, mesin ini sekarang tidak mau merespon kartu saya. Padahal saya sudah melakukkan instruksi dengan benar.” Jawab Ferdi sambil memandangi sebuah tonggkat panjang yang tergenggam erat di tangan wanita itu. Tongkat itu mampu memantulkan cahaya yang bisa dilihat orang lain.
“Boleh saya membantu anda?” Tanya wanita itu ke Ferdi.
“Hmmm, silahkan!” Wanita itu maju dan mengutak atik mesin itu.
“Menurut saya…, hal ini terjadi karena ada pembeli yang langsung mencabut kartunya tanpa memberi perintah ‘exit’. Saya sudah mengusulkan kepada atasan saya, untuk memperbaiki system mesin ini agar langsung me-reset ketika kartu tercabut. Semoga secepatnya diusahakan.” Jelas wanita itu panjang lebar.
“Hmmmm…, jadi anda bekerja di sini?” Tanya Ferdi dengan heran.
“Yah…, saya tekhnisi khusus yang menangani sistem pada mesin pemesanan yang ada di lestoran ini.” Kata Wanita itu.
“Hebat yah, orang yang memiliki gangguan visual seperti anda, masih bisa di terima bekerja di sini.” Kata Ferdi dengan kagum.
Wanita itu hanya tersenyum saja. Wanita itu kembali mengotak-atik mesin itu. Dia menekan tombol “F1”. Setelah itu, dia menulis sebuah fungsi perinta yang berisi “rpr=cardin&res=mcn/rdr” lalu dengan yakin, dia menekan enter.
“Sekarang di coba!” Perintah wanita itu sambil mundur menjauhi mesin. Ferdi pun melakukkan hal yang sama. Namun ketika kartu dimasukkan, muncul tulisan “Worning, the system is damage.” Ferdi melaporkan tulisan tersebut kepada wanita tekhnisi itu.
“Padahal sebelumnya mesin ini nggak melaporkan hal seperti ini.” Jelas Ferdi yang mulai jengkel. Tampak wanita itu menampilkan ekspresi yang serius.
“ pake saja ini mas, saya sudah selesai.” Kata seorang Bapak kepada Ferdi yang baru saja menerima pesanan dari laci mesin yang berada tidak jauh dari mesin yang Ferdi gunakan.
“Oh-yah makasih Pak!” Kata Ferdi yang langsung menuju mesin itu tanpa berpamitan kepada tekhnisi itu.
Dia kembali melakukkan hal yang sama, dan akhirnya bisa berjalan dengan mulus sampai ke pilihan “Isi focer.”. Namun bedanya, dia tidak menggunakan screen reader lagi. Setelah memasukkan 16 digit pin rahasia yang berada pada focer pengisian, dia langsung mengaktifkan menu “Mengirim text pesanan.”. Setelah pesanan di tulis, dia mengaktifkan tombol “Kirim pesanan” dan kotak status pun muncul dengan tulisan“sedang menunggu respon.” Beberapa saat kemudian, status berubah menjadi “Menunggu pesanan.” Sambil menunggu, Ferdi memperhatikan sang tekhnisi berusaha memperbaiki mesin itu dengan bantuan seorang asistennya, dan lembaran petunjuk dengan huruf braille ditanggannya.
“Ternyata, cukup riskan yah, melakukkan pencabutan kartu dengan tidak mengikuti prosedur yang sebenarnya.” Jelas asisten itu kepada sang tekhnisi.
“Hmmm yah…, sangat riskan, apa lagi kalau hal tersebut dibiarkan hingga 5-10 menit.” Kata Tekhnisi itu, sambil mengetikkan setumpuk kode perintah kepada mesin itu.
“apa tulisannya?” Tanya sang tekhnisi kepada asistennya.
“access denied, wrong common or system ceriously arror!” Jawab asisten itu yang membuat semakin bingung tekhnisi tersebut.
“Tolong ambilkan laptop saya!” Perintah tekhnisi itu kepada asistennya.
Sang asisten pun langsung melaksanakan perintah itu. Beberapa saat kemudian, asisten itu kembali dengan sebuah laptop dan beberapa perangkat kerja. “kok bisa seserius ini!” Batin sang tekhnisi dengan heran.
Dia menghubungkan kabel konektor antara laptop dan mesin itu. Kemudian, dia mengaktifkan software yang bertugas memperbaiki file system yang berada di mesin itu. Tapi kemudian, screen reader pada laptop tersebut mengatakan, “worning, could not access the objek memory. Please try to reformat the memory.”
“apa-apaan ini?” Tekhnisi itu mulai hilang kesabarannya.
Menjelang kedatangan pesanan Ferdi, Ferdi terbelalak terhadap sosok wanita cantik yang sedang berjalan keluar dari gedung tersebut. Wajahnya hampir mirif dengan Indri. Ferdi mengira bahwa wanita itu adalah Indri sehingga dia memutuskan untuk mengejarnya.
”Hai Indri! Tunggu aku! Kamu mau ke mana? Mau Aku antar in? Kebetulan aku bawa mobil. Indri tunggu, Indri berhenti! Berhenti In!” Kata Ferdi sambil mengejar wanita itu.
“Mas-mas, pesananya udah selesai!” Teriak sang penjaga counter focer yang melihat laci pesanan Ferdi telah terbuka dengan setumpuk makanan dan minuman. Tetapi, Ferdi tidak menghirukannya, dia tetap mengejar Indri.
Wanita itu pun menoleh dan sesaat menghentikan langkahnya.
”Eh sapa loh? Berani-beraninya lo manggil gueh. Lo kurang kerjaan napa. Make mau nganterin gue segala lagi.” Kata wanita itu dengan jutek.
”Indri, kok lo jutek banget sih ama gueh?” Tanya Ferdi setengah tidak percaya.
”Apa kata loh, gue Indri? Kurang ajar lo ganti-ganti nama orang sembarangan. Kapan gue bikin nasi kuning? Eh kalau kagak tahu nama gue jangan belaga sok tahu deh loh, nama gue Viona. Dan cowok macam kayak lo itu nggak level buat gueh. Lo mau tahu, cowok gueh? Rikiiiiiii…. Riiiik, dimana loh? Ada cowok brengsek nih godain gueh.” Viona berteriak-teriak seolah-olah sedang kecopetan.
Lalu, seorang pria yang bertubuh tinggi krempeng berlari menghampiri mereka dan tangannya langsung menggampar pipi Ferdi.
Yah, peria itu adalah Riki yang katanya cowok Viona.
”Hai, brengsek lo yah, make godain cewek orang, lo udah nggak laku apa? Gua hajar loh! Maju sini loh, jurus apa yang lu punya pasti gua punya. Monyet makan kacang, kucing mengeong, apa kuda meringis? Gua lulusan perguruan garuda nyungseb nih! Ayo maju gua tantangin loh.” Kata Ricky sambil petantang-petenteng.
”Bang, maafin saya bang, kali dia itu Indri teman saya bang. Wajahnya hampir mirip soalnya. Udah bang, damai aja sama saya.” Ferdi memberi sebuah tawaran kepada Ricky.
”Kagak, pokoknya ayo, berantem ama gua! Masa didepan yayayng gua, guah harus tahluk ama loh. Gengsi dong. Yang, tenang aja, abang bikin keyok ini orang.” Kata Ricky dengan angkuhnya.
”Sekali lagi, saya cinta perdamaian, sudahlah damai aja bang.” Ferdi masih memberikan penawaran kepada Ricky.
”Kagak, ayo berantem ama gua!” Ricky keras kepala.
Akhirnya dengan terpaksa, Ferdi pun melayaninya.
Ferdi tidak memulainya duluan, tapi dia diserang duluan dengan satu bua tendangan yang mendarat diperutnya namun tidak mengapa untuk Ferdi.
Ferdi pun membalas dengan sebuah pukulan ringan yang dia pukulkan ke Riki.
Tamparan-demi tamparan dari Riki terus mendarat di pipi Ferdi, itu semua membuat pipi Ferdi agak memerah.
Lima belas menit mereka telah bertarung, tapi Ferdi hanya memberikan pukulan dan tendangan ringan ke Riki. Ferdi berkesimpulan, bahwa Riki kurang menguasai tekhnik-tekhnik bertarung dan tujuan Riki hanyalah ingin mendapatkan pujian dari Viona saja.
”Hai, rasakan nih jurus terakhir guah! Yang bernama kucing menendang bola pelastik.” Kata Ricky yang sepertinya ingin mengakhiri pertarungan.
Tendangan itu pun dilakukkan, namun tidak terlalu sakit bagi tubuh ferdi. Ferdi menangkap isyarat dari Riki untuk berpura-pura mengalah. Ferdi pun menjatuhkan dirinya di aspal sambil pura-pura mengerang kesakitan.
”Aduh… Ampun bang, ampun, saya nggak lagi-lagi bang.” Erang Ferdi yang jatuh terlentang di aspal.
”Hai, tenaga lo Cuma segitu? Tuh yang, abang hebatkan? Bisa ngalain dia.” Kata Ricky dengan sombongnya.
” Wah! Abang emang hebat! Abang emang my hiro. Aku makin cinta deh sama abang.” Puji Viona.
Satu ciuman Viona mendarat di pipi Riki.
”Tentu dong, abang selalu melindungi adik jika adik di ganggu oleh cowok-cowok berengsek kayak dia itu. Hai, bangun loh, ikut gua bentar! Tungu yah di sinih dulu yang! Abang ada urusan sama dia.” Kata Ricky sambil menarik-narik tubuh Ferdi.
Ferdi pun bangkit tapi tetap berekting pura-pura kesakitan. Dibawalah Ferdi ke taman air mancur yang terletak di belakang dari lestoran tersebut.
Riki berbisik:”Sebenarnya lo tadi ngapain sama cewek gua?”
”Nggak kok bang, cewek abang mirip dengan teman saya, dikirain itu teman saya bang.”
”oh… Sebenarnya gua udah percaya kok tadi sama loh, tapi tadi gua Cuma ingin ngajakin lo ekting berantem sama Guah agar guah dibilang hebat sama cewek guah. Makasih yah, lo udah mau berekting sama guah.” Kata Ricky yang masih berbisik.
”Sama-sama bang. Tapi jangan terus minta pujian yah dari cewek abang. Itu kurang baik buat abang.” Kata Ferdi menasehati dengan tersenyum.
” Iya, akan guah usahain dan guah akan belajar ilmu bela diri beneran. Untung guah ketemu sama orang kayak loh. Coba kalau ketemu sama yang kagak bisa diajak ekting guah pasti uda mampus kali.” Kata Ricky dengan expresi ucapan terimakasih.
” Ah tidak kok bang, sebenarnya gerakan-gerakan abang udah benar, Cuma kurang diperdalam aja. Abang harus lebih berlatih lagi tentang tenaga dalam.” Kata Ferdi membangkitkan rasa kepercaya dirian Ricky.
”Oh gitu yah. Ngomong-ngomong nama lo siapa?”
”Nama saya Ferdisetiadi bang. Tapi panggil aja saya Ferdi.”
”Guah Riki, lo udah dengerkan pas cewek gua teriak-teriak?”
”iya bang.”
”Udah panggil gua Riki aja. Nggak usah pake abang-abangan. Biar lebih akrab gitu. Udah yah, gua musti nganterin cewek gua shoping lagi. Sampai jumpah lagi yah Ferdi!”
”Yah bang, eh maksud saya Riki.”
” Sekali lagi makasih yah!” Kata Ricky yang sudah jalan menjauhi Ferdi.
”Iya, sama-sama.” Kata Ferdi yang nadanya agak meninggi.
Mereka pun berpisah di tempat tersebut.
“Pengalaman yang menyenangkan.” Batin Ferdi.
Di dalam lestoran, tekhnisi mengganti memori pada mesin itu dengan memori yang baru. Karena, seetelah diberi perintah “format”, memory masih tidak dikenali oleh system. Namun setelah diganti, dan dibuatkan system baru, mesin itu kembali berjalan dengan normal.
“hlo, makanan gue mana?” Batin Ferdi ketika dia telah berada di depan mobilnya. Ketika dia sedang mengingat-ingat kejadian-demi kejadian, tiba-tiba seorang wanita penjaga counter focer yang tadi melayani Ferdi, berlari menuju Ferdi sambil menenteng sesuatu.
“Mas, nih pesanannya, tadi ketinggalan!” Kata Wanita itu sambil nafasnya terengah-engah dan memberikan pesanan itu ke Ferdi.
“Oh-yah, makasi yah!” Kata Ferdi sambil menerima pesanan itu
“Oh-yah, saya sampai lupa,, kartu anda juga ketinggalan!” Wanita itu mengambil kartu berwarna biru itu dari saku seragam kerjanya.
“Ya-ampun…, kok ceroboh banget yah gue!” Kata Ferdi dengan nada menyesal. Wanita itu hanya tersenyum.
“Hmmm…, by the way, tugas anda sudah selesai hari ini?” Tanya Ferdi.
“Memangnya kenapa?”
“Karena anda ke sini sambil membawa tas kerja anda.” Jawab Ferdi.
“Yah…, benar sekali. Jam kerja saya sudah habis hari ini. Sekalian pulang, saya bawa saja pesanan mas. Karena saya yakin, saya akan bertemu mas. Ngomong-ngomong, bagus yah ekting berantem mas!”
“Jadi…, kamu mengawasi saya berantem?” Tanya Ferdi dengan muka merah. Namun wanita itu hanya mengembangkan senyum manisnya melalui bibirnya yang mungil.
“saya jadi malu nih…, Ya sudahlah, tapi sorry, saya kehabisan uang tips buat kamu. Oh yah, kamu tinggal di mana?”
Wanita itu tidak menjawab, tetapi dia memberikan selembar kartu nama yang bermotif bunga-bunga kepada Ferdi.
Ferdi pun membacanya yang salah satunya berisi “Nama: Fika Wardani. Alamat: Jalan Damai Abadi no 15.”
“Kalau gitu, anda bareng mobil saya aja. Itu juga kalau anda mau. Karena saya melewati alamat rumah anda.”
Wanita itu tampak malu-malu. “Oh my god, kesan pertama begitu menggoda.”
“Ta-tapi mas…”
“kenapa? Mobil saya jelek yah?” Kata Ferdi.
“Bukan…, bukan itu! Biarin saya naik bus aja. Saya nggak mau ngerepotin mas.” Wanita itu semakin tertunduk malu.
“Tapikan ini udah malem! Kalau anda kenapa-napa gimana? Soalnya saya nggak tega melihat wanita malam-malam jalan sendirian.” Ferdi menegaskan.
“Waw, perhatian banget sech lo!” Batin wanita itu.
“Hmmm…, nggak apa-apa kok, lagian aku juga udah biasa jalan sendirian. Lagian, ini juga masih sore.”
“Oh…., yaudah, kalau gitu saya duluan yah!” Kata Ferdi yang langsung menuju ruang kemudi dan menyalahkan mesinnya. Wanita itu hanya bengong menyaksikan Ferdi yang sedang memarkirkan mobilnya.
Tapi tiba-tiba, seorang pria mendekati wanita itu, lalu merebut paksa tas yang sedang dipegang wanita itu. Spontan, Wanita itu berteriak “Jambret…! Toloooong…!” Ferdi yang melihat kejadian itu langsung buru-buru mematikan mesin mobilnya lalu mengejar jambret itu. Namun sayangnya, jambret itu berhasil kabur, tapi tas kerja Wanita itu dilempar begitu saja karena mungkin sang jambret panik karena aksinya ketahuan oleh potretan kamera pengintai milik Wijaya Food Center. “Nih tas anda!” Kata Ferdi sambil berlari dengan nafas terengah-engah ke arah wanita itu. Tampak raut wajah wanita itu yang seperti orang ketakutan. “Tuh…, Saya bilang apa, benerkan. Jakarta itu kejam loh! Jadi, anda harus hati-hati. Saya sarankan, anda ikut saya.”
“Tapi, saya belum kenal mas lebih dalam. Ntar kalau saya diculik sama mas gimana?”
“Ya ampun…, cape dech! Yaudah terserah andalah!” Kata Ferdi yang mulai jengkel.
“Iya-iya deh, saya percaya.” Wanita itu pun akhirnya mau ikut dengan Ferdi.
“Wah…, gue kok ngerasa nyaman yah sama dia. Seandainya…” Batin Wanita itu.
Ferdi menyuruh wanita itu duduk di samping kirinya. Akhirnya, Ferdi melajukan mobil itu meninggalkan Wijaya Food center.
“Hmmm…, ngomong-ngomong udah berapa lama anda kerja di WFC?” Tanya Ferdi.
Lagi-lagi, wanita itu hanya tersenyum. “Yaampun…, pertanyaan saya kok hanya dijawab dengan senyuman.” Kata Ferdi penuh heran.
“Saya…, saya, bukan seorang karyawan kok.”
“Maksud anda?” Kata Ferdi. Wanita itu kembali tersenyum.
“Saya…, tadi Cuma bantu-bantu di lestoran om saya doang, buat gantiin karyawannya yang izin cuti.”
“Maksud Anda, anda keponakannya Pak Wijaya Septanto, pemilik lestoran itu?” Kata Ferdi.
“Yaps…, kurang lebih. Tapi ngomong-ngomong, bisa nggak, kalau bicaranya jangan terlalu formal. Saya jadi kurang enak. Soalnya…, saya sendiri masih usia sekolah.”
“Memangnya, usia anda itu berapa tahun?” Ferdi kembali memeriksa kartunama yang diberikan oleh Fika, wanita yang berada di samping kirinya. Di kartu nama itu terpampang tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Fika yang tidak terlalu jauh dengan Ferdi. Fika tiga bulan lebih muda dari Ferdi.
“Tapi, biar gimana pun, saya harus berbicara sesopan mungkin kepada anda. Karena, andakan orang terhormat.” Kata Ferdi.
“Ih…, cape deh, biasa aja kali. Emangnya umur mas berapa tahun?” Tanya Fika.
“sama kayak anda, tapi saya lebih tua tiga bulan. Ah, kayaknya nggak perlu dipanggil mas lagi deh. Panggil aja Ferdi! Biar terlihat lebih akrab gitu loh.” Kata Ferdi.
“Berarti, kita sama-sama terhormatkan! Saya harus memanggil anda dengan sebutan Mas, dan Mas harus memanggil saya dengan sebutan anda.” Kata Fika dengan ekspresi kemenangannya.
“Yaudah, kalau gitu. Aku mengalah deh.” Kata Ferdi dengan nada merendahkan diri.
Tiba-tiba, HP Ferdi berbunyi. Di layar Tertulis:”My Home”.
”Hallo, ini siapa?”
”Fer, lo molor, apa Wijaya center itu ada di bandung sih? Lo ke mana Fer? Kok belom nyampe juga.”
”Bentar kak, 5-10 menit lagi juga gue sampai.”
”Yaudah.”
Susan lalu membanting gagang telepon karena mungkin dia cukup kesal menunggu Ferdi.
Ferdi mempercepat laju mobil itu.
“Mas Fer, Aku takut kecepatan tinggi! Bisa agak pelan sedikit nggak?” Kata Fika memohon.
“Nyantai aja, semoga tidak terjadi apa-apa.” Kata Ferdi yang tidak menghiraukan permohonan Fika. “Hmmm…, ternyata dia sedikit egois.” Batin Fika.
“Mas Fer, kalau gitu aku turun aja deh!” Kata Fika dengan wajah yang pucat sambil menutup matanya. Tiba-tiba, Ferdi ngerem mendadak, sehingga membuat sedikit teriakan tertahan dari Fika. Tampaknya Fika mulai jengkel dengan Ferdi, sehingga dia pun membuka pintu mobil, setelah mobil tersebut benar-benar berhinti.
“Silahkan…!” Kata Ferdi dengan nada mengejek. Tanpa fikir panjang, Fika langsung keluar dari pintu mobil itu dengan perasaan yang benar-benar jengkel. Ternyata, Fika turun dari mobil itu percis di depan gang rumahnya.
Sebagai alat untuk menumpahkan rasa kesalnya, Fika membanting pintu mobil tersebut sekeras yang dia bisa. “Yah.,., tambah rusak deh mobil Kakak gue.” Batin Ferdi.
Ferdi kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah.
Di rumah, Susan telah duduk di teras rumah itu.
Ferdi memasukan mobil itu ke garasi. Setelah itu, dia menemui Kakaknya yang mukanya Terlihat agak cemberut.
Susan melihat pipi Ferdi lalu berkata:”Ngapa pipi lo Fer? Siapa yang ngegamparin lo ampe pipi lo merah begitu.”
”nah itu kak yang bikin saya telat pulang.” Kata Ferdi sambil berjalan menenteng makanan yang dia beli.
Diceritakanlah semua yang baru saja Ferdi alami kepada kakaknya.
”hahahaha… Emang enak, mangkanya kalau ngeliat orang itu harus di tegesin dulu. Baru dipanggil. Duh emangnya Indri itu siapa sih Fer? Dari gue bangunin lo tadi sore, lo sempet nyebut namanya.” Tanya Susan penasaran.
”Sudah kak, makan dulu entar baru deh Ferdi ceritain ke kakak siapa dia.” Jawab Ferdi yang sepertinya belum siap untuk bercerita.
”Yaudah. Yuk kita ke dalem.” Kata Susan sambil berjalan ke ruang makan.
Mereka pun masuk ke dalam rumah dan menuju ruang makan.
Di ruang makan, mereka pun makan dengan serius tanpa terjadinya sebua dialog sedikit pun. Seusai makan, Ferdi mengabulkan janjinya untuk menceritakan semua tentang Indri ke Kakaknya. Setelah Kakaknya mendengar itu semua, dia hanya diam saja.
“Oh yah, Ferdi bingung deh, waktu itu saldo kartu WFC Ferdi masih Rp 50.000. Tapi pas tadi, Ferdi cek buat beli makanan, kok tinggal Rp 500 yah.” Sepontan wajah Susan menjadi pucat.
“Kenapa kak, Ada yang aneh sama cerita saya?” Tanya Ferdi.
“Loe janji nggak marah kalau gue bilang yang sebenarnya?” Kata Susan dengan nada gugup.
“Emang kenapa harus marah, nyantai aja lagi.” Kata Ferdi dengan penuh senyuman.
“Sebenarnya…, sebenarnya…, kartu itu di pake gue sama Toni beberapa waktu yang lalu. Gue nggak sengaja nemuin kartu lo tergeletak dilantai ruang TV. Niatnya gue mau amanin, tapi karena gue buru-buru mau pergi, ya…, gue bawa aja kartu lo. Tetapi, ketika gue sama toni udah sampai di WFC, kartu gue yang jadi ketinggalan. Dan Toni juga belum punya kartu. Yaudah, gue pake aja kartu lo.” Ferdi pun menampakkan kekesalannya.
”Tuhkan marah, yudah deh terserah loh.”
“Jels marah, kakak nggak cepet-cepet gantiin saldonya! Ferdi jadi harus ngisi lagi.” Ferdi langsung menuju ke kamarnya dan mengunci diri.
”Ferdi, emang dengan lo ngambek sama gueh, gue bakalan ngerayu-ngerayu lo dan minta maaf sama loh? Sorry, lo kagak mau makan juga gue bodo amet.” Kata Susan dengan nada agak meninggi.
“Kakak egois!” Teriak Ferdi dari dalam kamar.
Susan juga pergi ke kamarnya dan menyalahkan radio tape sekras-kerasnya.
Anehnya, lagu yang diputar susan adalah lagu ungu yang judulnya demi waktu dan dealova yang dinyanyikan oleh once. Seolah-olah dia mengerti itu adalah lagu kebangsaan Ferdi.
Ferdi kembali mengambil selembar kartu nama yang berada di saku celananya. Ferdi membaca nomor telpon Fika di kartu nama itu.
Dia pun meneleponnya.
“Halo…,” Kata Ferdi ketika teleponnya di jawab.
“Yah, halo, siapa yah?” Kata Fika dengan nada seperti orang sakit kepala.
“Aku…, Ferdi Setiadi. Yang nganterin kamu pulang.”
“Hmmm…, yah, ada apa?” Tiba-tiba Fika menjadi jutek.
“Kamu masih kesal sama aku?”
“Hmmm…., kalau masih kenapa?” Jawab Fika tambah jutek.
“Yah…, aku minta maaf, sebab, tadi aku lagi buru-buru.” Kata Ferdi dengan nada memohon maaf.
“Tapi…, biar gimana pun, aku nggak bisa terima alasanmu. Seharusnya tadi aku nggak usah bareng kamu. Aku nggak bisa naik kendaraan yang kecepatanya lebih dari 80 KM/jam. Sekarang, aku tuh bener-bener pusing… Hiks!” Kata Fika dengan nada seperti orang mau muntah karena saking pusingnya.
“Iya-iya, aku juga bener-bener minta maaf, yaudah gitu aja yah.” Ferdi langsung menutup telponnya. Akhirnya Fika pun muntah dan membasahi celana roknya. Dengan keadaan pusing, Fika pun segera mengganti roknya. Namun apa daya, ketika dia mau bangkit dari tempat tidur, matanya langsung gelap dan tubuhnya menjadi berat untuk digerakkan. Dia pun kembali terbaring terlentang di tempat tidur dengan fkaki terjuntai ke bawah dan langsung pinsan.