Di Masjid nabawi, sesuai instrupsi karom, kami melaksanakan shalat dzuhur dijama dengan ashar karena harus segera kembali ke hotel untuk cek in kamar.
“Sebelum maghrib, aku akan kembali”! Janjiku dalam hati, sambil berusaha menyelinap di antara tubuh besar milik orang-orang Pakistan.
Hal pertama yang cukup membuatku tercenung, ketika shalat di Masjid Nabawi adalah banyaknya wanita yang membawa bayi/balita dan meninggalkannya begitu saja dalam roda-roda di halaman masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Disinilah keutamaan shalat di Nabawi terlihat, ketika semua orang berharap nnilai ibadah seribu kali lipatnya.
Saat shalat, kontan bayi-bayi itu menangis kencang dalam kurun waktu 10 sampai 15 menit. Di Indonesia, bukankah kalau ada bayi menangis sebaliknya di gendong dan didiamkan?
Ah, entah lah, yang pasti tangis anak-anak suci itu sedikitpun tidak mengganggu jalannya shalat.
Katanya, masjid Nabawi itu sangat indah.
Lampu-lampunya terbuat dari kristal, tiang-tiang menjulang tinggi, serta arsitekturnya yang bergaya eropa, membuat lamunan ini melayang pada sekian ratus abad lalu.
Bagaimana wujud sebenarnya dari masjid ini saat Rasulullah masih hidup dan memakmurkannya? sebanyak inikah umat yang datang bersuci di dalamnya? seperti apa mereka menjaga ketertiban dan kesantunannya? karena ribuan orang di sini masih terasa kental sifat egonya.
Di Toilet tadi perempuan Hindi dan Pakistan menyerobot antrian tanpa permisi, di pintu masuk, Askar galak itu hampir mengusir kami karena masih membawa beberapa barang bawaan.
Subhanallah, cukup menguras emosi dan kesabaran teruji.
Kamar ini bernomorkan 6.12. Berada di lantai 6 dari belasan lantai yang ada.
MQ travel memang selalu mendapat banyak jamaah, untuk rombongan kali ini saja sampai menumpangi 2 pesawat. Satu pesawat Saudi Air disewakan khusus karena 400 penumpangnya keseluruhan adalah jamaaah MQ.
Satu Pesawat lagi menggunakan Garuda yang transit di Jeddah, tersisa kurang lebih 50 orang jamaah.
Perjalanan umroh memang berbeda dengan ibadah haji. Jika seluruh jamaah terdiri dari orang-orang dewasa dan lanjut usia, untuk ibadah umroh usia tidak jadi batasan. Terbukti dari banyaknya jama’aah yang membawa anak-anak, bahkan ada remaja yang berangkat tanpa didampingi orangtuanya.
Pantas saja panitia itu kesibukannya berlipat dengan membagi-bagi kamar yang harus sesuai dengan anggota keluarga masing-masing.
Seorang ibu terdengar bicara dengan suara tinggi di pintu kamar kami, katanya dia tidak mendapat kamar yang sama dengan anak lelakinya.
Banyak lagi masalah-masalah teknis yang mungkin dialami panitia travel. Syuqur Alhamdulillah, aku dan 2 temanku yang memang sudah memesan kamar agar selalu bersama tidak mengalami kendala yang berarti, sebab Dalam kamar selama di Madinah kami akan tinggal bertiga saja, tentu itu membuat jauh lebih nyaman.
7 orang yang merupakan utusan kantor dalam ibadah umroh ini yaitu aku bersama 3 kariawan yang menjadi pendamping, dan 3 peserta audisi baca Quran Braille yang semuanya adalah disabilitas Netra.
Selesai melakukan cek in kamar dan membereskan barang-barang, 1 jam menjelang maghrib kami sudah kembali ke Nabawi. Sengaja datang lebih awal dikarenakan semakin mendekat waktu shalat masjid akan semakin penuh sehingga kami khawatir tidak mendapat duduk di karpet.
Benar saja, selama di madinah Masjid Nabawi tak pernah sepi. Beberapa waktu shalat aku malah tak kebagian duduk di karpet, hanya menggelar sajadah di lantai yang dingin.
Hari kedua di madinah, yaitu tanggal 13 Februari, kami berkesempatan mengunjungi Raudhah.
Tak dapat digambarkan suasana yang amat padat dengan ribuan orang di sana. Berdesakan dengan satu tujuan mendapat beberapa menit saja untuk bersujud di taman syurga tersebut.
Beberapa puluh meter di dekat Raudhah, kami masih harus duduk menunggu antrian. Askar-askar wanita dengan bahasa pribumi mengatur ketat agar para jamaah bisa masuk teratur.
Untuk jamaah wanita khusus dari Indonesia sengaja diberi waktu terpisah dengan jamaah dari timur tengah dan Eropa. Untuk menghindari kecelakaan akibat benturan fisik yang jelas jauh berbeda.
Setelah menunggu antrian selama hampir 4 jam, akhirnya aku, manusia tak tahu diri dan penuh hina ini dapat pula menginjak karpet yang katanya berwana hijau ‘Raudhah’.
Meski keadaan yang bising dengan teriakan para askar dan ribuan orang, aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menguntai beberapa do’a sambil meneteskan airmata.
Jujur kala itu yang sangat ingin aku sampaikan adalah, Allah Subhanahuata’ala memberikan nikmat kubur dan hadiah syurga bagi ayah dan ibuku tercinta.
Siapapun yang berdoa khusuk di sana, dia takkan peduli dengan apapun lagi baik suara orang berteriak atau malah tubuh yang terinjak-injak.
Mungkin memang begitu yah fenomena jama’ah tanah air, para askar itu harus pula menjaga ketat kesucian Raudhah agar tidak dijadikan ladang musrik oleh orang-orang yang kurang ilmu.
Keluar dari Nabawi, sambil menunggu shalat dzuhur, kami seperti biasa ber-tilawah sambil menikmati Zamzam yang tersedia di setiap pintu.
Air zamzam memang berasal dari Mekah, namun untuk Nabawi, air yang konon penuh khasiat obat itu selalu disuplai oleh teng-teng besar dari kota Mekah. Itu kata Ustadz Abdul Rahman.
Hari ketiga di Madinah, yaitu tanggal 14 Februari.
Seluruh jamaah diajak berziarah ke beberapa tempat bersejarah di Madinah.
Tempat tersebut adalah Masjid Quba, Kebun kurma, Jabal Uhud dan masjid Kiblat Tain.
Setelah shalat 2 rakaat di masjid Quba, kami duduk-duduk di beranda masjid sambil mendengarkan tausiah dari AA Gim. Suasana Jumat yang sejuk, ditambah semilirnya angin Madinah membuat hati dan fikiran ini seakan lebih terang benderang.
Di Jabal Uhud kami hanya turun sekedar mengambil gambar, begitupun di Masjid Kiblat tain.
Sedangkan di kebun Kurma banyak jamaah yang menyempatkan berbelanja.
“Sayang bulan Februari ini belum masanya kurma berbuah, jadi kita tidak bisa memakan kurma sepuasnya seperti saat panen tiba”. Itu kata Pak Abdul Rahman saat kami kembali ke dalam bis.
Di Madinah ini ada satu jenis kurma bernama Ajwa. Kurma ini sering pula disebut kurma Nabi, karena Nabi Muhammad SAW hanya memakan kurma ini.
Kurma yang bentuknya kecil kering kurang menarik ini, justru kurma yang paling baik khasiatnya.
Selain untuk konsumsi makanan, kurma ini dapat menawar racun dalam tubuh, menyembuhkan penyakit dan menghindarkan dari sihir.
Hal ini tertera pada hadits Nabi:
Dalam Shahih Buhari dan Muslim, diriwayatan oleh Saad bin Abi Waqash, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda “Barangsiapa mengkonsumsi kurma Ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun atau sihir”.
wowowowowow! ternyata salah yah? ckckckck, blm sempat baca peraturan. :p ok deh! edit aja gimana enaknya. atau kl footnote mau dihilangkan juga gpp, soalnya emang itu cuma kopas juga Dim. @ Eka. ia semoga ya say!
udah beres kok. tenang aja.
wuih…Alhamdulillah teteh udah duluan ya. aku pengen ehehheeh….keren teh! semoga menular!
Subhanallah, selamat ya teh udah duluan menapakkan kaki di tanah suci. Semoga bisa menular. hehe. oia, saya izin edit sedikit tulisannya. Hanya membagi jadi beberapa halaman. karena saya cek dalam versi MS Word ada hampir 13 halaman. Jadi saya bagi2 dalam beberapa web page agar loading tidak terlalu berat. Mungkin untuk posting2 berikutnya bisa dibagi-bagi postingnya agar lebih seru :). Lalu untuk kategori, sebaiknya memilih satu kategori untuk tiap posting. Dalam tulisan ini saya pilihkan kategori wisata. Oia, nanti juga jangan lupa ya untuk tag agar saling linked dengan tulisan2 sejenis. happy blogging! 🙂