Cerpen Tomorrow x Together, Or Not

Tanganku bergerak menyalakan CPU. Tak lama aku sudah asyik menjelajahi halaman facebook ku.  Senang sekali rasanya, setelah facebook diciptakan aku jadi bisa kembali menghubungi teman-teman lamaku.  Sedang sibuk menelusuri beranda, sebuah pop up pesan muncul di bagian atas layar.  Sebuah pesan dari seseorang yang begitu familiar dalam ingatanku muncul disana.  Dengan degdegan ku klik pop up tersebut sehingga tampilan berubah ke ruang obrolan orang itu.  “Hai, Freya. Long time no see.” Begitulah kira-kira isi pesannya. Jemariku membeku di atas keyboard. Aku bahkan tidak ingat pernah mengirimkan permintaan atau mengkonfirmasi pertemanan dari akun ini. Entah ada angin apa, dia kembali. #Cerpen #KisahKlasikMasaLampau

Aku baru saja usai menidurkan putri kecilku ketika kudapati diriku tidak bisa terlelap.
Di tengah temaramnya suasana, aku berjalan mendekati Komputer tempat biasa suamiku bekerja dan mendudukkan diri di kursi kantor yang menghadap langsung pada meja dimana komputer itu tersusun rapih beserta dengan perangkatnya.
Tanganku bergerak menyalakan CPU. Tak lama aku sudah asyik menjelajahi halaman facebook ku.
Senang sekali rasanya, setelah facebook diciptakan aku jadi bisa kembali menghubungi teman-teman lamaku.
Sedang sibuk menelusuri beranda, sebuah pop up pesan muncul di bagian atas layar.
Sebuah pesan dari seseorang yang begitu familiar dalam ingatanku muncul disana.
Dengan degdegan ku klik pop up tersebut sehingga tampilan berubah ke ruang obrolan orang itu.
“Hai, Freya. Long time no see.” Begitulah kira-kira isi pesannya. Jemariku membeku di atas keyboard. Aku bahkan tidak ingat pernah mengirimkan permintaan atau mengkonfirmasi pertemanan dari akun ini. Entah ada angin apa, dia kembali.

*****

Siang yang terik di tahun 1980.
Aku duduk di kursi meja belajar dengan kepala sakit. Di ujian semester kemarin nilaiku sangat jelek. Terutama nilai Bahasa Inggris. Aku memang tidak menyukai pelajaran tersebut. Ejaan yang berbeda dengan penyebutannya, kata yang jauh berbeda cara penggunaannya antara penjelasan tentang esok, hari ini, dan kemarin, dan cara penyebutannya yang sering kali membuat lidah dialek nusantaraku berbelit menjadi alasan utama kenapa aku membenci pelajaran itu.
Tentu saja, seperti orang tua pada umumnya, orang tuaku tidak suka dengan apa yang mereka lihat di laman raporku. Jadi akhirnya, di hari saat teman-teman sebayaku libur, aku duduk di sini dengan buku Bahasa Inggris di tangan.
Namaku Freya. Aku merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Aku punya seorang kakak laki-laki yang menyebalkan dan urakan luar biasa. Ayahku adalah anggota TNIAU, sementara Ibuku adalah Ibu rumah tangga yang eksis dikalangan kaum Ibu-Ibu tentara karena keahliannya membuat kue.
Kakak lelakiku adalah maha siswa disalah satu kampus ternama di kotaku, tapi dia tampak tidak menanggapi studinya dengan serius. Yang jadi prioritas utamanya adalah balapan. Saat ia harusnya berada di kelas untuk ujian, ia malah ada di sirkuit dengan mobilnya yang mengkilat sampai menyakitkan mata. Berterimakasih pada jabatan Ayah, kakakku Farel masih bisa terus naik semester dengan semua sikap pemalasnya.
Para cowok seperti Farel adalah tipe cowok yang kubenci. Mereka kelihatan tidak menghargai seorang perempuan. Aku lebih suka Ayahku. Tegas dan berwibawa tapi lembut dengan caranya sendiri. Sering beppergian tapi selalu kembali dengan keadaan lebih gagah dari sebelumnya. Ia juga turun dari pesawat tempur atau helikopter keren, dan bekerja untuk negara. Tidak seperti Farel dan teman-temannya yang kerjanya hanya merepotkan. Setidaknya menurut pandanganku.
Aku tengah mencoba memahami pelajaran di buku itu sampai mataku berkaca-kaca karena memaksa diri saat kurasakan eksistensi seseorang di sampingku.
Kutolehkan kepalaku ke arah kiri dan spontan mengernyit ketika kudapati lelaki yang tak kukenal berdiri di sebelahku sembari menatapku penuh perhatian.
Kuangkat wajahku sehingga aku bisa melihat wajah orang yang menjulang di sampingku, dan seketika aku termangu dalam bisu.
Lidahku kelu, mataku terpaku pada sepasang bola mata biru yang begitu menawan.
“Hari libur gini, masih belajar juga, ckckck,” decaknya diiring cengiran mencibir.
Seketika lamunanku terbuyarkan. “Memangnya kenapa kalau saya belajar? Masalah ya buat kamu?” Walau tergeragap aku berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan wajah pongahku pada lelaki itu.
Bukannya menjawab, dia malah mengambil buku Bahasa Inggris itu dari tanganku kemudian mendudukkan dirinya di lantai.
“Nih ya, aku kasih tau. Kalau kamu mau belajar Bahasa Inggris, bukan ini yang diliat.” Ujarnya sembari menutup buku Bahasa Inggris yang sudah berpindah ke tangannya.
“Kenalan dulu sama sekitar kamu.” lanjutnya.
Ia menunjukku sembari menyiratkan pertanyaan lewat matanya.
“Kenapa saya?” Seketika wajah pongahku berganti dengan wajah dungu.
“Siapa?” tanyanya memperjelas.
“Freya.” Jawabku lugu. Sosok itu tergelak. Diletakannya buku Bahasa Inggris itu ke lantai.
“Kamu human, Freya, manusia.” Paparnya setelah puas menertawakanku.
Dalam hati aku sibuk mengoceh, melemparkan semua umpatan untuk lelaki tengil di depanku.
“Ini?” Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di pegangan kursi yang kududuki. Aku menatapnya bingung. Apa lagi maunya sekarang?
“Ini chair. Kursi.” Jelasnya lagi dengan senyum lebar yang menyebalkan.
Dengan emosi memuncak aku berdiri dari kursi itu dengan kasar, sehingga kursi ber roda itu mundur beberapa senti ke belakang.
“Kamu pikir saya anak SD?” hardikku dan segera pergi meninggalkan orang menyebalkan itu.

Baca:  Seperti Botan yang Mekar

*****

Kali lain, aku kembali bertemu dia. Ibu mengajak dia ikut serta makan siang bersama kami. Dan di sana aku tau kalau dia adalah teman Farel. Ayahnya bule, Ibunya orang Jawa tulen. Aku sempat berpikir ‘pantas saja matanya cantik persis warna samudra’, tapi aku segera menepisnya. Keindahan warna matanya terbuyarkan oleh tingkahnya yang aneh. Ah ya karena gaya pakaiannya juga. Ia berpakaian seperti Farel. Kaos kutung dan jeans robek-robek. Sangat jauh dari tipeku yang lebih suka lelaki rapih ber jas dan kemeja.
Di situ juga aku tau nama orang itu tanpa sekehendakku. Namanya adalah Segara. Nama yang sangat Indonesia dan benar-benar merepresentasikan matanya. Kau tau apa bagian yang menyebalkannya kali ini? Lelaki tengil itu bercerita kalau ia kemarin mengajarkanku Bahasa Inggris pada Ibu.
“Wah, masa ia nak? Bagus sekali itu? Si Freya ini, dia jelek banget nilai Bahasa Inggrisnya, padahal Tante udah kasih dia les prifat setiap hari rabu sama hari Jumat. Tapi sama aja, dia kayak gak belajar,”
Aku memotong daging dipiringku dengan anarkis sehingga denting sendok dan garpuku terdengar sangat keras. Namun mereka tak sedikitpun menggubrisku dan Ibu semakin banyak mengoceh tentang kekuranganku pada Segara. Farel? Dia pasti ikut meramaikan suasana, memprofokasi agar obrolan itu tak cepat usai.
Seusai makan, seperti biasa aku menumpuk piring kotor menjadi satu dan membawanya ke bak pencuci. Ibu memang tak menggunakan asisten rumah tangga untuk membantu seluruh pekerjaannya, Ayah bilang supaya kami mandiri pekerjaan seperti mencuci piring, menyapu, dan membersihkan kaca dijadwalkan seperti piket untukku dan Farel.
Aku tengah menyabuni piring-piring ketika kudengar seseorang bicara dibelakangku.
“Yang lagi kamu bersihin, itu namanya spoon.” Aku melepaskan sendok di tanganku dan berbalik. Segara berdiri di belakangku dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku.
Aku mendelik menatapnya. Ia hanya tersenyum. “Mau dibantuin gak?” Tawarnya ramah, namun bagiku tetap menyebalkan. “Nggak! Makasih!” pungkasku sembari lanjut mencuci piring.
Tidak mengindahkan penolakanku, Segara mengambil tempat di sampingku dan meraih lap dari rak di samping bak pencuci piring. Dengan penuh inisiatif tangannya bekerja cekatan meraih piring yang sudah kucuci dan mengeringkannya.
“Tadi kita makan apa?” tanyanya retoris. Aku tak menjawab. Dia kan tadi ikut makan? Cuma orang bodoh yang makan tapi tidak tau apa yang ia makan.
“Kita makan nasi. Nasi itu, dipanggil Rice dalam Bahasa Inggris. Terus, telur dadar. Itu namanya Scramble egg.”
Mendengar ocehan makhluk di sebelahku entah kenapa air mataku ingin keluar karena kesal. Aku menangis. Menangis seperti anak kecil sampai aku sesak nafas karena terisak-isak.
Segara menatapku bingung. “Kamu kenapa?” tanyanya polos seperti orang tak berdosa. Dengan muak kulempar spons sabun di tanganku sembarangan kemudian segera berlalu dari sana.

*****

Setelah kejadian di dapur siang itu, aku tak lagi bertemu dengan Segara. Aku kembali ke sekolah dengan normal tanpa gangguan lelaki itu.
Aku masih kesusahan memahami Bahasa Inggris, tapi aku tak perduli.
Di suatu siang, seorang guru datang kekelas membawakan sepucuk surat. Tak disangka, ternyata itu surat untukku. Amplopnya berwarna biru. Tak tertulis nama pengirimnya di sana.
Teman sekelasku yang menyaksikan itu sontak bersorak soray. “Cieee, Freya dapat surat cinta,” kurang lebih kata mereka. Sehingga meski aku penasaran, aku tak bisa membukanya saat itu juga.
Alhasil sepulang sekolah aku langsung berlarian ke kamar dan merogoh tas ku. Dengan perlahan kubuka amplop tersebut dan kutarik kertas di dalamnya.
Sebuah tulisan yang luar biasa rapih kutemukan di atas kertas dalam amplop itu.
“I’m so sorry for what happen yesterday, Freya. I don’t mean to make you sad. I just wanna know you more because you are beautiful, as beautiful as your name. I hope you will forgive me. I’m waiting for your reply. Segara.” Dan tertulis sebuah note dibawahnya: “Sengaja Bahasa Inggris, supaya kamu belajar.”
Aku termenung. Tak kusangka lelaki tengil itu pengirimnya. Dan apa katanya tadi? Aku cantik?
Beberapa detik kemudian, saat aku kembali bisa bergerak, kuraih kamus tebal Bahasa Inggris di rak ter atas meja belajarku dan mulai menelaah kata demi kata dalam surat tersebut.

Baca:  Sepucuk Surat dari Mama Tersayang

*****

Besoknya, sepulang sekolah, aku menyempatkan diri pergi ke kantor pos untuk mengantarkan surat balasanku untuk Segara. Aku tak terlalu ingat apa yang kutulis, tapi yang jelas aku bilang aku memaafkannya, asal dia berhenti meminta maaf dengan menyertakan pujian penuh dusta hanya untuk meluluhkan hatiku.
Semenjak itu, aku jadi dekat dengan Segara. Lama-lama dia menyenangkan juga, meskipun penampilannya tidak. Kami berkirim surat dengan sembunyi-sembunyi, dan bertemu saat dia ke rumah untuk bertemu Farel.
Kira-kira dua tahun terlalui hanya dengan interaksi seperti itu saat bertemu karena aku masih anak SMA. Ayah pasti tak mengijinkanku pacaran. Pun aku tak tau baiknya disebut apa hubunganku dengan Segara sekarang ini.
Dia tidak pernah berkata kalau dia mencintaiku, tapi dia memperhatikanku. Dia menghibur kegundahanku lewat surat-suratnya, dan dia sangat sering menyelipkan sebuah gambar di sana. Ya, Segara sangat pintar menggambar. Itu kenapa dia mengambil jurusan arsitektur di perkuliahannya.
Setelah dua tahun itu, barulah ia mulai datang ke rumah untukku. Bukan lagi untuk Farel. Farel? Reaksinya biasa saja. Kurasa ia sudah tau dari Segara seperti apa hubungan kami sejak kami mulai berkirim surat secara intens.
Dan di luar dugaanku, Ayah dan Ibu sangat senang melihat kedekatanku dengan Segara.
Kami mulai pergi jalan, menonton filem drive in dari mobil Segara yang mengkilatnya tak beda jauh dengan milik Farel, makan malam berdua di luar, dan sebagainya. Berbanding terbalik dari perasaanku dulu, sekarang aku sangat nyaman ada bersama Segara. Nyaman saat ia menggandeng tanganku, nyaman saat ia mengacak rambutku, nyaman saat ia menatapku dengan matanya yang sewarna samudra, nyaman saat ia mulai bercanda denganku tentang nama-nama benda dalam Bahasa Inggris.
Disuatu hari Minggu tahun 1985, Segara mengajakku keluar subuh hari. Aku mandah saja, toh Ayah dan Ibu mengijinkan, kenapa lagi aku harus berdalih?
Ia mengajakku ke pantai. Dan saat ia mengeluarkan seluruh yang disesak di mobilnya, aku terperangah. Ia mengajakku berkemah, sehari di pinggir pantai dimana hanya ada kami di sana.
Aku jadi gadis paling bahagia hari itu. Aku berlarian di pasir pantai dengan kaki telanjang, kami berenang di laut, kami menghabiskan waktu bak sepasang kekasih hingga malam menjelang.
“Yang bener bersihin ikannya, aku gak mau keracunan gara-gara kamu.” Ujarnya sembari menyalakan api. Aku yang tengah membersihkan ikan menggerutu: “Kamu nyepelein aku?” Segara meresponku dengan tawa.
“Tumben kamu ajak ke sini, ada apa?” tanyaku sembari menikmati ikan panggang buatan kami. Segara tak menjawab. Ia hanya menengadah memandang langit dalam diam.
Acuh, aku melanjutkan makan sembari menunggu Segara mengatakan sesuatu.
Dengan sebuah kayu yang entah didapatnya dari mana tergenggam di tangan kanan, lelaki itu menggeser dirinya sehingga ia tak lagi dekat di sampingku. Aku menatapnya aneh sembari mengunyah kunyahan terakhir jatah ikanku. Ia tampak sangat fokus sehingga aku tak mau mengganggunya. Kubereskan peralatan makan kami tanpa berkata apa-apa.
Tepat aku menyelesaikan pekerjaanku, akhirnya ia menggubrisku. Diisyaratkannya aku agar mendekat. Aku menuruti isyarat itu dan termenung melihat gambar Segara di pasir.
“Rumah kita di masa depan.” Tuturnya sembari tersenyum lebar.
Aku menatap pemuda di sampingku dan gambar itu bergantian. “K-kamu…” Aku tergugu.
“Kamu percaya aku kan, Freya?” tanyanya sembari menatap lurus padaku. Aku mengangguk meskipun pikiranku tengah sibuk menguraikan apa yang terjadi sekarang.
Segara meletakkan kayu yang dipakainya untuk menggambar dan menggenggam tanganku. “Tapi untuk ini, dan semua hal di masa depan kita, aku harus pergi dulu, Freya.” Aku masih diam. Mendengarkan dengan seksama apa yang akan dikatakannya setelah ini.
“Aku harus kerja, biar uang ku cukup untuk mengabulkan semuanya.”
“Pergi ke mana?” tanyaku lirih. Seketika ada rasa sedih yang mengendap dalam hatiku. Rasa sedih yang entah kenapa datangnya.
“Jakarta. Kerjaannya menjanjikan. Aku bakal kirim surat untuk kamu. Aku janji.” Ikrarnya pasti.

Baca:  TONGKAT PUTIH

*****

Waktu berlalu. Aku menghempaskan diktat kuliahku ke atas tempat tidur dengan lelah. Berikutnya tubuhku menyusul jatuh ke sana. Semua terrasa sangat merepotkan menjelang kelulusan.
Ya. Waktu sudah berlalu cukup lama setelah perpisahanku dengan Segara dipantai malam itu. Kami berkirim surat seperti apa yang ia janjikan selama setahun pertama, tetapi kemudian ia menghilang. Tak membalas suratku.
Dengan berpegang teguh terhadap janjinya padaku tentang masa depan kami, aku terus bertahan dengan Segara seorang dihatiku. Bahasa Inggriskupun meningkat jauh setelah aku kuliah dan aku ingin Segara tau itu agar dia berhenti mengolokku.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan. Itu Farel. Dengan malas aku bangun dari posisi tiduranku dan membuka pintu.
Kulihat Farel menggenggam sesuatu di tangannya. Ia menyodorkan benda itu padaku sembari menatapku prihatin. Dengan penasaran ku ambil benda itu dan mendapati sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Sebuah undangan pernikahan.

*****

Aku terdiam di depan sebuah rumah. Sementara suamiku tersenyum sangat lebar. “Surprise! Selamat ulang tahun pernikahan yang pertama, sayang!” Ia memelukku erat.
“Makasih.” Ujarku bahagia. Aku menghabiskan beberapa menit untuk menangis terharu dalam pelukannya.
Rumah yang selalu ada dalam bayanganku, rumah yang digambar Segara di atas pasir kini berdiri di depanku, jadi hadiah untuk ulang tahun pernikahanku yang pertama dengan Leo, suamiku.
Disitulah aku tinggal dan berbahagia dengan keluarga kecilku.

Tak kusadari mataku berair karena haru membaca pesan Segara. Tidak pernah terpikir olehku kami akan berakhir dijalan kami sendiri-sendiri seperti ini. Segara dan istrinya, kemudian aku dan Leo.
“Segara, sesekali kamu main lah ketempatku. Aku lagi proses bangun sekolah nih, sekolah suasta gratis tapi berstandar internasional buat anak-anak kurang mampu. Take a look, siapa tau kamu mau kasih saran-saran untuk gedungnya.” Ketikku di kolom pesan.
Tak lama pesan dari Segara masuk. “Nggak, Freya. Aku yakin kamu udah lakukan yang terbaik untuk gedung itu. Lebih baik kita ga usah ketemu. Karena itu bisa membangkitkan sesuatu yang harusnya gak ada dan menghancurkan kebahagiaan kita. Aku sudah cukup puas dengan dengar kabar dari kamu sendiri kalau kamu baik-baik aja. Sekali lagi, maafin aku Freya. Semuanya jauh dari ekspektasi kita.”
Aku sadar. Apa yang Segara katakan benar. Aku mencintai Leo, dan menghadirkan Segara kembali ke hidupku bukanlah ide yang baik bagi kami.
Aku menghela napas dan berpamit untuk pergi tidur pada Segara.
Kemudian aku bangkit, berjalan menuju kamar. Dimana Leo sudah ada di sana. Tertidur pulas setelah harinya yang melelahkan.

Chat History

Today, 3 Jan 2005
23.00Freya: “Hey! Kemana aja kamu?”
23.02Segara: “ceritanya panjang, Freya. Kehilangan alamatmu, pindah kerja keKalimantan, dijodohin sama mama, gitulah”
23.03Freya: “Hah kamu dijodohin? Do you love her?”
23.04Segara: Iadeh yang kuliah sastra inggris, udah jago sekarang bahasa inggrisnya! I do, Freya. Meskipun aku butuh waktu untuk belajar.”
23.05Freya: “Iadong, udah lama pingin pamer sama kamu, tapi kamu segala ngilang sih, ah good for you.”
23.06Segara: “Kamu? Gimana?”
23.10Freya: “Doing hard time semasa kuliah, kerja jadi translater di perusahaan minyak, kenalan sama suamiku sekarang and get married setelah tiga bulan pacaran.”
23.11Segara: “Waw! Cepet ya?”
Freya: “Smiling.”

Bagikan artikel ini
claudya fritsca
claudya fritsca

Putri Athena

Articles: 1

One comment

Leave a Reply