CATATAN PERJALANAN SPIRITUAL

Hari keempat di Madinah, Sabtu 15 Februari.
Ini hari terakhir kami di kota Nabi, Madinah Al Munawarah.
Setelah memuaskan diri ber-i’tikaf dan shalat di masjid Nabawi, akhirnya Sabtu siang dimana kali terakhir kami menginjakkan kaki di kota sejuk nan damai ini.
Dengan pakaian lengkap ihram berwarna putih, kami melambaikan tangan untuk Madinah.
“Sampai jumpa kota mulia, aku berharap tak lama lagi dapat melepas rindu kembali”.

***

Masjid anggun ini bernama Bir Ali.
Salahsatu tempat yang dijadikan tempat Miqot oleh Rasulullah untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh.
Waktu yang ditempuh dari madinah dengan bis adalah satu setengah jam. Kami turun untuk melaksanakan shalat sunnah ihram.
Kemudian niat ihram bersama dipimpin karom di dalam bis. Dengan demikian terhitung sejak niat itulah larangan ihram itu berlaku.
Larangan tersebut diantaranya, tidak memakai wangi-wangian, tidak mencukur bulu/rambut, tidak membunuh binatang, dan tidak melanggar pakaian ihram yaitu untuk pria hanya dua helai kain ihram yang sudah ditentukan batas-batasnya, sedangkan wanita hanya boleh membuka wajah juga telapak tangan.
Begitu Selesai niat, artinya kami sudah melakukan rukun pertama dari 4 rukun bagi umroh wajib.
Rukun selanjutnya yaitu Tawaf, Sa’i dan Tahallul di Masjidil haram setibanya nanti di kota Mekah.

Baca:  IBUKU, PELITA DESAKU

Sepanjang jalan menuju kota mekah kami dipimpin untuk terus menyerukan talbiyah.
“Aku memenuhi panggilanMu ya Allah, aku memenuhi panggilanMu. Aku memenuhi panggilanMu tiada sekutu bagiMu, aku memenuhi panggilanMu. Sesungguhnya pujian dan nikmat adalah milikMu, begitu juga kerajaan tiada sekutu bagiMu”.

Tiba Di kota Mekah.
Dengan tetap menjaga larangan Ihram, kami langsung memasuki hotel untuk cek in kamar selama di kota Mekah.
Pukul 23.00, kaki ini kembali melangkah menuju satu kiblat ‘Baitullah’.
Kali ini jarak dengan berjalan kaki dari hotel menuju Masjidil Haram tidak sedekat waktu ke Nabawi. Namun dengan semangat yang memuncak, jarak berapa puluh kilo pun sepertinya terasa pendek saja.
Di sini lebih terasa kental suasana Arabnya, sepanjang jalan orang berkerumun, melakukan tran saksi jual beli.
Malam atau siang kota Mekah tetap hidup, aktifitas ibadah dan perniagaan terus berjalan seolah tiada detik berhenti.
Berjuta-juta manusia dari belahan dunia datang ke titik ini, kudengar pula ribuan macam bahasa yang diucapkan saat mereka bersama menuju Masjid.
Tiba Di Masjidil Haram, kami menyelesaikan Umroh dengan melakukan tawaf, yakni berjalan memutari Ka’bah sebanyak 7 putaran.
Jangan tanyakan suasana atau keadaan di seputar kotak batu yang menjadi kiblat shalat tersebut, karena sudah pasti padat, riuh, dan bagi yang tidak cukup mental akan dekat dengan stres.
Ini memang bukan Haji, tetapi tidak dalam musim haji atau umroh, orang-orang takkan ada yang berhenti tawaf di sini.
Jangankan yang disabilitas Netra, yang berkursi roda atau yang kurang sehat, yang normal dan sehat wal afiat saja akan menjadikan tempat ini titik yang paling berhati-hati.
Tapi bukan berarti konsentrasi di tempat ini harus lengah, sebab dalam tawaf pun ada aturannya.

Rangkaian tawaf ditutup dengan melaksanakan shalat sunnah 2 rakaat dan berdoa di Multazam serta Makom Ibrahim.

Kemudian kami melaksanakan Sa’i, yakni berjalan 7 kali bolak-balik dari bukit Shofa ke bukit Marwah.
Jika di tanah air yang kubayangkan berjalan di sana itu ibarat benar-benar di atas bukit pasir, jangan harap itu akan terjadi,
sebab tempat sya’i hanyalah sebuah pelataran dalam sebuah ruangan panjang berlantai kramik dan beratap lampu-lampu sepanjang 800 meter dengan galon-galon Zamzam di kanan kirinya.
Kedua bukit yakni Shofa dan Marwah akan ditandai oleh undakan mendatar yang lantainya akan terasa kasar karena dibuat dari marmer kotak-kotak timbul.
Jangan lupa untuk menghitung putarannya yah! jangan sampai kurang dari 7 putaran loh?
Jangan pula sampai kelebihan jadi 8 atau 9, sebab 7 putaran saja sudah membuat betis ini ngilu dan kaku.
Bagi Disabilitas netra sepertiku, tempat Sya’i itu cukup Aksesibel sebab ukurannya yang luas dan datar, tapi jangan coba-coba berjalan sendiri, sebab khawatir mengganggu orang lain yang juga sedang Sya’i.
Kita cukup berjalan santai, tanpa harus selalu bergandengan dan khusuk memanjatkan doa atau berdzikir.
Rumus untuk menghitung bilangan Sya’i yang diperoleh saat manasik adalah, hitungan dimulai saat kaki sudah naik ke bukit Marwah. Selanjutnya hitungan ketiga ketika tiba di Marwah lagi, sampai pada hitungan ketujuh. Jadi, hitung saja
angka ganjilnya saat berada di Marwah.
Begitu Sya’i selesai kami akan melakukan rukun akhir yakni Tahallul.
Akupun berpisah dengan rombongan pria dan memasuki tempat khusus tahallul wanita. Kami akan saling menggunting sedikit rambut sebagai tanda rangkaian Umroh telah selesai.
Beruntung banyak jamaah yang membawa gunting, sehingga aku tak kerepotan meminjam karena gunting yang disita petugas di bandara.

Baca:  Menghadapi sakit dengan sabar

Esok harinya Ahad, 16 Februari di kota Mekah.
Akibat kelelahan dengan perjalanan dan ritual Umroh sehari sebelumnya, para jamaah pun tidak diberi jadwal yang ketat oleh travel. Kami memanfaatkan waktu untuk beristirahat sambil menyiapkan tenaga untuk kegiatan selanjutnya.
Ahad Sore menjelang maghrib, aku dan jamaah lain kembali melangkahkan kaki menyusuri jalanan sepanjang hotel menuju Masjidil Haram.
Di Mekah tentu sudah tak kaget lagi dengan prilaku orang-orang sedunia yang aneh dan kadang membuat geli.
Jika saat tiba di Madinah panggilan ‘Haji’ itu membuat sedikit riskan, lama-lama akhirnya dapat dimengerti juga.
Orang-orang di sini, memang akan selalu memanggil dengan sebutan ‘Haji, wal Hajah’ kepada siapa saja untuk berkomunikasi.
Ya, sebenernya cuma rasa GR saja karena di tanah air panggilan ‘Haji’ itu lumayan terhormat.
Ada yang berbeda antara Masjid Nabawi dengan Masjidil Haram yang aku rasakan.
Masjidil Haram yang tak kulihat jelas bagaimana bentuk rupanya, menyiratkan rasa sedikit tak nyaman karena di sini laki-laki dan perempuan seakan tidak ada hijabnya.
Dari mulai menginjakkan kaki di pelataran sampai karpet shalat, aku masih mendengar suara ribut kaum Adam.
Biarlah, toh mereka semua datang ke tempat ini jauh-jauh dari pelosok dunia memang hanya untuk beribadah. Itu fikirku.
Anehnya, di Masjidil Haram aku malah kesulitan mendapat air Zamzam, meskipun jelas di sinilah sumbernya.
Mungkin karena bentuk Masjid yang terlalu luas berlantai-lantai, sehingga letak air Zamzam agak sulit ditemui.
Kami malah pernah salah mengambil air yang dikira itu Zamzam padahal air minum biasa yang juga disediakan di luar masjid.
Ssetelah sampai di dalam baru kami tahu sebab pada tempat air zamzam ada tulisan Zamzam water sedangkan air sebelumnya katanya hanya bertuliskan Drinking water.
Saat Shalat berjamaah fenomena di Nabawi juga terjadi di sini, yaitu setiap habis shalat selalu disusul shalat Jenazah.
“Lumayan, menambah celengan nilai shalat yang memang di sini adalah 10.000 kali lipat”. Kata teman di sebelahku.
Sambil menunggu shalat Isha, kami ber-tilawah tentu dengan media Al-quran Braille.
Seperti yang sudah-sudah di Nabawi, orang-orang di sekitar banyak yang melirik bahkan ada pula yang mengambil gambar.
Tak sedikit dari mereka yang bertanya dan mengajak berkenalan. Tentu saja hanya dari Indonesia atau Malasia yang bisa mengobrol. Sedangkan yang dari negara lain cukup melirik-lirik saja.
Hari kedua di kota Mekah, tanggal 17 Februari.
Waktunya berziarah ke tempat-tempat hebat di kota Mekah + Jeddah.
Tempat pertama adalah Jabal Nur. Dimana tempat inilah yang pertama menjadi saksi Rasul menerima wahyu.
Sayangnya kami tidak diizinkan untuk mendaki terlalu jauh dengan alasan keamanan. Wal hasil hanya berfoto ria saja di bawah bukit pasir tersebut.
Tempat kedua adalah Jabal Rahmah.
Ini dia yang konon katanya menjadi tempat pertemuan ayahhanda Adam dan Ibunda Siti Hawa.
Katanya juga, jika berdoa di sini perbanyaklah mendoakan pasangan atau memohon jodoh. Pantas saja orang betah berlama-lama di tempat ini, barangkali doanya sangat khusuk yah?

Baca:  Persahabatan Inklusi

Tempat selanjutnya adalah Jeddah.
Di Jeddah pun kami mengunjungi beberapa tempat seperti Masjid terapung, laut merah, masjid Qisas dan pasar khas Indonesia Ali Murah.
Saat melewati Masjid Qisas inilah uraian mendirikan bulu roma diceritakan pak Abdul Rahman.
Kenapa masjidnya bernama Qisas, karena di sinilah para pidana penggal akan di-eksekusi.
Setiap Minggunya selalu ada yang dapat giliran.
Sang pidana akan diikat tangan kakinya ke sebuah tiang, kemudian duduk posisi tasyahud awal, kedua mata ditutup kain hitam, selanjutnya,
“Krek”! pedang algojo memisahkan kepalanya.
Begitu kepala terputus langsung dibawa oleh ambulan ke rumah sakit untuk dijahit kembali. Setelah itu dishalatkan dan dimakamkan seperti jenazah lainnya.

Bagikan artikel ini
nensinur Sastra
nensinur Sastra

orangnya imut-imut sedikit amit-amit. :)

Articles: 18

4 Comments

  1. wowowowowow! ternyata salah yah? ckckckck, blm sempat baca peraturan. :p ok deh! edit aja gimana enaknya. atau kl footnote mau dihilangkan juga gpp, soalnya emang itu cuma kopas juga Dim. @ Eka. ia semoga ya say!

  2. Subhanallah, selamat ya teh udah duluan menapakkan kaki di tanah suci. Semoga bisa menular. hehe. oia, saya izin edit sedikit tulisannya. Hanya membagi jadi beberapa halaman. karena saya cek dalam versi MS Word ada hampir 13 halaman. Jadi saya bagi2 dalam beberapa web page agar loading tidak terlalu berat. Mungkin untuk posting2 berikutnya bisa dibagi-bagi postingnya agar lebih seru :). Lalu untuk kategori, sebaiknya memilih satu kategori untuk tiap posting. Dalam tulisan ini saya pilihkan kategori wisata. Oia, nanti juga jangan lupa ya untuk tag agar saling linked dengan tulisan2 sejenis. happy blogging! 🙂

Leave a Reply