Pagi hari selepas Subhuh, Pak kepala Sekolah beserta rombongan pamit kepada Ferdi dan seluruh keluarga besarnya. “Ann…, aku boleh minta sesuatu nggak?” Kata Ferdi di tengah hiruk-pikuk teman-temannya yang sedang berpamitan.
“Apa Fer?”
“Bisa nggak, kamu pulangnya bareng aku? Soalnya…, masih ada sesuatu yang harus kita lakuin di sini. Tenang aja, hari ini aku juga langsung ke jakarta!”
“Hmmmm…, Gimana yah?” Sejenak Anna berfikir. “Ann…, mari kita pulang!” Kata Pak kepala sekolah yang menghampiri mereka berdua.
“Pak…, saya pinjam Anna dulu…, biar dia pulang bersama kami saja!”
“Maaf Fer…, saya sangat bertanggung jawab kepada seluruh orang yang saya ajak ke sini.” Kata Pak kepala sekolah yang tampaknya merasa keberatan.
“Soalnya Pak…, pihak tuan rumah, ingin meminta bantuan Anna untuk acara tunangan Anaknya hari ini Pak. Nanti sore kita juga langsung ke jakarta kok.” Kata Ferdi dengan nada memohon.
“Hmmm…, yasudah, terserah Anna. Bapak nggak bisa melarang.” Kata Pak Kepala Sekolah dengan nada menyerah. Aditia dan Indri ternyata memperhatikan pembicaraan mereka. Sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu.
“Hmmm…, yaudah aku mau! Pak…, tolong bilang Alia, Tania, dan Gustina, agar dia suruh temenin saya di sini!” Kata Anna kepada Pak kepala sekolah. Pak kepala Sekolah pun meng-iyakan permintaan mereka, tapi sayangnya ketiga temennya Anna tidak mau menemani Anna. Karena, siangnya mereka semua ada urusan. Anna mulai bingung sedangkan Ferdi terus mendesak untuk tinggal sementara bersamanya. Akhirnya setelah Ferdi susah payah merayu, Anna pun menerima permintaan Ferdi. Anna meminjam HP Ferdi lalu menelpon kedua orang tuanya dan menjelaskan semuanya. Orang tuanya pun mengizinkannya. Beberapa menit kemudian, seluruh rombongan sudah berada di bus, kecuali Anna, Aditia dan Indri. Ternyata Aditia dan Indri juga ingin pulang belakangan. Dengan alasan, Indri minta ditemenin Aditia untuk berkunjung kerumah neneknya yang tidak jauh dari daerah tersebut. Bus pun berangkat tanpa mereka bertiga.
“Kenapa sih say, kita harus ikut-ikutan mereka?” Kata Aditia yang bingung atas ide Indri.
“PSSST…, gue penasaran aja….” Kata Indri yang berbisik di telinga Aditia. Saat itu, mereka bersembunyi di halaman belakang rumah agar tidak ketahuan. Karena di tempat tersebut sangat sepi, dan seluruh orang berada di halaman depan Rumah.
“Pah…, boleh pinjam mobilnya nggak?” Kata Ferdi kepada Pak Tanto yang asyik menyeruput kopi susunya yang ditemani dengan kueh serabi.
“Emangnya buat apa Fer, inikan masih pagi!” Kata Pak Tanto dengan mulut yang penuh dengan kueh serabi.
“Ferdi, mau jalan-jalan Pah sama Anna, sekalian liat pemandangan kota Bandung.”.
“Hmmm…, Papah sih boleh-boleh aja, asalkan kamu hati-hati bawanya. Soalnya, kamu bawa Anna!” Kata Pak Tanto dengan nada khawatir.
“Sip Pah, doain aja agar semuanya lancar sesuai rencana.”
Pak Tanto pun memberikan konci mobilnya ke Ferdi.
Ferdi langsung menemui Anna yang sedang asyik berbicara dengan Susan dan Rina. Tampaknya Anna cepat akrab dengan Rina. Ferdi pun mengajak Anna pergi jalan-jalan. Untungnya Anna langsung menurut saja jadi tidak terlalu banyak berbicara.
Indri dan Aditia terus mengawasi mereka dari jarak jauh.
“Kayaknya mereka akan pergi.” Kata Indri.
“Terus apa urusannya sama kita?” Jawab Aditia yang bener-bener nggak mengerti.
“Kita ikutin dialah!” Kata Indri dengan nada berbisik.
“Pake apa Say, pake apa…? Kamu kok nggak mikir banget sih. Aku tuh nggak bawa motor, bagai mana caranya? Yaudahlah kita pulang aja ke jakarta!” Kata Aditia yang sudah sewot dengan Indri. Kali ini Indri juga ikutan bingung. Waktu itu, Ferdi dan Anna sedang berjalan menuju mobil yang akan mereka gunakan untuk pergi. Tampak Ferdi membuka konci pintu mobil itu. Mobil tersebut di parkirkan di atas lapangan bola yang tidak jauh dari rumah Rina.
“Yaampun Fer, dompetku ketinggalan!” Kata Anna yang tiba-tiba panik ketika dia memeriksa saku celananya. “Yaudah ambil aja dulu!” Kata Ferdi yang ikut merabah saku celananya. Ternyata, Hp Ferdi pun ketinggalan, sehingga mereka pun mengambil barang mereka bersama-sama tanpa mengunci pintu mobil tersebut.
“yuk cepat!” Indri menarik tangan Aditia menuju mobil. Mereka langsung masuk ke mobil itu dan bersembunyi di bagian jok belakang mobil.
“Ini beresiko In, bisa-bisa kita ketahuan!”
“Yaudahlah, toh kalau ketahuan juga nggak terlalu beresiko banget. OK, pokoknya percaya deh sama aku!” Kata Indri yang nadanya menjadi romantis kepada Aditia.
Ferdi dan Anna pun kembali ke mobil itu. “Fer…, aku dibelakang yah!” Kata Anna ketika mereka telah sampai di pintu mobil. Jantung Aditia pun berdeguk kencang ketika mendengar kata-kata itu.
“Sayang…, kalau kamu di belakang, nanti aku di depan sama siapa? Sedangkan di depan masih ada bangku kosong. Aku nggak mau ditemenin sama hantu bangku kosong! Hiiii…, serem!” Kata Ferdi dengan penuh makna kiasan. Anna hanya tersenyum mendengar semua itu. Dia pun menuruti kemauan Ferdi.
Beberapa saat kemudian, mobil pun melaju menelusuri indahnya pemandangan kota bandung. AC pun di matikan, dan digantikan dengan jendela mobil yang dibuka agar mereka bisa menikmati secara langsung sejuknya udara kota Bandung di pagi hari. Namun sayangnya, hal tersebut kurang menguntungkan bagi Aditia mau pun Indri. Pasalnya, mustahil mereka juga ikut-ikutan buka jendela sehingga mereka akan menerima reseko kepanasan di balik jok mobil.
Satu jam sudah mereka berjalan, tapi mereka masih menelusuri perkebunan yang ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan hijau.
“Ternyata pemandangannya masih Indah yah Fer, nggak kayak Jakarta yang sebagian besar lahannya telah berubah fungsi.” Kata Anna yang mengagumi pemandangan di sekitarnya.
“Gila In, gue udah gerah abis nih!” Kata Aditia sambil berbisik.
“emangnya gue kagak gerah apa? Gue juga nggak nyangka kalau bisa sampai begini!” Kata Indri yang kata-katanya agak keras. Memang, keringat mereka pun terus bercucuran karena AC yang tidak dinyalahkan.
Mobil mulai memasuki jalan rusak dan berbatu, sehingga sedikit menimbulkan guncangan. Tiba-tiba, kepala Indri dan Aditia teradu.
“Duk, auch!” Teriak Indri tertahan. Spontan, kepala mereka tersembul dari balik jok, sehingga kepala mereka terlihat Anna yang kebetulan saja melihat ke arah belakang mobil.
“In, sepertinya kita udah ketahuan deh.” Kata Aditia menyerah.
“Ssst, Cuma Ana yang ngeliat, gue harap dia bisa diajak kerja sama.” Kata Indri yang masih berbisik. “Ternyata, mereka nggak pulang! Kenapa yah, mereka ngebuntutin gue dan Ferdi? Ah, semoga tujuan mereka nggak macem-macem.” Batin Anna.
“Hmmmm, Fer, boleh nyalain AC-nya nggak, kayaknya matahari udah mulai terik deh.” Kata Anna dengan nada memohon.
“Buat apa Ann, toh bentar lagi juga kita mampir dulu di situ.” Kata Ferdi yang menunjuk sebuah danau yang cukup Indah. Beberapa saat kemudian, mobil pun berhenti di lokasih tersebut. Baik Anna mau pun Ferdi, turun dari mobil. Sedangkan Indri dan Aditia tambah kegerahan karena mobil benar-benar tertutup rapat. Anna, yang sudah mengetahui kehadiran mereka, sengaja membawah Ferdi menjauhi mobil agar mereka bisa keluar dengan nyaman. “Benerkan apa yang gue bilang, Anna bisa kerja sama dengan kita!” Kata Indri yang nadanya mulai normal karena Ferdi dan Anna bener-bener jauh dari mobil. Akhirnya, Indri dan Aditia bisa keluar dengan leluasa, setelah mereka hampir mati kegerahan. Sambil pandangannya terus fokus ke Anna dan Ferdi, Indri merobik lembar tengah dari buku kosongnya, lalu menulis sebuah pesan. Setelah selesai menulis, kertas itu dibentuk seperti kapal-kapalan. Aditia dan Indri pun mengendap-endap mendekati mereka secara perlahan. Indri dan Aditia pun berhasil sembunyi di balik pohon rindang, tidak jauh dari Anna dan Ferdi.
“Buat apa kapal itu In?” Kata Aditia dengan nada berbisik.
“Gue mau terbangin kapal ini ke Anna!” Balas Indri.
“Biar gue aja yang nerbangin! Biar gini-gini, guekan penerbang sejati.” Kata Aditia yang naluri keisengannya mulai terpompa. Indri pun setuju dengan tawaran Aditia.
“Ann…,”
“Hmmmm?”
“kamu ngerti nggak, kenapa kamu ku ajak ke sini?”
“Hmmmm…” Kata Anna. Mereka pun duduk bersebelahan dengan posisi cukup dekat. Ferdi memandangi Anna dengan pandangan penuh arti.
“Aku sadar…, kalau aku bener-bener menyintamu.”
“Hmmmm….,” Kata Anna.
“Aku merasa bersyukur, karna aku bisa mendapatkan kamu.”. Tiba-tiba, sesuatu menabrak kepala Anna dan jatuh tepat di pangkuannya.
“Aku ingin, semua mahluk yang ada di tempat ini tau, bahwa aku sayang kamu sepenuhnya dan tak ada wanita lain yang mampu menggantikan kamu!”
“Hmmmm…” Kata Anna sambil membuka lipatan kapal-kapalan kertas itu.
“Anna…, kamu tuh ngedengerin aku nggak sih? Kok dari tadi ham-hem-ham-hem aja.” Kata Ferdi dengan nada sebel.
“Iya-iya say, aku ngedengerin kamu kok.” Kata Anna yang langsung membuang lipatan kertas itu jauh-jauh tanpa sepengetahuan Ferdi.
“Aku percaya kok sama kamu, karena aku memang dari dulu udah sayang sama kamu!” Kata Anna dengan nada penuh romantis.
“Hmmm…, aku boleh minta sesuatu nggak?” Lanjut Anna masih dengan nada romantisnya.
“Apa itu?”
“Yah…, seperti di sinetron-sinetron. Kamu mau ngak, nyium aku?” Kata Anna dengan nada malu-malu. Ferdi sempat bingung sejenak, namun otaknya langsung merasionalkan masalah tersebut.
“Tapi…, kamu harus merem nyiumnya…, soalnya aku malu banget!” Kata Anna dengan nada manja.
“Yaudah, kalau gitu nggak usah ciuman!” Kata Ferdi yang nadanya agak jengkel.
“Yah nggak bisa begitu dong say, akukan belum pernah ngerasain dicium sama cowok, jadi wajar dong kalau aku masih malu-malu.” Kata Anna dengan manja.
“Oh…, yaudah kalau gitu.” Kata Ferdi setengah ragu-ragu.
“Makasih yah Fer…!” Kata Anna dengan nada gembira.
Adegan pun mulai berjalan, Ferdi mulai memejamkan matanya rapat-rapat sedangkan Anna sudah berada di hadapannya. Bibir Ferdi mulai maju mencari-cari kening Anna yang akan dikecupnya. Namun sepertinya takdir berkehendak lain buat Ferdi. Sosok Anna telah berganti menjadi Aditia yang sudah siap menerima ciuman dari Ferdi. Tapi sayangnya, Ferdi tidak menyadari itu. Dia tetap berfikir, sosok yang berada di depannya saat itu adalah Anna, wanita yang saat itu telah berhasil mendapat tempat sepenuhnya di hatinya. Akhirnya, bibir Ferdi pun berhasil menyentuh kening yang dia kira adalah Anna. Lalu, dia pun segera mengecupnya. Tapi, ada hal janggal ketika dia mengecupnya. Bibir Ferdi terasa asin dan agak kotor. Spontan dia langsung reflek membuka matanya dan terlihatlah Aditia dan Indri yang tertawa terbahak-bahak. “Apa-apaan ini? Maksudnya apa?” Kata Ferdi sambil meludah ketanah karena bibirnya ternyata penuh dengan garem yang dia yakini berasal dari garem yang diolesi di kening Aditia. Waktu itu, Ferdi benar-benar jengkel sekali. Hampir saja dia pergi dari lokasih tersebut, namun langsung di tahan oleh Aditia. “Fer-Fer, tenang Fer! Semua ini tuh ide gilanya Indri, karena lo masih punya utang sama dia.” Kata Aditia dengan nada menenangkan.
“Utang apa Dit?” Kata Ferdi dengan nada kebingungan.
“Loe belum ngasih gue PJJ ! Lo udah jadian sama annakan? Ayo ngaku!” Kata Indri yang langsung angkat bicara.
“Kapan…, gue bilang mau ngasih PJJ ke lo? Seinget gue nih, gue belum pernah bilang apa-apa ke lo.” Kata Ferdi dengan nada agak tenang.
“Gue udah tau kalau lo udah jadian sama Anna. Ya otomatis…, tanpa gue bilang pun, lo harus ngasih PJJ sama gue!” Kata Indri yang kurang pertimbangan.
“Oke-oke, kalau gitu, semalem…, Bondan juga udah cerita ke gue, kalau lo dan Aditia udah jadian beberapa hari yang lalu. Jadi, gue juga berhak dong minta PJJ dari lo berdua!” Kata Ferdi membalas. Muka Indri menjadi sedikit pucat karena kebingungan.
“Hlo, nggak sah dong, loekan baru tau dari si Bondan biang gosip yang kebenarannya diragukan sama sekalih.” Kata Indri membalas perdebatan.
“Gue itu udah kenal lama sama dia. Dia itu personil band gue. Dia itu paling takut ngeboong sama gue. Mana mungkin itu semua gosip, sedangkan dia itu sampai sumpah-sumpah sama gue semalam!” Kata Ferdi yang sepertinya tidak mau mengalah.
“Yaudah Fer, kita mengalah aja! Paling berapah sih traktir PJJ.” Kata Anna menengahkan.
“Bukan gitu say, saat ini aku itu sedang menegakkan peradilan! Aku bisa aja traktir PJJ mereka, paling berapa sih? Tapi kebenaran ini harus terungkap dulu.” Kata Ferdi yang menolak solusi Anna.
“Menurut gue, cewek lo ada benernya juga. Sebaiknya kalian mengalah aja! Lagi pula, semalem Bondan itu mabok, mana mungkin orang mabok itu bisa berkata sebenarnya!” Kata Indri dengan nada kemenangan.
“Nanti dulu, gue akuin semalam Bondan emang mabok. Tapi…, sebelum dia mabok itu, dia udah nyeritain semuanya tentang kalian ke gue.” Kata Ferdi dengan penuh kemenangan.
“Yaudah say, ngaku aja, toh, kita emang udah jadian kan!” Kata Aditia yang juga ikut menengahkan perdebatan itu.
Solusi itu pun juga ditolak oleh Indri. Dia lebih memilih berdebat dibandingkan mencari jalan damai. Akhirnya perdebatan pun berlangsung semakin seru.
“Eh-eh-eh…, ada apa ini, ada apa ini?” Teriak Robi yang baru datang dan langsung melihat perdebatan itu.
“Gini Rob, cewek ini, minta PJJ sama gue. Sedangkan dia, belum mau mengakui kalau dia udah jadian sama cowok itu tuh!” Kata Ferdi yang semangatnya menjadi berapi-api sambil menunjuk Aditia dan Indri.
“Oke-oke, gue ngaku, gue emang udah jadian sama Aditia. Tapikan…?”
“Stop!” Potong Robi. “Jangan dilanjutkan! Gue sebagai orang ketiga yang hadir di acara perdebatan kalian, merasa benar-benar bersyukur, karena gue mendapatkan dua informasih sekali gus dari kalian. Jadi, sebagai hakim agung memeutuskan, kalian semua harus memberikan PJJ-nya ke gue! Nggak berat…, Cuma dua loyang Fitza hut. Satu dari loe, dan satu lagi dari lo!” Kata Robi yang menunjuk Ferdi dan Indri dengan perasaan sangat gembira.
“Rob-rob, lo gila aja! Harga fitza itu sekarang berapa!” Kata Ferdi yang mengexpresikan rasa ketidak sanggupannya.
“Hlo, loekan tajir Fer, seharusnya harga segitu nggak masalah buat lo.” Kata Robi yang menolak rasa ketidak sanggupan Ferdi.
“Eh, OK, lo mikir dong Rob! Gue emang sanggup beliin loe, tapi mereka? Mereka gimana Rob? Kitakan nggak tau kondisi ekonomi mereka.” Kata Ferdi dengan nada simpatik.
“Kurang ajar lo Fer, sembarangan kalau ngomong! Siapa bilang gue nggak bisa beliin dia? Gue bisa aja, tinggal gesek ATM dan keluar deh uang nyokap gue. Tapi, jangan pernah harap gue mau ngebeliin lo fitza, bakwan satu pun gue nggak sudi!” Kata Indri dengan muka kesal sambil berlari meninggalkan mereka semua. Aditia pun mengejar Indri.
“Sayang…, kamu nggak boleh gitu! Ferdi Cuma ngebelain kita, agar kita nggak terlalu mengeluarkan banyak uang.” Kata Aditia yang berhasil memeluk Indri di dekat saung di danau itu.
“Tapi Dit, gue merasa terhina atas perkataan Ferdi! Mentang-mentang dia tajir, seenaknya aja dia ngomong begitu.” Kata Indri sambil menangis di pelukkan Aditia. “Iya…, aku ngerti perasaan kamu. Lupain aja masalah itu! Gue yakin, Ferdi nggak sengaja ngomong kayak gitu.” Kata Aditia yang terus berusaha menenangkan Indri dengan mengecup keningnya. “Gue nyesel, kenapa gue bisa kalah berdebat sama dia.” Kata Indri dengan perasaan menyesal.
“Indri, maafin gue yah, gara-gara gue lo jadi tersinggung. Sekarang terserah loe, mau maafin atau nggak.” Kata Ferdi yang baru datang ke tempat itu diikuti Anna dan Robi.
“Gue juga minta maaf In, gue nggak terlalu serius kok minta PJJ seperti itu. Gue Cuma menengahkan perdebatan kalian doang. Maafin gue yah!” Kata Robi sambil menjabat tangan Indri.
“Tuh yang, mereka udah minta maaf sama kamu. Sekarang tinggal kamu, mau maafin atau nggak.” Kata Aditia dengan nada menasehati.
“Nggak!” Kata Indri dengan nada marah, “Gue nggak mau maafin kalian, sebelum kalian traktir gue.” Kata Indri yang membuat semua orang yang hadir di situ menjadi terkejut sesaat.
“Hlo…” Kata Ferdi yang tidak melanjutkan kata-katanya. “Udah-udah say, kamu kok pelit amet sih!” Kata Anna memotong. “Bukan Gi…” Lagi-lagi Ferdi tertahan. “Yaudah, yang penting dia mau maafin kita. Gue bantuin lo kok!” Potong Robi.
“Ya… Kalau maunya lo gitu. Kami setuju!” Kata Ferdi.
“Satu lagi, semuanya gue yang nentuin tempatnya!” Kata Indri jutek.
“yah…, di mana?” Kata Robi.
“Di warung Syomai Lezat Mang Asep.” Kata Indri dengan nada berapi-api.
“Yaampun Say, kamu kok ada-ada aja sih! Aku tuh nggak enak tau!” Kata Aditia yang menolak persetujuan itu.
“Biarin, mereka mau aku maafin apa nggak.” Kata Indri yang sepertinya keras kepala.
“Tapi itu namanya sama aja nggak ikhlas say.” Kata Aditia yang mencoba memberikan sebuah pengertian.
“Biarin aja Dit, terkadang cewek itu susah untuk dimengerti. Lagian, kami nggak keberatan kok kalau Cuma ke situ.” Kata Ferdi.
“Yaudalah, terserah.” Kata Aditia yang bener-bener pusing menghadapi sikap Indri.
Akhirnya mereka pun sepakat pergi ke warung itu. Tidak lupa, Robi pun mengajak pasangannya untuk bergabung di acara tersebut. Walau pasangannya seorang tunanetra, Robi sama sekali nggak merasa malu menghadirkan dia di depan teman-teman barunya yaitu Anna, Indri, dan Aditia, mau pun ke Ferdi sepupunya sendiri. Karena, walau pun dia tunanetra, kecantikkannya tidak terlalu mengalahkan cewek-cewek pada umumnya. Dia mampuh merawat penampilannya, karena dia yakin, dia masih sangat berguna di tengah-tengah masyarakat.
Adegan romantis di warung itu pun terjadi. Dimana, masing-masing pasangan saling suap-suapan tanpa terkecuali pasangannya Robi. Untuk menjaga kesetaraan, mata Robi pun ikut di tutup. Sehingga dia harus dengan susah payah menyuapi Melani (pasangannya), sehingga muka Melani menjadi belepotan terkena bumbu kacang syomainya. Akhirnya, mau nggak mau, Adegan Robi beserta pasangannya menjadi adegan hiburan bagi pasangan Ferdi dan Aditia. Mereka harus meminta maaf kepada pasanganya Robi karena harus mentertawakan adegan tersebut saking tidak tahannya mereka untuk tertawa.
“Nggak apa-apa kok, kami juga ikut senang, karena kami bisa menghadirkan media hiburan kepada kalian. Bukan gitu yang…?” Kata Robi yang sama sekali tidak memperdulikan peristiwa itu. Melani hanya tersenyum, ketika Robi berkata seperti itu.