“HAH?? Ya ampun…,” keluh Yudith begitu mendapati namanya dalam daftar panjang barisan nama-nama yang masuk kelas XI-IPA. Lebih kaget lagi ketika dia tahu namanya berada di baris terakhir di kolom XI-IPA 1. Dia masuk sarang macan! Dia kenal semua nama anak-anak pandai itu! Semua anak yang ikut olimpiade sains berkumpul jadi satu dalam kelasnya! Oh, tidak, dia akan jadi bulan-bulanan kepandaian mereka!
Gawat lagi! Yang dia tahu hanyalah bahwa kelasnya ada di tingkat atas, tak tahu persis yang mana. Dengan lunglai, ia tertatih-tatih menaiki tangga. Tampaknya mengetahui bahwa ia masuk kelas anak pandai telah menguras energi dan semangatnya. Setelah sampai di atas, ia tak tahu bagaimana kelanjutan perjalanannya mencari kelas. Tengok ke kiri, tengok ke kanan, tengok ke belakang; dilihatnya dua anak sedang duduk di depan kelas mereka yang sialnya jauh dari tempatnya berdiri.
Hei, sepi nian, di mana semua orang?
Yudith mendapat jawabannya saat melewati kelas-kelas lain. Anak-anak di dalamnya duduk manis memerhatikan ”patung hidup berceramah” (baca: guru atau wali kelas).
”Waduh, aku telat!!!” ujar Yudith panik. Ia lalu berlari menghampiri dua anak tadi. ”Hosh…, hosh…. Kelas IX-IPA 1 di mana, ya?” tanyanya ngos-ngosan.
Salah satu anak itu menunjuk ke kelas tepat di sebelah tangga yang diinjak-injak Yudith tadi. ”Itu tuh, di situ.”
Ternyata yang kucari begitu dekat. Oh my gosh….
”Thanks!” sahut Yudith sambil berlari lagi menjemput nasibnya dalam kelas yang pintunya tertutup itu. Bu Mien, guru PKn yang ternyata wali kelasnya sekarang, sedang berbicara di depan kelas.
”Gile, mungil banget nih kelas! Penghuninya nggak asyik, lagi!” Jangan harap ia akan jatuh cinta pada kelas itu pada pandangan pertama, yang ada dia malah eneg setengah muntah.
***
BRAAAKK!!! Ayah Yudith menggebrak meja makan keras-keras. Untung tidak ada makanan yang melompat karena kaget.
”Apa-apaan kamu ini? Sudah bagus masuk kelas unggulan malah minta pindah ke kelas bahasa. Apa isi otakmu, hah?? Pokoknya kamu harus tetep di IPA!!” bentak ayahnya.
”Udah, Yah, sabar dong,” kata ibu sambil memegang tangan ayah yang rawan melayang.
”Nggak mau, yang pengen aku masuk IPA tuh ayah, bukan aku!!!”
BRAAAK!! Kali ini Yudith yang menggebrak meja, melemparkan sendok dan garpunya lalu meninggalkan meja makan.
”Kalau kalian semua tetep maksa, lebih baik aku keluar aja dari rumah ini!” teriaknya sambil berjalan menuju kamar. Mendengar ancaman itu, ayahnya terduduk lesu. ”Huh, anak itu paling cuma menggertak saja. Tapi jangan harap aku akan mengizinkannya pindah jurusan,” ujarnya.
”Ayah ini gimana, sih? Keterlaluan banget!” seru ibunya marah, tapi matanya berkaca-kaca. Beliau lalu berlari ke kamar Yudith, takut ancaman itu benar-benar dilakukannya.
***
Di dalam kamarnya, Yudith benar-benar mengemasi pakaian dan barang-barangnya, termasuk gitar kesayangannya. Siapa tahu dia bisa ngamen kalau uangnya habis, sementara tulisannya juga tidak diterima media cetak. Ia juga tak lupa membawa sepuluh lembar uang lima puluh ribuan hasilnya menabung selama satu tahun ini.
”Brak, brak, brak!!” pintu kamarnya digedor-gedor ibu. Adiknya turut meramaikan kegemparan itu dengan menangis sambil menjerit-jerit.
”Dit, buka pintunya! Jangan pergi beneran, Dit,” mohon ibunya dengan suara seperti pohon bambu yang tertiup angin: krieeeet, krieeeet. Mau tak mau Yudith membuka kamarnya. Ia tak mau ibunya sedih, tapi ia harus pergi dan membuktikan bahwa ia bisa meraih cita-citanya menjadi penulis tanpa ayahnya.
”Maaf, Bu. Maaf juga, Bit, tapi aku harus pergi. Aku mau mencapai cita-citaku, dan untuk itu aku tak perlu masuk jurusan IPA yang tak kusukai,” kata Yudith, memperderas air mata ibu dan adiknya.
”Tapi jangan tinggalin kami, Dit, ibu kuatir kamu kenapa-kenapa di luar sana. Jangan pergi, Dit…. Ibu akan membujuk ayahmu,” ujar ibunya.
Yudith memeluk ibu dan adiknya. ”Maaf, tapi aku harus pergi,” ujarnya. Air mata mengalir di sudut matanya. Menitikkkan sedikit ragu di hatinya. Apakah ini hanya emosi sesaat yang nantinya akan membuatnya menyesal? Tapi tidak, sanggahnya dalam hati. Aku pasti bisa!
”Yudith pasti baik-baik saja, Bu. Yudith akan kembali setelah sukses nanti. Ibu tenang saja, aku bisa jaga diri.” Yudith masuk lagi ke kamar, dan beberapa saat kemudian keluar lagi dengan koper, tas sekolah, dan gitar memenuhi kedua tangannya. Setelah berpamitan dan mencium tangan ibunya, ia keluar dari rumah itu, menuju dunianya yang mungkin penuh bahaya, tanpa orang tua dan juga ayahnya yang egois, tapi juga penuh harapan. Namun ia sudah bahagia, meskipun seandainya nanti yang dimilikinya tinggal harapan itu. Setidaknya harapan bisa mengerti impian dan cita-citanya, daripada memiliki ayah yang tidak peduli keinginannya. Dihirupnya udara malam, dan entah kenapa udara terasa lebih segar daripada biasanya.
Dari dalam rumah yang menjulang di belakangnya terdengar jeritan ibunya dan tangisan adiknya. Tapi, tak ada kegemparan yang terjadi pada ayahnya. Apakah tak ada rasa kehilangan? Ayahnya masih duduk di meja makan dan menundukkan wajahnya. Beliau menerawang.. ”Dulu ayah juga punya impian besar sepertimu,” gumamnya.
***
Anak kecil berumur sekitar delapan tahun itu mondar-mandir di koridor sebuah SMA. Seorang guru keluar dari sebuah ruangan di koridor itu—sepertinya ruang guru, lalu menghampiri anak kecil itu.
”Dik,” sapanya sambil menyentuh pundak anak itu, ”mau mencari siapa?”
Anak itu mendongak, wajahnya tampak kaget. ”Nggg…, mau cari Mas Yudith…,” jawabnya takut-takut.
”Mas Yudith? Kakakmu?” tanya guru itu.
Si anak mengangguk.
”Tunggu sebentar ya, Ibu panggilkan.” Digandengnya anak itu ke bangku panjang di depan ruang guru.
”Jangan ke mana-mana, ya, tunggu di sini,” pesannya sebelum masuk lagi ke ruang guru, dan keluar kembali sedetik kemudian, menuju koridor di sebelah kanan ruang guru. Anak itu duduk diam di bangku.
”Obit??? Kamu ngapain di sini?” teriak anak laki-laki yang sedang berlari dari koridor di sebelah kanan ruang guru. Dihampirinya anak kecil itu, dan dipeluknya.
”Hiks…, Mas Yudith…,” ratap anak itu.
”Ngapain kamu ke sini, Bit? Sendirian, lagi…,” ujar Yudith sambil mengusap air mata adiknya.
”Obit mau sama Mas aja, nggak enak di rumah nggak ada Mas,” jawab Obit sambil meletakkan kepalanya di dada kakaknya.
Tiba-tiba air mengaliri pipi Yudith, jatuh dari sudut matanya. Pikirannya terbang jauh bersama sayap-sayap robeknya, melayang di atas ketidakadilan ayahnya dan hinggap di ranting pohon mangga di halaman rumahnya. Ya, ia rindu rumah, ibunya, dan bahkan ayahnya juga. Sudah hampir setahun dia hidup sendiri, tinggal di kos-kosan dan makan dari uang hasilnya menulis cerpen di majalah-majalah. Sehari setelah keminggatannya dari rumah, ia langsung menemui wakil kepala sekolah bagian kesiswaan untuk mengajukan permintaan pindah jurusan ke bahasa. Orang tuanya jelas tidak tahu hal itu, dan Yudith pun tak peduli seandainya mereka tahu. Ia menarik kembali kerinduannya, ia ingat janjinya. Aku tak akan pulang sebelum sukses, dan membuktikan bahwa aku bisa tanpa ayah! tekadnya. Pikirannya terbang kembali ke saat itu, kepada adiknya yang tiba-tiba mendatanginya di sekolah.
”Gimana kamu bisa sampai sini, Bit? Ibu nggak tau kalau kamu ke sini?” tanyanya.
Obit menggelengkan kepala. ”Tadi Obit minta diantar guru Obit yang rumahnya dekat sekolah Mas.”
”Ya ampun, Bit…. Kalo kamu nyasar gimana coba?”
”Tapi kan Obit nggak nyasar…,” jawabnya polos.
Air mata mengalir semakin deras menyusuri pipi, hidung, dan dagu Yudith, lalu jatuh di pangkuannya. Air mata yang telah ada di ujung matanya selama hampir setahun ini, dan baru diizinkannya menetes sekarang, untuk adiknya yang begitu ia sayangi.
”Mas sayang banget sama kamu, Bit. Mas pengen banget tinggal di sini sama Obit, tapi lebih baik kamu pulang, ibu pasti kuatir…. Mas antar, ya,” ujar Yudith lirih. Ia berdiri, diraihnya tangan adiknya dan mereka berjalan bersama meninggalkan sekolah itu. Obit cuma bisa menangis.
***
Sraakk…. Sraakk….
Ayah Yudith membolak-balik koran yang menutupi wajahnya, lalu menghirup kopi di atas meja di sampingnya. Beliau memuntahkan kembali cairan hitam itu saat matanya menangkap tulisan ”Oleh Yudith Hizkia, Penulis tetap” pada bagian akhir artikel tentang IPTEK yang baru dibacanya itu. Diusapnya mulutnya, lalu memanggil istrinya.
”Bu, lihat ini,” katanya pada istrinya.
”Ada apa. Yah?” jawab ibu sambil menghampiri ayah. Ayah menggarisi kata-kata ”Oleh Yudith Hizkia, Penulis tetap” tadi dengan jarinya. Ibu hanya mampu berdiri mematung dan meneteslah air matanya. Ayah lalu berdiri memeluk ibu, dan sungguh aneh: bola matanya berkaca-kaca!
Seminggu setelah Yudith pergi dari rumah, orang tuanya pergi ke kota tempat sekolah Yudith yang kira-kira jaraknya 14 km dari rumah. Mereka sudah mencari tahu di mana anak itu tinggal: di sebuah kos-kosan dekat sekolah. Tapi Yudith tak pernah mau bertemu mereka.
”Aku akan pulang dan bertemu Ayah dan Ibu setelah aku sukses!!” teriaknya dari balik pintu kamar kosnya waktu itu.
Ibu masih ingat benar kata-kata anaknya itu, dan sekali lagi hatinya tertusuk oleh sebuah penyesalan yang amat dalam. Mungkin suaminya juga sama sakitnya dengannya, tapi tak pernah tampak gurat kesedihan di wajahnya. Apa dia tak merasa kehilangan? Apa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia begitu keras? pikir ibu di setiap hela nafasnya, tak satu pun jawaban atas pertanyaan itu terlintas di benaknya.
***
GUBRAAKK!!!
”Aduh!!” seru ibu sambil memijit-mijit kakinya yang tertimpa dus berisi buku-buku nan berat itu. Sudah tiga jam ibu bergulat dengan milyaran debu yang puluhan kecoak yang berkeliaran di gudang, sudah berpuluh dus berisi buku dibongkarnya. Untung, ini adalah dus terakhir yang harus dibereskannya. Buku-buku itu nantinya akan dikilokan, lumayan bisa menghasilkan uang, daripada menyesaki gudang seperti ini. Baru ibu sadari, betapa cinta dirinya akan buku, sehingga sampai buku-buku adiknya waktu kuliah dulu pun masih ada di gudang itu. Dikeluarkannya buku-buku pelajaran Yudith dari kelas 3 sampai 6 SD dari dus itu.
”Yudith…. ibu rindu padamu…,” beliau ingat kembali pada anak sulungnya itu. Diamatinya buku itu satu persatu, tapi percuma saja, buku-buku itu tak akan bisa dipakai Obit karena hampir tiap tahun buku-buku pelajaran diganti. Begitu juga dengan kurikulumnya: GBPP 1994, KBK, sampai KTSP seperti sekarang. Tetap saja masih banyak anak Indonesia yang berpendidikan hanya setengah-setengah atau bahkan tidak sama sekali.
Ketika membuka-buka buku adiknya ia menemukan setumpuk kertas berjilid yang sudah menguning dan berisikan semacam karya ilmiah.
***
”Yudith!!! Ada yang nyariin kamu, nih!” panggil Ezra, teman sebelah kamar Yudith.
”Ah, paling bapakku! Bilang aja aku nggak ada, deh,” gelombang suara Yudith melesat dari dalam kamarnya ke ruang tamu kos-kosan itu, di mana Ezra sedang membawakan segelas air putih untuk sang tamu.
”Heh, ngawur! Ini ibumu, Dit!” teriak Ezra yang kemudian dijawab dengan gema jejak-jejak kaki Yudith yang berlari memeluk ibunya. Ezra cuma bisa geleng-geleng, lalu meninggalkan ibu dan anak itu untuk kangen-kangenan.
”Yudith, ibu mengkhawatirkanmu…,” ujar ibu dengan mata basah.
”Yudith juga, Bu! Kenapa Ibu tiba-tiba ke sini?” tanya Yudith, kedua matanya memandang ibunya dengan sorot mata sayang yang penuh kehangatan air mata.
”Ibu sudah tahu kenapa ayahmu begitu ngotot memaksamu masuk jurusan IPA dan tak merestui cita-citamu.” Ibu mengeluarkan setumpuk kertas berjilid yang sudah menguning dan apak, lalu menyodorkannya pada anaknya.
”Apa ini, Bu? ’Solarplexus: Hati Manusia?’” Matanya beralih dari judul itu, lalu melesat dari baris demi baris sampai halaman demi halaman. Sekitar enam puluh menit kemudian tumpukan kertas itu sudah habis dilahapnya.
”Bu, apakah ini…,” ujar Yudith ragu-ragu, matanya bertemu dengan mata ibunya, dan saling memancarkan sorot pengertian.
***
”Permisiii,” sahut seseorang di luar. Ayah Yudith yang sedang duduk santai di teras rumah di sore yang agak berangin itu sambil menyeruput kopinya—baru beberapa menit lalu beliau melepas sepatu dan dasinya—mengeluh, lalu membukakan pintu untuk seseorang itu. Orang itu memakai seragam serba oranye: Pak Pos!
”Iya?” ujar ayah.
”Maaf, Pak, ini ada surat untuk Bapak,” katanya, memberikan sepucuk surat beramplop cokelat. Ayah memandangi amplop itu, perhatiannya tertuju pada alamat pengirim di baliknya. Setelah Pak Pos pergi, beliau menutup pintu pagar dan kembali duduk di teras. Dibukanya amplop itu pelan-pelan agar jangan sampai rusak.
Kepada Bapak Theo Sutanto yang terhormat,
Naskah berjudul ”Solarplexus: Hati Manusia?” yang Bapak kirimkan pada kami telah kami terima, dan berdasarkan berbagai pertimbangan, kami telah sepakat untuk menerbitkan naskah Bapak menjadi sebuah buku.
Terima kasih telah bersedia bekerjasama dengan kami. Kami akan mengirimkan pemberitahuan selanjutnya berkaitan dengan naskah Bapak.
Kepala Redaksi Penerbit Bintang,
Andrea Laksana
Beliau terperangah begitu tulisan itu menjangkau retina matanya dan disampaikan syaraf ke otak, yang kemudian menyuruh mulutnya berteriak.
”SURAT INI PASTI SALAH ALAMAT—” lalu masuk ke dalam rumah,
”—BUUU!!” Istrinya berjalan tergopoh menghampirinya, tapi anehnya dengan senyum merekah di bibirnya.
”Wah, ayah sudah dapat surat dari penerbit Bintang ternyata! Ibu sangat yakin naskah Ayah pasti diterima,” ujar Ibu sambil masih tersenyum.
Ayah tampak kebingungan. ”Eh? Tapi siapa yang….” kata-kata Ayah terputus oleh nyanyian bel pintu depan yang menjerit merdu. Istrinya berjalan ke pintu dan begitu dibuka, muncullah seseorang yang tak pernah terduga akan datang.
”Yudith?!” ujar Ayah tak percaya begitu anak sulungnya itu masuk ke ruang keluarga dan tersenyum padanya.
”Iya, ini Yudith, Yah,” jawab Yudith sambil memeluk ayahnya.
Air mata—yang mungkin baru pertama kali ini diizinkannya keluar—bercucuran tak terkendali di pelukan anaknya.
”Maafkan Ayah…”
”Sudahlah, Yah. Yudith sudah mengerti kenapa Ayah seperti itu. Yudith dan Ibu yang memperbaiki naskah itu dan mengirimkannya ke penerbit.”
”Terima kasih, Nak. Itu adalah impian Ayah dulu: mejadi psikolog sekaligus penulis. Tapi belum pernah tercapai karena kuliah Ayah tidak selesai,” tutur Ayah.
Obit yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu kamar, ia menguping pembicaraan sedarai tadi, pun menampakkan dirinya dan bergabung dalam suasana penuh kehangatan yang telah lama dirindukannya itu.