“Benar-benar anak macan dia”! Aria mengusap peluh di dahinya. Kini dua kakak beradik itu tengah duduk menyantap makan malam.
“Hus! jangan berkata begitu lah! bagaimanapun dia itu ponakanmu”! Rangga melotot pada adiknya yang cengegesan.
“Jadi kapan kita pulang! aku takut orang-orang serem itu mengejar sampai ke sini”!
“Besok pagi kita pulang ke Jakarta”. Rangga menjawab tegas. Dalam hatinya pun dia merasa takut sesuatu lebih buruk terjadi sebelum mereka sampai dengan selamat ke rumah.
“Cepat habiskan makanannya! kita seharusnya gak membiarkan Saga sendiri di dalam kamar”! Mereka melangkah ke luar restoran hotel dan langsung menaiki lift menuju kamar.
“Saga! jangaaaan”! Pekikan terdengar saat tubuh kecil itu sudah bersiap meluncur dari jendela. Tapi bukan Rangga namanya, pemegang piala kejuaraan lari paling cepat sejak SD sampai sebelum menjabat sebagai dirut perusahaan ternama, kalau untuk menyelamatkan putra mahkotanya saja gagal.
Seperdetik sebelum tubuh putranya meninggalkan jendela, lebih dulu tangannya mencengkram kuat pinggang mungil itu.
“Astaga! anakmu ini benar-benar binal”! Aria masih memegang dadanya yang hampir tak bernafas saat melihat pemandangan itu.
“Saga! jangan lagi nak! ayah tak mau kehilangan kamu”! Didekapnya tubuh kecil yang meronta itu kuat-kuat. Airmatanya tak disadari mengalir membasahi rambut ikal putra yang sangat dirindukannya.
“Nah, Saga? kita sedang naik pesawat! kamu suka kan? kita akan terbang seperti burung-burung”! Rangga mengukuhkan sabuk pada tubuh putranya. Anak itu tak menjawab, tentu karena dia tak memahami bahasa yang diucapkan dua lelaki asing yang menculiknya.
Hanya bola matanya yang bergerak-gerak liar. Sesekali mulut kecilnya mengeluarkan suara gemeletuk penuh kemarahan.
“Kasihan kamu nak! tentu tumbuh di hutan telah menjadikan kamu liar begini”!
“Hus! tak bisakah diam mulut kau itu hah”? Lagi-lagi Rangga melotot pada Aria yang selalu merasa menyudutkan anaknya.
“Ya ia lah! maaf! maaf”! Seperti yang mengerti maksud mereka Saga pun ikut melotot pada umnya.
Selama penerbangan menuju Jakarta Saga tidur gelisah di pangkuan ayahnya. Sesekali dari mulutnya terdengar erangan memanggil kata “Ibu”.
Rangga semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil itu, seakan-akan takut apabila anak itu sampai terlepas lagi dari hidupnya.
Matanya menerawang kosong ke luar jendela. Dilihatnya awan putih berarak-arak seakan tiada ujungnya.
Dari gumpalan putih awan itu memorinya kembali ke pedalaman, yang beberapa jam lalu ditinggalkannya.
“Kenapa kau tak mau ikut Sibiel? Aku ini suamimu, kita harus hidup bersama seperti dulu! Aku janji, tak kan pernah meninggalkan kamu dan anak kita lagi, aku janji!” Tangannya gemetar memegang tangan Sibiel yang tak sedikitpun enyah dari tempatnya.
Kini bulir biru pekat itu menatap balik ke matanya, seakan ingin menusuk sedetak jantung di dada lelaki itu.
“Tidak kanda, aku tidak bisa ikut denganmu, ayah sedang sakit keras, aku tak mungkin meninggalkannya. Gumamnya penuh ketegasan, membuat dada lelaki itu dipenuhi kecemasan.
“Ibuuu”! Percakapan penuh ketegangan itu terputus, seiring teriakan kecil itu semakin menjauh.
“Saga? Kanda! Aku mohon! Jangan ambil dia! Jangan kanda!” Matanya memelas, sungguh-sungguh memohon, membuat Rangga salah tingkah. Namun sebelum semuanya tenang, dari rerimbunan pohon terdengar teriakan yang memekakan telinga.
Sibiel semakin pucat, di sisi lain dia ingin mengejar putranya yang sudah tak terlihat, namun suara-suara di belakangnya pun adalah ancaman bagi lelaki yang selalu dicintainya.
“Pergilah kanda! Ayo pergi! Lari yang kencang!” Pada akhirnya ditepiskannya tangan Rangga, lalu dia berlari menghambur ke lain arah. Namun sebelum Rangga menyadari hal itu, suara orang-orang yang sudah mengepungnya terdengar semakin dekat.
“Maafkan ayah Saga, karena untuk sementara harus memisahkanmu dulu dengan ibumu, tapi ayah janji, suatu hari akan menjemput ibumu dan kita akan berkumpul seperti dulu. Lirihnya sambil mengusap kepala Saga yang terkulai di dadanya.
“Maaf mah! Saga masih belum terbiasa dengan kita, aku mohon mamah mau bersabar membantunya”! Rangga menceritakan keadaan putranya yang begitu sampai rumah mengamuk tak terkendali. Piring berisi makanan dan gelas-gelas yang dihidangkan di atas meja berhamburan menimbulkan suara gaduh mengerikan. Sementara wanita itu berdiri ketakutan di dekat Aria.
Saga sudah mulai lunak, dia terkulai lemas di pangkuan ayahnya.
“Mamah mengerti Rangga, dan mamah janji akan lebih bersabar”. Airmatanya mulai menetes membasahi wajahnya yang masih terlihat cantik. Betapa dia amat merindukan cucu yang selama ini hanya dapat dibayang-bayang dari cerita sulungnya.
***
“Aku ikut ya um”! Remaja tampan itu Saga. duabelas tahun usianya. Tumbuh di antara keluarga yang hangat, penuh cinta kasih dari ayah, paman dan Neneknya.
Meskipun tangan-tangan halus wanita itu telah menghilangkan sebahagian prilaku liarnya, tapi Saga tetap pada pribadinya yang memang dilahirkan dari alam.
Anak itu begitu kuat, rahangnya keras, tulang belulangnya menonjol pertanda kekuatan penuh ada dalam dirinya.
“Besok kamu ujian! jadilah anak yang baik”! Aria menjawab sambil mengulur kail pancingnya.
“Ah! ikut lah um! ujian kan besok, mancingkan sekarang! ikut yah”? Anak itu merajuk sambil menggelayuti bahu umnya yang tak kalah kekar.
“Tanya ayahmu saja lah”! Kemudian dibereskannya alat pancing itu dalam bagasi.
“Boleh kan yah”? Aria menatap ayahnya yang tengah membaca surat kabar.
“Boleh! tapi pulang sebelum maghrib”! Jawab Rangga singkat tanpa menoleh sedikitpun pada putranya.
“Lihat um! aku dapat ikan besar”! Tubuhnya menyembul dikedalaman. Aria yang berada di tepi sungai bersama teman-temannya terbelalak ngeri. Sungai yang dalam dan deras itu bukan main berbahayanya. Tapi seolah bermain di darat Rangga malah dengan santai timbul tenggelam dan dalam waktu amat singkat tangannya berhasil mencengkram seekor ikan besar.
“Wah! hebat sekali ponakanmu itu! ayo! sini! bawa ikannya”!
“Belajar berenang dari mana anak itu Ri? belum pernah aku melihat anak seberani dia”? Teman-teman Aria terlihat keheranan.
Sementara Yang ditanya hanya merenung seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.
***
“Sudahlah ayah! jangan memaksakan lagi pergi ke sana! tangan kanan ayah sudah jadi korbannya, apa ayah mau kehilangan tangan kiri juga? atau lebih parah
ayah bukan cuma dipanah tapi dipanggang jadi makan malam mau”?
“Hus! Saga! jangan bicara sembarang begitu nak! tak baik mengatai ayahmu yang tidak-tidak”!
“Ya ia deh nek! cuma bercanda kok”! Pemuda itu merajuki neneknya sambil tertawa cengengesan.
“Sementara Ayahnya yang tiada lain adalah Rangga hanya tersenyum ketir melihat ke tangan palsunya.
“Aku yang kali ini akan menjemput ibu! ayah cukup membekaliku doa saja yah, biar aku selamat”!
Ternyata Saga yang melihat prihatin kondisi ayahnya sudah punya rencana untuk segera menyusul ibunya di pedalaman sana.
Dia sudah bukan anak remaja di sungai pancing itu. Tadi malam adalah perayaan ulangtahunnya yang ke-22.
Bukan main tampan dan gagahnya anak itu, wajahnya bundar seperti ibunya, matanya yang biru gelap pun adalah turunan pasti ibunya.
“Hati-hati kamu nak! awas kalau pulang tidak membawa ibumu”! Sang nenek pun mewanti-wanti. Dia sudah tak banyak khawatir karena sepenuhnya percaya pada kemampuan cucunya.
Perkampungan pedalaman itu sudah banyak mengalami perubahan. Para penduduk sudah mulai menerima kebudayaan manusia umumnya. Mereka sudah rapi dalam pakaian
dari kain yang didapat dari pasar-pasar perkampungan di tepi hutan.
Beras, jagung, umbi sudah dibiasakan jadi makanan sehari-hari.
Pada jalanan yang berbukit itulah seorang pemuda tampan berjalan. Penampilannya jelas menunjukan bukan penduduk kampung yang diinjaknya. Dia adalah Saga.
Pemuda gagah dari Jakarta, yang datang hendak menjemput bunda tercinta.
“Apa anda mengenal ibu saya”? Dia mengawali percakapan dengan seorang wanita yang tengah mencuci sayuran di sungai.
Sungai itulah yang jadi tempat terakhir sebelum berpisah dengan ibunya belasan tahun lalu.
“Ibu kamu yang bernama Sibiel itu sudah tidak ada”! Perempuan dengan rambut terurai ke tanah itu menjelaskan masih dengan bahasa mereka. Beruntung Saga masih menghafal banyak kosa kata dan isyarat dari ayahnya sehingga dapat leluasa bicara mencari informasi.
“Lalu dimana dia sekarang”? Wajahnya menegang, jangan-jangan telah terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya.
Dari perempuan itu mengalirlah sebuah drama memilukan sampai membuat aliran airmata dari wajahnya.
“Bagaimana nak? kau berhasil”? Bapak tua sang kepala kampung memulai percakapan setelah Saga duduk di hadapannya.
Sinar la mpu minyak menggambarkan samar raut wajah muram pemuda itu.
“Terlambat pak! saya tidak berhasil menemukan ibu di sana, malahan justru mendapat cerita sangat menyedihkan”.
Kemudian diceritakannya apa saja yang tadi didengar dari perempuan tua pedalaman bekas tetangga keluarganya.
Cerita singkat yang diawali dengan kematian kakeknya beberapa tahun setelah pengambilan paksa dirinya, kemudian perbuatan biadab putra kepala suku yang merenggut kehormatan ibunya, sampai peristiwa pengusiran secara keji wanita yang tengah hamil besar hasil perbuatan bejad lelaki itu ke luar dusun.
Pak tua mendengarkan dengan sesekali mengangguk-angguk. Tak disadari bulir bening ikut merembes dari matanya.
“Sebentar nak! kalau tidak salah, beberapa tahun lalu ke desa ini pernah ada seorang wanita hamil dari pedalaman. Dia malah melahirkan di sini dibantu oleh dukun kampung. Apakah mungkin itu ibumu”?
Bagai mendapat suntikan semangat Saga menegangkan urat dahinya. Tatapannya lurus ke bola mata pak Tua.
“Benarkah itu pa? coba ceritakan pada saya tentang wanita itu”!
“Kira-kira 15 tahun lalu, datang seorang wanita pedalaman berwajah seperti bulan dan berkulit amat terang”,
“Ya ya ya ya! itu pasti ibu saya pak”! Saga tak dapat menguuasai diri sehingga memotong cerita pak Tua.
“Dia datang tengah malam dalam keadaan sangat mengkhawatirkan. Sepertinya dia akan segera melahirkan. Beruntung kami yang menemukannya segera membawa ke rumah dukun beranak, lalu lahirlah seorang bayi perempuan yang juga amat elok parasnya”.
“Lalu? dimana mereka sekarang pak”? Saga lebih antosias. Kini dipegangnya erat pergelangan lelaki itu.
“Sayang sekali, sehari setelah melahirkan wanita itu bersama bayinya menghilang. Bahkan tak lama penduduk dusun pedalaman berdatangan mencari wanita itu.
Mungkin itulah alasan kenapa dia tiba-tiba menghilang karena takut penduduk dusun pedalaman akan mencari dan mencelakakannya.
Sejak itu kami pun tak mencari mereka lagi sampai sekarang”.
oya, udah aku betulin hehe. 🙂
nanti bakal ada ulasannya di part selanjutnya. 🙂 *kelupaan*
Kok part I dengan PartII agak terputus, ya? sesi penculikannya kok ga ada?