Jutaan detik lalu, aku masih melihat senyum manja itu. Masih ada tawa riang menggelitik yang membuat napas jadi lega berhembus. Kalian, empat bersaudara yang masih punya cinta layaknya manusia pada umumnya. Kalian yang sering ditertawakan, digerogoti hatinya oleh kata-kata kurang layak dari para tetangga. Dipasung hak dan harapannya oleh tatapan tajam, mata merah, mata iblis. Begitu mencekam dan mengharu biru bila dipandang oleh orang lain. Namun kalian, entah tak peduli atau memang tak paham dan tak mengerti arti dari semua ini. Tetap berjalan, maju, merentas batas untuk mencapai bahagia.
***
Aku adalah seorang wanita super, ya itu pendapat dari teman-teman yang berada di sekelilingku. Perempuan yang jarang memerah matanya oleh goresan debu tajam, perempuan yang terlihat tangguh dalam menghadapi cobaan, dan perempuan yang berani mengemukakan alasan untuk segala hal yang kurang disegani. Maklumlah, aku pada cerita ini adalah sesosok wanita yang punya mimpi menjadi insan hukum. Yang pastinya akan menciptakan berjuta keadilan untuk dunia.
***
Namun, beberapa waktu lalu aku menitikkan air mata saat melihat Dana, Dini, Dina dan Dona yang sedang duduk santai didepan teras rumahnya, teras yang lindung, teras yang sangat tepat untuk dijadikan tempat bersantai. Mereka tersenyum manis bila dipanggil namanya, entahlah tersenyum untuk apa. Mungkin tak ada dari mereka yang bisa mengenaliku sama sekali. Padahal sudah bertahun-tahun rumah tua itu menjadi perhatianku kerap kali melewati jalan itu. Aku bingung buliran air mata tadi, ku dedikasikan untuk apa. Namun, tatapan sendu itulah yang menarik paksa air mataku untuk keluar.
***
Dana, adalah anak tertua. Dilanjutkan dengan Dini, Dina, Dona dan Debi. Mereka adalah tetanggaku, tepatnya tetangga jauh, atau mungkin orang lain yang rumahnya selalu ku lewati saat akan berangkat ke sekolah. Debi si bungsu mendapat keberuntungan untuk hidup lain dengan keempat kakaknya. Namun dia, Debi. Punya hati yang sama retaknya dengan aku serta kedua orang tuanya. Tak tahan, tak mampu dan tak bisa lagi menyembunyikan fenomena yang ada dalam hati. Mentega yang melumuri dinding hati yang kapanpun bisa meleleh dan menetes tanpa sengaja. Punya hati yang tergores juga, disaat keempat kakaknya diperolok orang-orang yang sedang lewat di depan rumah mereka.
***
Keempat saudara yang dikasihi Allah itu, mendapat hidayah untuk menjalani kehidupan di dunia fana ini dengan kondisi disabilitas yang disandangnya. Mereka berwajah sama, tak bisa berucap dengan lantas seperti orang disekeliling. Tak bisa melihat dengan jelas. Itulah karunia Allah yang dicobakan untuk mereka. Empat beradik tangguh yang menjadi perhatian pertama, yang bisa membuat sosok aku tersedu dibawah senyum mereka yang menguras hati. Sosok aku yang kuatpun bisa kalian luluhkan hatinya dengan hidup kalian yang penuh perjuangan. Empat orang kembar identik yang betul-betul ingin ku lindungi dan ku jaga.
***
Suatu siang, terik matahari membotakkan kepala. Membuat rambut-rambut berteriak dan ingin berusaha mencari pertolongan. Siang yang begitu panas, namun dingin untuk hati mereka, hati empat kembar identik yang selalu tersenyum. Dingin, begitu dingin hingga di bawah titik cakrawala.
Dana, dia menangis seorang diri di teras andalannya. Teras yang akupun sangat ingin bersantai disana, apalagi diterik siang seperti ini. Tergelitik hatiku untuk bertanya, namun takut. Takut bahwa dia berpikir aku adalah sama dengan orang-orang yang selalu berkata bahwa mereka adalah orang gila.
Aku masih saja menunggu dorongan dari dasar hati, untuk diberi keberanian melangkah ke teras itu. Dan akhirnya, satu detik, dua, tiga, empat, lima detik. Tak ada lagi waktu untuk berlama-lama, kuhembuskan napas lega untuk memulai langkahku menuju kesana. Sudah kusiapkan matang-matang apa dan bagaimana cara agar aku bisa memulai pendekatan dengan anak sulung itu. Sepertinya mudah, karena aku sendiri adalah anak sulung.
”Dana, kamu sedang apa? Wah, kamu menangis ya? Kenapa?” awalnya dia hanya diam, ku tunggu, kira-kira kuhabiskan waktu lebih dari 180 detik untuk menunggu jawaban yang kupikir akan keluar dari mulutnya. Namun ternyata, yang ditunggu dak kunjung hadir, gelintiran kata-kata yang kuharapakan tak kunjung keluar dari mulutnya. Kutunggu lagi beberapa menit. Namun, ambang batas sabarku yang dicobanya sudah tak kuat lagi bertahan. Dengan langkah gontai kutinggalkan teras itu, teras yang sangat kuidam-idamkan. Senang rasanya berada dibawah sana walaupun hanya beberapa menit.
Dua langkah lagi menuju pagar rumah, suara terbata keluar, dan mementalkan aku untuk kembali ke tempat favoritku tadi. Dana memanggilku, sepertinya ini pertanda baik, pertanda yang menunjukkan bahwa pendekatanku kali ini berhasil.
”Aku tidak apa-apa” begitu katanya memulai pembicaraan.
”Tapi, kenapa kamu menangis?” kupancing lagi untuk dia dapat menceritakan apa permasalahan yang kini dihadapinya. Namun, suasana hening kembali. Sepertinya dia tidak percaya kepada seseorang yang baru saja dikenalnya secara tatap muka.
”Kamu cerita saja dengan aku, tidak akan ku ceritakan kepada siapapun kok, tenang saja”. Bujukku.
Ternyata benar, dia belum percaya kepadaku.
”Ehm… ya sudah kamu jangan menangis lagi, aku pulang dulu ya”. Aku pamit pulang. Namun, saat aku berdiri dari posisi dudukku disampingnya. Dia menarik lengan bajuku.
”Tunggu!” keluar kata-kata dari mulutnya yang terbata-bata. Butuh banyak menit untuk menunggu dia menyelesaikan pembicaraan.
”Aku akan ceritakan masalahku”, tegasnya lagi.
***
Setelah mendengar kata-kata yang mengoyak hati tadi. Aku betul-betul sadar, bahwa Allah bukan menghardik Dana dan ketiga adiknya. Tetapi, Allah menyayangi mereka. Buktinya dengan kata-kata mutiara yang disebutkannya terbata-bata tadi. Aku jadi mengerti dan paham apa yang harus kulakukan, apa yang sempat terlupakan, dan mengingatkan untuk apa tujuan aku hidup selama ini, dengan status sebagai anak sulung. Banyak yang kami bicarakan, karena mulai saat itu kami selalu berbagi cerita, bahkan setiap hari.
***
Aku baru saja lulus sekolah, alhamdulillah bisa melanjutkan kuliah di Universitas dambaanku. Dan menjadi seorang ahli hukum, dengan mengambil prodi ilmu hukum sebagai jurusan. Sebenarnya ini adalah cita-cita dari sosok aku yang digambarkan, mohon do’a juga dari para pembaca
***
Tiga hari menjelang skripsi, aku semakin bersemangat. Tekad yang berkoar-koar semakin nyaring terdengar dari lubuk hati. Sepertinya dan tak lain, ini adalah akibat dari kata-kata Dana yang selalu mengusik dan terbersik di otakku. Kata-kata dari seorang sahabat yang bisa membuat aku menjadi perempuan hebat dan tangguh. Dana, suaranya yang terbatas itu adalah awalnya. Api penyulut obor kehidupanku. Semangat yang sangat besar untuk menjadi anak sulung yang benar-benar anak sulung.
Membuat aku sadar, bahwa sosok aku ini adalah anak tertua, yang mempunyai tanggungjawab besar baik kepada orang tua ataupun adik-adiknya. Mempunyai tanggungjawab untuk memberi kebahagiaan, dan mencapai cita-cita yang di harap-harap cemas. Akan memalukan bila sulung terpuruk. Membuat aku teringat dengan kata-kata Dana dulu, disaat dia menangis diteras.
”Aku adalah anak sulung yang memalukan, tak bisa membahagiakan adik-adikku, bahkan dicukupi kebutuhanku oleh adik Debi”. Itu kata-kata yang masih ku ingat jelas, disertai beberapa motivasi yang diberikannya padaku saat itu.
***
Ini adalah hari pertama aku pulang ke kampung halaman, disaat semua mata menerobos masuk ke pintu mobil sedanku yang mengkilap. Dan mata-mata yang silau oleh semir dari sepatuku yang hitam bercahaya. Tak lupa ku gapai rumah sahabatku, Dana. Sumber inspirasiku. Hingga aku berhasil menjadi seorang perwira angkatan laut, dengan pangkat Letnan Jendral. Amin.
”Dana…” kupeluk dia yang tiba-tiba keluar dari pintu rumahnya. Disaksikan oleh kelima adiknya serta para tetangga. Memang tak ada yang berubah darinya. Diam, pikiran melayang, dan berwajah polos memikat, mungkin dia lupa bahwa telah berkata bijak kepadaku. Menjadikan orang sukses yang ada di depannya ini sebagai penggemar. Penggemar yang mengiangkan nama dan kata-katanya setiap waktu.
Dana, seorang disabilitas tangguh yang masih berpikiran untuk maju, buktinya dia memberi motivasi dan dukungan padaku hingga aku bisa sekuat ini. Hanya menunggu waktu,
”Dana kau akan maju menyusul penggemarmu ini, merentas kesuksesan sebagai anak sulung”. Itu kata-kata yang kuucapkan saat ingin pamit pulang. Dan sepertinya membuat mata Dana memerah, kemudian berderai. Oh tuhan, dia sudah peka !