Jari-jari lenturku masih menari dengan cepat di atas keyboard. Layar Laptop di hadapanku terlihat sangat tajam tapi tidak menyilaukan. Sinar yang dipancarkannya memantul di lensa kacamata. Mataku bergerak dari kiri ke kanan mengikuti kedipan pointer dengan cepat secepat tombol-tombol yang naik turun di keyboard. Inspirasi tentang cerita yang Aku buat mengalir deras untuk terciptanya sebuah novel. Kulihat ke pojok layar, dan ternyata baru setengahnya dari keseluruhan bukuku yang terketik. Buku ini memang belum memiliki ending. Tapi awal dan pertengahan ceritanya sudah ku konsep dalam ingatan. Aku hanya tinggal menunggu peristiwa apa kemudian yang akan terjadi pada diriku sebagai inspirasinya. Karena cerita ini belum memiliki ending, jadi belum ada pula judul di buku ini. Inilah masalah yang dihadapi penulis amatiran sepertiku. Sangat sulit membuat judul yang menarik pembaca.
Setelah beberapa menit, inspirasi dalam benakku mulai menipis. Tapi itu bukan masalah. Aku hanya harus beristirahat sebentar. Mencoba merangkai kata-kata yang masih berantakan, dan yang paling penting ada di sebelah laptopku. Kurebahkan tubuh di sandaran kursi putar. Aku menoleh ke salah satu sudut meja komputer di mana tergeletak buku angkatan yang halamannya terbuka. Buku yang terdiri dari kertas lux dan full color itu adalah dokumentasi semua biodata dan foto siswa-siswi yang seangkatan denganku. Halaman buku itu terbuka pada bagian data kelas 3.1 dan pada deretan nama yang sudah mendekati akhir dari absen kelas. Di salah satu bagian yang aku lingkari dengan pena stabilo, terdapat foto seorang perempuan. Rambutnya panjang sebahu, kulitnya putih bersih, walaupun wajahnya tidak terlalu cantik, tapi tidak membosankan jika dilihat dan memiliki pandangan mata yang tulus. Tulisan yang terlihat jelas di situ adalah “Bandung, 25 Februari 1990. Refa Sevilla”.
Senyum manis tersungging di bibir Refa yang mungil. Tanpa sadar, aku menyentuh foto dalam halaman buku itu. Berharap bisa benar-benar membelai rambut hitamnya yang panjang terikat. Foto itu sudah selama setahun ini baru bisa aku lihat dengan mataku. Sebelumnya, aku hanya bisa mereka-reka bagaimana rupa Refa dari analisis suaranya yang lembut. Ya, begitulah aku pada waktu itu. Penglihatanku ini baru kembali lagi setelah selama lima tahun mengalami kebutaan. Selama itu aku tidak berputus asa. Aku tetap meneruskan sekolah ke SMP inklusi. Selain tetap terus berdo’a dan berusaha untuk mencarikan obat untuk menyembuhkan mata. Akhirnya pada satu tahun yang lalu, aku bertemu dengan Dokter spesialis mata yang memadukan antara ilmu kedokteran dan kebatinan. Syukur Alhamdulillah, aku sekarang bisa melihat lagi walaupun harus dibantu oleh kacamata. Karena hasil penyembuhannya tidak 100% kembali seperti sediakala.
“Boleh aku duduk di sini?”
Terdengar suara lembut di sebelahku. Aku dengan senang hati mempersilakannya. Refa duduk satu meja denganku setelah diperkenalkan oleh Wali kelas. Aku tak menyangka Ia akan memilih duduk disebelahku. Padahal masih ada dua kursi kosong lagi yang satu meja dengan anak perempuan.
Refa adalah siswi baru di sekolahku. Ia baru pindah dari Bandung karena tugas dinas orang tuanya di Jakarta. Anaknya baik, ramah, dan pandai bergaul. Ia tidak membeda-bedakan siapa yang akan menjadi temannya. Ia pun pernah bercerita bahwa di Bandung memiliki banyak teman yang keadaannya sepertiku. Jadi sudah terbiasa untuk berteman dengan siapa saja.
Semakin lama, kami bertaman makin akrab. Ia dengan senang hati membantuku dalam memahami pelajaran di kelas. Refa anak yang pintar dan yang lebih kusukai lagi adalah ia sama-sama pencinta sastra sepertiku. Jika sedang tidak makan ke kantin, Ia sering mengajakku ke perpustakaan pada waktu istirahat untuk membaca buku novel atau antologi puisi. Dalam frekuensi kebersamaan yang tinggi itu, aku menaruh hati padanya. Namun, hal itu tak mungkin terwujud. Aku sadar diri dengan keadaanku. Aku tak ingin menyalahartikan sikapnya yang sangat baik terhadapku dengan hal lain termasuk cinta. Kebaikannya itu sangat tulus, sehingga aku tak mau merusak persahabatan kami ini. Oleh karena itu, aku hanya bisa menuangkan semua imajinasiku ke dalam bentuk tulisan saja.
“Fa, aku mau nulis novel nih” Celetupku pada suatu saat di perpustakaan pada jam istirahat.
Refa kedengaran sangat tertarik sekali dengan gagasanku. Ia mendesak untuk tahu isi cerita dari novel yang akan kubuat. Tapi aku merahasiakannya dengan maksud akan memberi surprise.
“Tapi aku janji. Jika suatu saat nanti novel itu selesai, kamulah orang kedua yang akan membacanya setelah aku”
Akhirnya kini janji itu sudah hampir dapat kutepati. Walaupun sejak lulus dari SMP kami tidak pernah bertemu lagi. Menurut kabar yang kudengar, Ia kembali ke Bandung karena tugas orang tuanya sudah selesai. Tapi aku akan tetap mengingatnya. Sampai kapanpun, janji pada sahabat yang teramat spesial.
***
Nice. 🙂
thank you
ceritanya keren banget, Daebak!! 😀
amin.. terima kasih sudah mau membaca ini. hehe. semoga bisa semangat lagi untuk nulis fiksi. udah lama rasanya 🙂
MAs Dimas,,
aku pikir ini artikel dibuatkan buku bagus juga
Ini cerpen kok, sudah baca yang halaman berikutnya. tapi sarannya bagus sekali. jadi terinspirasi untuk dibuatkan novel. terima kasih lho :)f
Waalaikumsalam. Tentu. syukron sudah berkunjung 🙂
Assalamualaikum,wr,wb…
afwan katsir akhi, boleh kah saya mengkopi, tambahan koleksi, Jazzakallah Khair ahsan… 🙂
cerpen jadul ini bung. haha
Wah, cerita waktu zaman dulu ya bung?
wow.. i feel apreciated.. terima kasih banyak ya.. “aku ingin menulis lagi”
alurnya maju mundur, bagus banget ulasanya. keterkaitan antar kalimat jg sangat jelas…sngt mudah memahami isi.great!