Pagi ini hujan turun. Semula rintik-rintik, namun kemudian menjadi lebih lebat. Bersamaan dengan itu, angin berhembus masuk, mengirimkan udara dingin yang membuatku bergegas menutup jendela. Tanpa terhindarkan lagi perutku pun berkeruyuk. Memang, di udara dingin begini aku cepat sekali merasa lapar, ditambah fakta bahwa aku memang belum sarapan.
Khayalanku pun melambung. Dalam suasana hujan begini, pasti enak sekali menyantap hidangan yang hangat. Otomatis, deretan menu sarapan yang biasanya disajikan hangat pun mengawang dalam benakku dan membuat air liurku nyaris menetes. Warna-warni kenangan pun sontak hadir, menyeruak di antara suara guyuran hujan.
Di daerah tempat tinggalku, banyak sekali menu sarapan yang disajikan hangat. Mulai dari jajanan ringan dengan porsi kecil, makanan berat, hingga aneka dessert pun bertebaran mewarnai kekayaan kuliner di kota Subang yang kental dengan budaya Sunda ini.
Salah satunya adalah dodongkal, penganan bercitarasa manis bertabur gurihnya kelapa parut. Makanan yang biasanya dijual dalam bungkusan daun pisang ini selalu disajikan dalam keadaan hangat. Biasanya, makanan yang terbuat dari tepung beras dengan isian gula merah ini dijajakan di pagi hari, baik oleh para pedagang di pinggir-pinggir jalan maupun yang berkeliling dari rumah ke rumah. Kedua bahan utama itu tak urung memberi pengaruh bagi warna makanan yang dimasak dengan cara dikukus ini, dimana permukaannya akan terlihat berselang-seling putih dan coklat kemerahan.
Bagi diriku sendiri pun, keberadaan makanan tradisional yang sudah muncul entah sejak kapan ini turut memberikan warna tersendiri, khususnya di masa kecilku pada dekade 90-an. Ketika itu, Nenek kerap membeli jajanan ini dari seorang pedagang keliling yang lewat di depan rumah kami.
Aku yang ketika itu masih duduk di tahun-tahun awal sekolah dasar pun selalu melihat dengan rasa penasaran, bagaimana sang penjual yang merupakan seorang wanita tua menyajikan dagangannya. Dari bongkahan dodongkal yang masih panas itu ia memotong beberapa irisan, lalu meletakkannya di helaian daun pisang yang sudah tersedia.
Setelah lebih dulu menaburi makanan tersebut dengan kelapa parut, lembaran daun pisang yang telah berisi dodongkal itu pun dilipat sedemikian rupa sebelum berpindah tangan kepada nenekku. Dengan demikian, untuk dapat menyantapnya kita tinggal membuka lipatan daun pisangnya saja tanpa harus menggunakan piring.
Dan bila dilihat dari sudut lingkungan, cara penyajian ala nenek moyang ini praktis dan juga ramah lingkungan, karena kendati daun pisang ini akan langsung dibuang setelah dipakai, namun pembungkus yang termasuk sampah organik ini akan mengalami penguraian sehingga tidak akan mencemari lingkungan. Ini tentu saja berbeda dengan plastik atau kertas yang akan memerlukan waktu sangat lama untuk dapat membusuk.
Namun, bukan itu saja yang menarik. Selain dodongkal yang juga dikenal dengan nama awug atau kue dongkal, pada tampah yang dibawa sang penjual sebagai tempat meletakkan dagangannya juga tersedia aneka penganan lain yang sama-sama menggiurkan.
Salah satunya adalah limpung yang berupa kue bertekstur lunak berwarna hijau. Kue yang juga berasal dari kekayaan budaya leluhur Sunda ini terbuat dari tepung beras dan kapur sirih, bahan yang membuatnya bertekstur sedikit kenyal. Bila ada yang membeli, makanan yang dibuat berupa bongkahan seperti dodongkal ini pun akan diiris sebelum disajikan dengan lumuran gula merah di atasnya.
Tidak berbeda dengan dodongkal, makanan ini pun merupakan salah satu kegemaranku. Teksturnya yang lunak membuatku tidak perlu bersusah payah untuk mengunyahnya, sehingga para penikmat kuliner dari segala lapisan usia dapat menyantapnya.
Kemudian, ada pula gurandil. Makanan yang juga disebut cenil ini berupa gumpalan-gumpalan lengket yang kenyal. Dan untuk mempercantik tampilannya makanan pelengkap dodongkal ini hampir selalu tampil dengan warna merah muda, merah, atau putih.
Saat disajikan, gurandil yang sebelumnya telah berbalut parutan kelapa ini akan ditaburi gula pasir, berbeda dengan limpung yang disiram dengan sirup gula merah sebelum disantap.
Khusus untuk penganan ini, cara memakannya pun unik. Seperti dodongkal yang dibungkus daun pisang, gurandil pun begitu pula. Bedanya, bungkusan gurandil memiliki bentuk yang berbeda dan disemat dengan lidi. Keadaan itu pun membuat potongan lidi yang semula digunakan sebagai pengunci daun pisang berubah fungsi sebagai alat makan darurat, khususnya bagi orang-orang yang segan menggunakan tangan secara langsung.
Caranya, gurandil ditusuk satu persatu dengan lidi, dan dipergunakan seperti garpu. Selain dengan cara itu, penganan ini pun biasa dinikmati dengan tangan secara langsung.
Selain itu, getuk dan ketan gurih pun nyaris tidak pernah ketinggalan dalam melengkapi jajanan dodongkal. Seperti yang sudah umum diketahui, getuk terbuat dari singkong yang direbus, lalu dihaluskan bersama pemanis berupa gula pasir atau gula merah. Adonan yang dihasilkan lantas dipadatkan dan dibentuk sesuai selera.
Itulah sebabnya, hingga kini aku sering menemukan berbagai bentuk getuk. Mulai dari yang dipotong biasa, seperti bolu, bahkan yang digulung seperti bolu gulung yang dulu kerap dibuat ibuku pun ada.
Tempat menjajakannya pun beragam, tidak hanya di dalam tampah pedagang keliling, tetapi juga di warung-warung pinggir jalan. Bahkan, penganan ini pun tidak jarang terlihat di dalam etalase toko-toko kue.
Memang pantas, karena penganan sederhana yang dulu identik dengan masyarakat kelas bawah ini memang lezat. Bahkan, jujur saja jika menemukan getuk, aku bisa menghabiskan penganan yang juga disajikan dengan taburan kelapa parut ini dalam jumlah banyak.
Dan, jika bicara mengenai bahan baku, di Subang ini kita tidak hanya menemukan getuk yang terbuat dari singkong alias Manihot esculenta. Ada pula varian getuk yang terbuat dari ubi, sehingga rasanya pun berbeda. Citarasanya manis khas ubi, dan teksturnya juga tidak sama dengan getuk singkong. Namun, yang jelas kedua jenis getuk ini sama-sama enak, baik saat disantap dalam keadaan hangat ataupun dingin.
Penganan tradisional ini juga tidak hanya ditemukan di daerah Jawa Barat saja. Di seluruh Pulau Jawa, getuk juga lumrah dijumpai. Entah dari mana makanan ini sebenarnya berasal, yang jelas kudapan ini telah turut memperkaya khazanah kuliner Indonesia.
Berikutnya, ada pula ketan gurih. Dari keseluruhan penganan pelengkap dodongkal, inilah satu-satunya kudapan bercitarasa gurih. Makanan ini terdiri dari nasi ketan yang dipadatkan dengan bentuk bundar pipih. Seperti namanya, citarasanya gurih dengan taburan serundeng. Kelihatannya memang sangat sederhana, namun kelezatannya tidak diragukan lagi. Sama seperti kudapan pelengkap dodongkal lainnya, ketan gurih pun selalu dijajakan dalam keadaan hangat. Namun, kelezatannya tidak akan berkurang meskipun sudah dingin.
Beralih ke jenis kuliner lainnya yang juga termasuk menu sarapan dari Subang, kita tidak bisa melupakan serabi. Makanan yang dibuat dari beras yang dicampur kelapa ini biasanya dijajakan di pinggir jalan.
Bentuknya bundar dan pipih seperti piring. Bentuk seperti ini tentunya disebabkan oleh cetakannya berupa wajan kecil, yang lazim terlihat di lapak-lapak pedagang serabi lengkap dengan tungku pemanasnya. Itulah sebabnya, setiap kali Nenek, Mama, atau siapapun pulang dari pedagang serabi, penganan yang dibawa pulang selalu masih dalam keadaan panas. Sungguh keadaan yang membuatnya terasa makin lezat.
Berbeda dengan dodongkal yang kerap dijajakan oleh pedagang keliling, pedagang serabi selalu menetap di suatu tempat. Ini tidak terlepas dari cara penyajiannya, dimana kue berbentuk bundar ini baru akan dimasak dengan tungku begitu ada pesanan. Dengan demikian, serabi akan tiba di tangan pembeli dalam keadaan panas, yang tentunya akan sangat nikmat disantap dalam kesejukan udara pagi.
Pada saat itu, serabi terdiri dari dua varian, yaitu serabi polos yang berwarna putih dan yang bertabur oncom. Bagi anak-anak dan orang yang tidak suka pedas seperti aku, serabi polos-lah yang menjadi pilihan, karena serabi jenis ini tidak pedas. Namun, para penggemar rasa pedas pun tidak perlu kecewa, karena ada pula serabi oncom yang bercitarasa pedas.
Tidak hanya pada saat bersama Nenek, pada masa-masa selanjutnya pun serabi tetap disukai di kalangan keluarga kami. Pada kunjungan mereka ke Subang, saudara-saudaraku yang tinggal di luar kota nyaris selalu berburu kuliner ini, terutama jika menginap.
Kendati di rumah telah tersedia makanan-makanan lainnya, namun kue tradisional berbentuk bundar ini selalu dicari. Begitu pula dengan dodongkal, seolah mereka merasa bahwa kunjungan ke Subang tidak akan lengkap tanpa serabi dan dodongkal. Memang, bagi kami kedua penganan ini mencerminkan sejarah kehidupan kami sejak kecil hingga sekarang.
Namun, seiring perkembangan zaman serabi tidak hanya menjadi menu sarapan. Telah banyak orang yang menjajakan serabi di sepanjang hari, khususnya di kota-kota besar.
Kudapan berbahan tepung beras dengan rasa gurih ini pun telah mengalami diversifikasi, dari yang semula hanya terdiri dari dua varian berkembang dengan beragam isian. Penambahan keju, susu, coklat, bahkan ayam dan sosis pun tidak lagi menjadi hal yang asing.
Hingga kini pun, dodongkal dan serabi yang merupakan makanan tradisional ini masih banyak dijumpai. Kelezatannya sungguh tidak tergerus zaman dan tetap mempunyai penikmatnya sendiri, kendati ragam kuliner modern telah banyak bertebaran dan bahkan lebih populer daripada kudapan tradisional. Semoga kudapan tradisional tidak akan pernah punah ditelan zaman, karena keberadaannya turut pula menjadi produk budaya yang mewarnai kekayaan kuliner dunia.
Menarik sekali bagaimana penulis yang ada keterbatasan penglihatan dapat mengoptimalkan pencitraan dari indera lainnya dalam menulis topik kuliner. Meski tetap ada sisi visualnya, tapi sangat menarik menilai makanan dari tekstur, rasa, sejarah, dan pengalaman menikmatinya langsung. Terus menulis dan tetap semangat ya.