Wanita Pembelah Batu
Belum juga aku bercengkrama dengan embun
Tangan-tangan perkasa sudah siap dengan senjata-senjata penghancur ragaku
Ah, harusnya jemari itu lentik dengan warna kuku yang ranum
Bukan mengunyah bara sinar mentari bersamaku
Mereka bergelar hawa yang harusnya merangkai bunga yang memancarkan aroma cinta
Namun, sang peran memaksa mereka harus bercengkrama dengan setting buram
Karena lidah mereka tak mampu memproduksi sekerat kata pun yang bisa didefinisikan
Hingga embun yang kutemui di pucuk ilalang melebur bersama angin kering
Kaki-kaki kuat tak berbusana itu masih menopang raga demi sepucuk daya esok hari
Ah, tak tahukah mereka bahwa semburat jingga
dan suara pemanggil setiap raga untuk bertatap rupa dengan Tuhan
sudah bersenandung merdu di tiap menara masjid?
Namun sayang, gendang-gendang mereka tak bisa menangkap gelombang suara
Hingga mereka berucap: “Malam, jangan cepat datang. Cadas-cadas ini belum semuanya kutaklukan.”
Kurang setuju dengan deskripsi tunarungu pada pusi ini. Umumnya, tunarungu itu ganteng-ganteng, cantik-cantik. Betul ga, sih? 🙂
itu stereotype. ga harus juga lah.
*Searching on Google* “stereotype”