Bulir Berharga Sang Disabilitas

Malam menyejukkan dengan belaian lembut angin semilir. Begitu hening dan memanjakan. Penduduk kampung pasti sudah tertidur pulas, begitu juga semua makhluk alam raya. Di tengah keluwesan hati, sebuah keluarga kecil sedang menanti pemberian ilahi. Sampai akhirnya tangisan pemecah hening menyeruak menggelayuti gendang telinga. Memancing hati yang tadinya penuh kegalauan untuk segera mengucap syukur.

 

”Selamat, anak Bapak seorang perempuan” ucap Bidan Desa sembari menatap nanar dinding Puskesmas yang diterangi oleh dua bola lampu redup.

 

Tidak diperdulikannya lagi bentuk wajah dan gurat senyum Bu Bidan yang mengundang tanda tanya besar. Langsung saja laki-laki paruh baya itu berucap syukur sembari memberi sujud kepada yang Maha Kuasa. Terbersik pula diingatannya bahwa bayi perempuanlah yang sudah mereka dambakan sejak lama. Tepatnya untuk melengkapi silsilah keluarga yang sudah dikaruniai seorang anak sulung laki-laki.

 

Ya, dia Bapakku. Pak Sulaiman yang merupakan seorang guru honorer yang bekerja di sebuah Sekolah Dasar dengan penghasilan yang sangat minim. Sikapnya yang sangat lembut membuat Ibuku seakan tidak pernah menghargainya. Sering kali terdengar bentakan keras dari seorang isteri yang seharusnya bertutur lembut, terlebih kepada suaminya sendiri. Namun entah kenapa, ini sudah menjadi kebiasaan. Para tetangga pun kerap kali menjuluki Bapak sebagai suami yang takut isteri.

 

***

 

”Apa?” pekik histeris seorang perempuan pemarah yang biasa ku sapa Ibu. ”Buang dia! Jauhkan bayi aneh itu dariku!” sambungnya lagi.

 

Bapak yang hatinya sangat peka dengan suasana pun sampai berderai air mata. Perasaannya seperti terbanting di selaksa surga tanpa matahari. Entahlah, mungkin dia juga menyesali keberadaan Cantika. Ya, nama adik baru yang sudah dipersiapkan sejak lama.

 

”Sudah, Bu! Jangan berkata seperti itu. Bagaimanapun juga bayi ini keluar dari rahimmu. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini kamu selalu mengajaknya pergi kemanapun” jelas Bapakku yang sepertinya tidak mendapatkan respon apapun.

 

Memang benar bila Ibuku adalah perempuan yang berwatak arogan. Begitu bencinya dia menatap adik baruku yang berada di dalam keranjang bayi. Matanya merah, seperti tergambar berapa juta kilo gram kebencian yang ditahannya.

Baca:  Hanya Seorang Pecinta

 

***

 

Dengan hati yang ikut teriris, kujaga dengan baik buah hati Bapak dan Ibuku yang masih berumur lima tahun. Ditemani dengan kursi roda kecil Cantika bermain di ruang tamu. Ya, entah kenapa ada kulit ari yang membungkus kedua kakinya sampai batas lutut hingga membuatnya tidak terlihat. Seperti ada potongan paksa yang tidak meninggalkan sedikitpun gorasan pada garis pembatas itu. Benar-benar terbungkus rapi oleh kulit pada umumnya.

 

Kujaga dia semampuku. Bapak yang baru saja menemui sang khalik empat puluh hari yang lalu juga tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Terlebih Ibu, tidak pernah terpancar kasih sayang sedikitpun dari kedua bola matanya untuk Cantika. Biasanya Bapaklah yang mengurus Cantik dengan telaten. Sampai pada akhirnya, radang paru-paru yang sudah diderita seorang guru Sekolah Dasar itu benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Direnggutnya Bapakku tanpa memikirkan nasib Cantik nantinya. Aku takut, sudah ada selaksa gundah dihatiku saat ini.

 

***

 

Kemana perginya para tetangga yang dulunya menyematkan selamat untuk lahirnya Cantika. Mereka menghilang begitu saja, memang ada tatapan berbeda dari beberapa pasang mata itu. Tidak ku pahami betul maknanya, entah kasihan atau merasa muak dan jijik dengan keadaan Cantik yang lahir tanpa setengah kakinya. Ibu yang selalu marah-marah juga membuatku berpikir untuk mengakhiri semuanya. Aku hanya laki-laki kecil yang baru saja menginjakkan kaki di bangku Sekolah Menengah Pertama. Seharusnya beban batin seperti ini belum harus melekat pada hati kecil yang penuh gundah seperti hatiku. Biasanya anak seumurku hanya bisa bermain sepuas-puasnya. Kejadian ini sempat membuat aku berpikir bahwa Tuhan tidak pernah adil.

 

Belakangan ini, kerap kali Cantika mengalami hal yang masih tabu bagiku. Matanya menjelit, seakan bola kecil bundar yang ada di dalamnya memaksa ingin keluar. Suara yang biasanya terdengar sangat lembut menjelma menjadi teriakan-teriakan disertai lengkingan misterius. Mulutnya setengah terbuka, disertai pandangan dengan bola mata mengarah ke atas. Aku sangat ketakutan. Ibu seraya menyuruhku mengambil sendok makan, entah untuk apa.

 

Ternyata sendok itu dimasukkan oleh Ibu kedalam mulut adik kecilku. Ku pikir dia akan membunuhnya, ternyata hal itu dilakukan untuk melindungi lidah Cantika dari gigitan taring-taringnya yang terbuka dan mengatup dengan keras secara berulang-ulang.

 

”Ternyata ada sisi baik dari Ibu yang selama ini sering menghardik” pikirku saat itu.

 

Suasana tengah malam yang mencekam juga menjadi saksi bisu keadaan mengerikan ini.

 

”Oh Tuhan, selain disabilitas fisik anak ini juga kejang. Apa yang harus kulakukan?” gerutu Ibu yang masih saja mengomel dengan kata-kata khasnya.

 

Malam-malam mencekam seperti ini sudah cukup sering kurasakan. Entah sembilan, sepuluh atau berapa kali. Tidak kuat memori otakku untuk menghitung ulang. Namun, sepertinya kebiasaan inilah yang merubah sikap dan pola hidup adik kesayanganku itu. Adik kecil yang dulunya masih bisa bermain asyik ditemani kursi rodanya. Ya, walaupun dia tidak memiliki teman sebaya. Kini sudah mulai terlihat lain dari biasanya. Bibir tipisnya terlihat sedikit menebal dan tidak kunjung merapat, tatapannya kosong dan sayu, dia pun sudah tidak bisa bersuara lagi, membisu entah kenapa. Sepertinya ada sebuah hal yang tak ku mengerti menjadi penyebab semua ini.

Baca:  Langit Senja Bagian 12

 

”Karena sering kejang, anak Ibu mengalami gangguan pada syaraf otaknya” jelas Bu Bidan yang masih setia mengurus penyakit-penyakit yang diderita Cantik sejak dia baru lahir.

 

”Ya Tuhan, kenapa bisa seperti itu ya, Bu?” tanya Ibuku dengan guratan sesel yang semakin bergelora.

 

Hanya dibalas Bu Bidan dengan tatapan nanar lagi. Sama persis saat kulihat matanya pada malam kelahiran Cantika. Aku benar-benar tidak habis pikir, badan mungil yang belum berdosa itu harus menambah lagi deritanya. Sepertinya Tuhan memberikan semua kesedihan ini karena kecintaan-Nya kepada Cantika amat besar. Begitulah kata hati yang ku ucap setelah beberapa hari yang lalu ku saksikan acara religi disebuah stasiun televisi, yang menyatakan bahwa cobaan diberikan Tuhan kepada hamba yang dikasihi-Nya.

 

***

 

Ternyata pikiranku salah, kupikir Ibu akan mengasihi Cantika setelah semua kejadian memilukan ini. Tetapi ternyata, semakin keji tatapan Ibu kepada adik kecilku. Mungkin Ibu merasa malu memiliki seorang anak disabilitas seperti Cantika. Malu dengan teman-temannya, tetangga, dan semua orang yang seakan menghina janda dua anak ini. Aku pun memahami semua itu, namun semua hal yang dialami Cantika ini tidak pernah diinginkan dan dipinta oleh adikku yang malang. Dia tak bisa berlaku apa-apa lagi dengan semua garis hidup yang sudah tertata rapi di buku catatan sang pencipta. Aku mengasihimu, Dik. Namun apalah dayaku. Tidak akan bisa ku ubah cara pikir Ibu dengan umur sebelia ini.

 

Waktu merangkak maju, melewati beberapa tepian senja yang digelayuti oleh luka menganga. Adik kecilku sudah melewati malam-malam awal saat dia mulai berubah. Mungkin dia sudah kebal dan terbiasa. Aku yang sudah duduk dibangku kelas dua juga sudah banyak memberinya pelajaran-pelajaran kecil. Mulai dari cara makan, barpakaian, menulis serta membaca. Meskipun tak ku pungkiri hasilnya belum begitu memuaskan.

 

Pada senja dipertengahan Bulan Agustus ini, kulihat tulisan pertama Cantika yang dicoretkannya pada dinding ruang tamu. Memang tidak jelas, bahkan acak-acakan. Namun, hatiku sedikit merinding ketika mengetahui bahwa pelajaran yang kuberikan selama ini bisa diterima dan dilaksanakannya. Tulisan singkat, seperti anak pada umumnya yang baru belajar. Cantika. Ya, dia membuat namanya di dinding.

 

”Heh… kamu ini bisanya cuma merusak saja” bentak Ibu yang tiba-tiba datang dan mengacaukan suasana hikmat ini.

 

Dengan tatapan pasrah Cantika membalasnya. Langsung saja kutinggalkan dua ibu dan anak itu ke kamar, aku takut.

 

”Apa ini? Cantika-cantika, memangnya kamu cantik apa?” bentak Ibu lagi.

 

Adikku yang malang hanya berucap kaku, entah apa yang dikatakannya. Mungkin dia ingin bertutur maaf atau ingin berkata ”Aku ini anakmu juga, Bu” atau apapunlah, namun kata-katanya sama sekali tidak dapat ku mengerti. Akhirnya, buliran berharga itu keluar, mungkin Cantika tidak dapat menahannya lagi.

Baca:  Harga sebuah Pengabdian

 

”Apa kamu! Bisanya cuma menangis saja. Dasar anak sialan!” bentak Ibu untuk kesekian kalinya. Aku hanya berani menyelinap di lubang kecil yang berada di dinding kamar. Aku takut kemarahan Ibu juga menjalar padaku. Maklum pikiran seorang anak kelas dua Sekolah Menengah Pertama.

 

Sepertinya ketakutanku benar-benar terjadi. Digeretnya Cantika menuju kamar mandi, mungkin rasanya begitu sakit. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdiam dan terisak.

 

”Byur… Byur…” suara air yang diguyurkan ke badan yang penuh derita itu.

 

Mataku masih bisa menatapnya dengan jelas. Terbayang pula dinginnya air yang diguyurkan itu. Ditambah suasana senja yang begitu berkilau. Angin dingin dan lembab juga terkontaminasi di dalam guyuran itu menjadi satu paket.

 

”Cantik?” kubuka pintu kamar mandi yang berada tepat didepan kamarku.

 

Pintu yang baru saja ditutup Ibu dengan gaya membanting lalu dia berlalu.

 

”Kamu tidak apa-apa kan, Dik?” tanyaku dengan ditemani buliran air mata yang begitu mendesak ingin keluar.

 

Diangguk-anggukkannya kepala untuk memperjelas apa yang dilafaskannya dengan nada-nada asing yang tidak ku ketahui maknanya. Kuajak dia ke kamar lalu ku gantikan bajunya, sembari ku keringkan badannya yang basah kuyup. Sudah hafal akan kejadian ini. Begitu sering Ibu melakukan tindakan kasar ini kepada Cantik dan aku.

 

***

 

Satu minggu berlalu begitu saja, saking biasanya kejadian kasar terjadi di rumah ini membuat semua cepat terlupakan. Kulihat ada yang berbeda dari adik perempuanku. Bibirnya memucat dan suhu tubuhnya meningkat. Saat kuraba keningnya terasa lebih hangat dari menyentuh bara. Kekhawatiran sedikit membumbui perasaanku. Namun, ini adalah jam pergi sekolah. Terpaksa aku harus meninggalkannya sendirian. Karena Ibu juga sudah pergi ke rumah tetangga sebelah untuk menggeluti tugasnya sebagai buruh cuci.

 

Selaksa batinku berdegup. Kulihat bendera berwarna kuning gelap sudah terpampang di dinding rumah. Seperti runtuh batinku. Dugaanku benar sepertinya, adik manisku sudah meninggalkan kami. Meninggalkan pula dunia gemerlap ini. Mungkin tubuhnya sudah tidak mampu lagi menahan sakitnya hujaman air di senja terakhir itu. Hanya terbujur kaku dikelilingi oleh para tetangga yang membacakan do’a-do’a. Diatas kepalanya ada seorang perempuan muda, janda dua anak yang sedang tersedu dan meratapi semua penyesalan. Aku pun langsung duduk dan memeluknya dengan penuh derai air mata.

 

***

 

”Ibu aku minta maaf” ada tulisan acak-acakan, sulit dibaca yang tergeletak di sebuah kertas yang tergulung kumal di dekat kamar tidur. Langsung saja kuserahkan tulisan itu kepada Ibu. Dengan wajah sendu yang disisakan duka tiga hari yang lalu, Ibu mengambilnya. Sontak saja kertas usang itu diletakkannya di dada dengan jeritan tangis yang mengiringi. Untunglah kini Ibu sudah peka dengan cinta dan kasih sayang. Namun, ku sesalkan semua yang terjadi. Karena kebahagiaan keluarga kecil yang selalu kami harapkan hanya menyisakan dua personilnya. Hingga kini, aku masih suka mengenang kejadian mengharukan yang terjadi di pelataran senja itu, ditambah buliran air mata Cantika yang keluar dengan syahdunya.

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Bagikan artikel ini
Is Susanti
Is Susanti
Articles: 2

Leave a Reply