Ini adalah tulisan yang menganalisis jurnal Psikologi volume 32, No.2 Desember 2005 yang diterbitkan oleh Fakultas Psikologi UGM yang berjudul Dimensi Sosial Disabilitas Mental di Komunitas Samin, Yogyakarta : Sebuah Pendekatan Representasi Sosial yang ditulis oleh Petra W. B. Prakosa.
Disabilitas mental akhir-akhir ini menjadi fokus permasalahan [ara pemberi pelayanan kesehatan dan pendidikan di Indonesia. Pentingnya pelayanan kesehatan mental secara umum telah ditekankan dalam kebijakan kesehatan mental untuk periode 2001-2005 (Kompas dalam Petra, 2005).
Komunitas Kecamatan Semin dalam penelitian ini dilihat sebagai a)area geografis dengan batas-batas fisik yang ditentukan untuk keperluan administratif (Willmott dalam Petra, 2005); b)neighbourhood yang dapat diartikan sebagai rasa kepemilikan komunitas (Cohen dalam Petra, 2005); dan c) ruang komunikasi politik dimana konvensi-konvensi hasil komunikasi itu terjadi (Jovhelovitch dalam Petra, 2005).
Disabilitas mental dalam Psikologi dideskripsikan berdasarkan permasalahan-permasalahan yang termanifestasikan dalam bentuk keterbatasan fungsi psikologis dan sosial (AAMR dalam Petra, 2005).
Para penyandang disabilitas mental menyandang stigma karena kekurang sempurnaannya yang membuat mereka termarjinalkan dari penerimaan sosial yang utuh sehingga hal ini dapat membuat arahan pada pembentukan identitas sosial yang rusak.
Sebuah studi oleh Westbrook dan kawan-kawan mengungkapkan bahwa sikap sosial yang negatif seringkali berbentuk hambatan dalam menjalankan peran sosial dan aktivitas, serta akses-akses ke pelayanan masyarakat. Diungkapkan pula bahwa para penyandang disabilitas mental ternyata lebih terstigmasi dibandingkan dengan mereka yang mengalami disabilitas fisik.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi kasus yang memungkinkan peneliti untuk melihat disabilitas mental sebagai sebuah unit analisis (Flick dkk. dalam Petra, 2005) dengan mewawancara dua puluh subjek.
Hasil penelitian
Representasi sosial mengenai disabilitas mental membentuk sistem disabilitas mental membentuk sistem pengetahuan yang terdiri dari tiga organisator yakni
1. Representasi sosial disabilitas mental dalam komunitas Semin
Pengetahuan dalam bentuk representasi sosial profesional dan masyarakat, identitas sosial penyandang disabilitas mental yang menjadi penentu praktek sosial seperti rasa kasihan sebagai sikap yang kontradikstif, sikap orientatif profesional terhadap program disabilitas mental dan stategi coping masyarakat
2. Rasa iba sebagai sikap sosial yang kontradiktif
Rasa iba adalah sebuah bentuk representasi sosial para penyandang disablitas mental (Farr dalam Petra, 2005). Sikap positif terlihatdari simpati dan empati. Orientasi komunitas yang kolekstif menciptakan iklim kondusif, sekalipun stigma tetap tiada dapat dihindari dan muncul dalam bentuk ekspresi sehari-hari seperti ‘bodoh’ yang membuat batas bagi para penyandang disablitas mental untuk berkomunikasi dengan efektif
3. Orientasi profesional untuk program disabilitas mental
Pelaksanaan peran dalam program kesehatan dan pendidikan seperti salah satu dari contohnya adalah sekolah luar biasa.
aku kok gak bisa baca isi teks dari postingan ini ya. kasusnya sama kayak di postingan tentang orientasi mobilitas yg diposting mas widya atau siapa itu lho mas….knp ya?
tapi saya bisa kok. kalo kamu bisa baca tulisan yang tentang O-M itu?
terima kasih informasinya. Ditunggu lebih banyak lagi informasi mengenai disabilitas jenis ini ya 🙂
kembali
iya