Baru saja tadi sore aku melewati jajaran komplek pertokoan di sepanjang Jl. Arif Rahman Hakim, tepat sebelah terminal kota. Komplek pertokoan elite yang banyak menjual barang mahal, dengan para penjual yang kebanyakan berkumis tebal namun ramah layaknya spongebob.
Yang membuat ku aneh di setiap etalase ataupun meja panjang sering aku temui barang serupa yang kebanyakan orang menyebut itu 'harga diri'. Agak aneh terdengar ya?, tapi inilah yang ku saksikan. Serentak rasa heran menimbulkan pergolakan yang sangat berat dari dalam diri. Rasanya ingin ku keluarkan semua isi yang membuat perutku akhir-akhir ini buncit ketika melihat bandrol harga terbaca: 'sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan ribu sembilan puluh sembilan rupiah'.
Ujung-ujungnya aku sempatkan membopong tubuh sendiri untuk masuk ke salah satu toilet di area itu sekedar buang air besar sedikit dan memperlapang nafas yang semestinya tak ku rasakan saat ini.
Dalam toilet terbayang angka kramat dari bandrol tadi 99.999.999. oh my god!.Andai saja..
Keringatku keluar deras ketika tak kutemukan gayung di bak mandi.Aku beringas mencari, begitu kagetnya ketika aku lihat harga diri tergeletak di sudut belakang pintu. Bentuknya pipih namun bertekstur kasar, warnanya agak kecoklatan. Sedikit berbeda dengan yang ku lihat di etalase tadi.Setelah ku teliti dan ku lihat lebih dekat ternyata terbungkus feses.
Awalnya Aku tak berani menyentuh apalagi membawa pulang, namun setelah berpikir begitu lama aku putuskan untuk membersikahnya terlebih dahulu dengan pikiran perbandingan angka kramat dari bandrol tadi. Hatiku berjingkrak hebat meski aku tak tahu untuk apa yang akan terjadi nanti. Aku lekas pulang.
“Maaaakkk, aku bawa sesuatu!” Aku berlari tergopoh melewati pintu rumah.
“Ini apaan Nak? bau, cepat buang ke tong sampah dekat Haji Rahmat, mumpung belum diangkut sama petugas kuning”. Pinta Emak
“Jangan Mak! Ini barang mahal, di toko tadi yang aku baca harganya Rp. 99.999.999”. Dengan mimik muka bangga dan terus meyakinkan Emak.
Sesekali kuangkat keatas sambil memperhatikan bentuk benda yang terbilang sakral dalam pandangan mataku. Sesekali aku muntah juga karena bau yang begitu kuat menempel.
“Coba Mak, pengen pegang. Ini apaan, Nak ?” Emak penasaran.
“Ini namanya harga diri Mak, cuman orang pinter, orang kaya sama pejabat aja yang Pake” Tuturku menjelaskan
“Oh gitu ya, Nak. Yasudah bawa masuk ke kamar, bungkus pake kain Emak yang sudah lama gak dipakai dibawah tumpukan baju sebelah kanan cucian kemarin, tapi bersihin dulu pake deterjen” Pinta Emak.
“Siaaaap Maak!”
***
Kehidupan berjalan tetap santai, suara TV masih sering bersahutan dan radio masih sering mengganggu tidur.Namun bagaimana-pun aku tetap bangga dengan 'harga diri' yang kudapati secara cuma-cuma.Kondisinya kian membaik, tak kucium lagi aroma busuk yang mampu membuat mual, tak kudapati lagi serpihan tahi yang mengeras dan pedas untuk dipandang. Kini harga diriku kutempatkan di lemari khusus yang tahun lalu sebenarnya akan dibuang Emak.
Emakku kini tak terlalu risih dengan bau yang dikeluarkan seperti beberapa bulan lalu. Hubunganku dengan Emak tetap membaik meski kadang aku muak dengan dialog dan jawaban yang sama ketika disuruh ataupun ditanya Emak.
Dialog ketika setelah adzan,
“Nak, segera shalat, sudah iqomat. Tuhanmu mesti kau dahulukan”
“Sebentar Mak..ini tanggung lagi bersihin harga diri”
Dialog ketika raskin datang,
“Nak, cepetan pak RT sudah nunggu kamu buat bagiin raskin”
“Sebentar Mak..ini tanggung lagi bersihin harga diri”
Dialog akhir bulan,
“Nak, hutang ke Mang udin yang kemaren belum juga dibayar”
“Sebentar Mak..ini tanggung lagi bersihin harga diri”
Dialog lainnya terus tercipta dan tak jarang ku jawab satu dua kata. Diulang, diputar dan masih kurekam hingga kini ku tulis ini.
“Nak, kenapa tadi bantah pak lurah soal raskin yang kau ambil buat makan kita”
“Harga diri Mak”
“Nak, kenapa gak ikut kerja bakti”
“Harga diri Mak”
“Nak besok anter Emak ke pasar beli ikan dan perlengkapan mandi”
“Harga diri Mak’
“Nak, temenmu yang melarat ko ga dibawa masuk ke ruang tamu”
“Harga diri Mak”
“Harga diri Mak”
“Harga diri Mak”
***
Sekilas dengan kata sederhana aku definisikan diri sebagai satu kesatuan dari pandangan keseluruhan mengenai penilaian setiap individu padaku. Sederhanakan?. Untuk yang belum tahu siapa namaku Aku mulai berani bersalaman dengan setiap orang menyebutkan nama dengan jelas dan sikap tegas. Namaku Har-di. Begitulah sekarang. Aku mulai sering bercermin dan berdandan meskipun baju yang kukenakan masihlah kubeli dari pusat baju bekas ataupun hasil pinjaman kawan. Keseharianku kini dipenuhi dengan sikap logis, berwibawa dan terkadang membuat banyak orang terkesima.
“Semua berkat kau. Moaaacchhh.. terimakasih” Ku cium harga diri
***
Semerbak aroma parfum bijan yang mahal dapat dikatakan antonim-nya badanku yang pasrah terkubur jutaan sel-sel apocrine berasam Emak jenuh tinggi dengan cairan kental dan berminyak. Dan demi menutup itu semua aku rela berpakaian dalam plastic sebelum akhirnya ku tutup jacket untuk membendung aroma tubuhku yang dikatakan sepet dan pahit. Apalagi siang ini akan bertemu camat, tubuhku tanpa baju layaknya manusia elastis di film fantastic 4yang pernah ku tonton tiga tahun silam di laptop nya si Egi.
Siang hari, udara masih tetap saja segar seperti hari-hari kemarin, ku lihat Pak Makmur, Haji Ubad, abah Hudin,Pak Tedy dan satu orang tua yang lain tetap giat melaksanakan solat di masjid. Lantunan suara adzan lantang dari kerongkongan Pak Makmur membuat hatiku terpanggil. Aku shalat berjamaah dan berada di shaf terdepan dengan lima orang makmum berjajar berbarengan. Sekitar pukul satu aku telah berada di dalam kantor kecamatan dan segera bersalaman setelah disambut senyuman pak camat.
“ Silahkan duduk kang, mau minum apa?” Pak camat dengan basa basinya yang khas mulai menyambutku, meski aku telah tahu bahwa di kantor itu hanya ada galon air minum dan dua gelas yang kosong.
“ Oh iya pak, makasih. Ngomong-ngomong ada apa ya, tumben tumbenan bapak manggil saya kesini, padahal saya kan orang yang tidak penting sama sekali ” tanyaku penasaran.
“ Maaf sebelumnya Kang Hardi, bapak mau sedikit bercerita mengenai pelacur yang dulunya anggota dewan. Tadi malam dia menemui Bapak mencari benda yang hilang tiga bulan lalu. Dan Bapak tahu dari orang-orang kalau Akang mempunyai benda hasil temuan yang dulu tergeletak di WC. Euummhh . . .apa namanya, bapak lupa.” Jelas pak camat
“ Harga diri, Pak”
“ Iya itu, Kang, Si Ibu Pelacur itu menangis minta benda itu dikembalikan segera. Untung saya bisa langsung ketemu Akang, kalo lewat Lurah kan mesti ngamplop lagi pake uang tutup mulut. Ini benda mahal loh, Kang. Si Ibu Pelacur bilang kalau ini benda impor belinya di luar negeri dan harganya dua kali lipat sama yang ada di kompleks pertokoan kita. Makanya dulu Si Ibu itu sangat mudah jadi anggota dewan. Nah pas benda ini hilang, ia langsung lengser dari jabatan. Akang bawa barangnya? ”.
Aku tertegun kaget menahan berat hati kehilangan harga diri. Posisi duduk kian tak enak karena dalaman plastik yang ku kenakan lembab oleh keringat. Pak camat bingung dengan tingkah ku yang mengesek gesekan badan ke kursi. Aku masih tersiksa dengan rasa berat hati dan pakaian dalam untuk menyembunyikan bau badanku. Akhirnya aku tak bisa membendung. Tangisku pecah bersamaan dengan robeknya pakaian dalamku. Semerbak aroma tak sedap menyelimuti ruangan, sejurus kemudian air mata bercucuran. Leher, rambut, dahi, punggung, ketek, selangkangan dan mata semua menangis.
Pak camat kikuk. Aku serahkan, lalu aku pulang.
***
Keseharianku tak semakin baik, bantal semakin bau busuk dan seprai yang dulu putih kini bercorak dramatis. Aktifitas ku begitu sibuk untuk melihat doraemon, Spongebob ataupun serial kartun Timmy Time. Dalam pencarianku memecahkan kebosanan aku bertemu siaran berita dengan liputan :
“Sekelompok petani, pedagang kaki lima, dan nelayan hari ini berduyun-duyun memperjuangkan haknya untuk hidup layak atas dasar harga diri”.
Aku semakin luka. Bahkan kini setiap orang sedang gusar memperjuangkan haknya lewat harga diri, sedang aku tak punya lagi.
Dalam hati aku berteriak. Sejurus kemudian tangis ku membludak. Masih dalam keadaan sadar aku bergumam:
“ Doraemon tolong aku !”
Aku bingung. Ku peras keringat lalu ku minum.
**
Editor: Putri Istiqomah Priyatna