Tapi apa yang terjadi, seperti ada aliran listrik halus di tubuhku, mulutku terdiam tak mampu berkata-kata. Hanya darahku yang mengalir cepat ke kepala membantu kerja otakku membuka kembali lembaran-lembaran halus memory. Aku tak percaya. Perempuan yang ada di hadapanku sekarang adalah Refa. Wajahnya masih tidak terlalu berubah dengan yang ada di foto buku angkatan. Refa tersenyum manis padaku mengisyaratkan “tak apa-apa kok”. Senyumnya masih tak berubah. Tapi yang Aku sesali, Ia seperti tidak mengenaliku sama sekali. Entah karena aku yang sudah banyak berubah, atau Aku yang memang tak berarti baginya.
Aku tersadar dari lamunanku. Kubuka kacamataku berharap Ia sedikit ingat. Tapi tetap tak ada tanda-tanda bahwa kami sudah pernah saling mengenal. Bagai bintang yang sudah kehabisan energinya, hatiku hancur tak berbekas. Seluruh harapan dan imagi tentang Refa hanyalah angan kosong. “Ah, mungkin aku salah orang” hiburku dalam hati.
Masih tak mampu berucap, hanya senyum yang dapat kutunjukan padanya. Ia kembali membalas senyum dariku. Kupandangi lekat-lekat mata wanita di hadapanku. Pandangan yang meneduhkan hatiku yang hancur. Kunikmati detik demi detik nostalgia ini dengan sepenuh jiwa. Ingatanku kembali ke masa SMP dulu. “Andai saja aku dapat menikmati tatapan matanya sedari dulu…” harapku dalam hati.
Setelah beberapa detik yang meluluhkan hati, aku mendengar seseorang memanggil Refa. Orang itu memanggil Refa dengan panggilan “sayang”. Aku mengenali suara siapa itu. Kemampuanku untuk mengenali suara yang sudah sering kudengar tidak hilang. Anggukan kecil kutunjukan sebagai tanda perpisahan. cepat aku berbalik dan tidak lupa mencomot buku SPMB yang sudah kupilih tadi. Aku menghilang di balik rak dan berjalan cepat menuju kasir.
Di luar toko, aku berdiri di salah satu tempat yang tak terlihat. Kutimang-timang buku SPMB yang baru kubeli sambil menunggu apa benar yang barusan kulihat. Tak lama, pintu toko terbuka dan keluarlah dua orang beriringan dari dalamnya. Yang keluar lebih dulu adalah Refa. Sepintas terlihat Ia menoleh ke sekeliling dengan ekspresi wajah yang agak bingung. Lalu tepat dugaanku. Yang keluar belakangan adalah Denis. Ternyata benar ucapan Denis bahwa Ia mengenal orang yang selama ini kami bicarakan. Mereka berjalan layaknya sepasang manusia yang saling mencintai. Aku berdiri diam terpaku di tempatku berdiri. Mataku terus memandangi mereka sampai menghilang di balik pintu sedan mewah. Senyum pahit dan penyesalan yang mendalam sajalah yang dapat ku ungkapkan pada saat itu.
Pandanganku kini beralih pada buku SPMB di telapak tangan. Kurobek label harga yang melekat di cover belakangnya. Kemudian kuberikan pada seorang penjual buku bekas di jalan yang kulewati.
***
Nice. 🙂
thank you
ceritanya keren banget, Daebak!! 😀
amin.. terima kasih sudah mau membaca ini. hehe. semoga bisa semangat lagi untuk nulis fiksi. udah lama rasanya 🙂
MAs Dimas,,
aku pikir ini artikel dibuatkan buku bagus juga
Ini cerpen kok, sudah baca yang halaman berikutnya. tapi sarannya bagus sekali. jadi terinspirasi untuk dibuatkan novel. terima kasih lho :)f
Waalaikumsalam. Tentu. syukron sudah berkunjung 🙂
Assalamualaikum,wr,wb…
afwan katsir akhi, boleh kah saya mengkopi, tambahan koleksi, Jazzakallah Khair ahsan… 🙂
cerpen jadul ini bung. haha
Wah, cerita waktu zaman dulu ya bung?
wow.. i feel apreciated.. terima kasih banyak ya.. “aku ingin menulis lagi”
alurnya maju mundur, bagus banget ulasanya. keterkaitan antar kalimat jg sangat jelas…sngt mudah memahami isi.great!