Matahari sore mulai menenggelamkan dirinya, Lapangan Indoor Sekolah Generasi Bangsa pun sudah sepi oleh anak-anak yang biasa bermain bola di sana. Oh, tidak. Ternyata masih ada satu siswa lagi yang belum pulang, ia masih mengelilingi lapangan yang luas itu padahal keringatnya sudah mengucur deras di wajahnya.
Anak itu, Elvan. Ya, dia anak yang memakai kain putih panjang yang melingkari kepalanya, memang selalu memakai lapangan itu setiap hari. Kadang saat Adzan Magrib berkumandang ia baru pulang. Elvan memang anak yang berbakat di bidang olahraga. Tidak jarang ia selalu diikutsertakan dalam berbagai lomba di bidang olahraga. Tapi baru kali ini ia terpilih untuk mengikuti lomba lari jarak jauh.
Sebenarnya lari jarak jauh bukanlah hobi ataupun bakatnya, ia lebih condong ke arah bela diri seperti karate. Ia malah sudah menyumbangkan 2 piala kejuaraan karate untuk sekolahnya. Dan setiap hari ia selalu berlatih di Dojo–tempat berlatih karate—bersama sensei—guru—dan teman-temannya. Tapi kali ini, ia harus fokus ke lari jarak jauhnya yang akan dilombakan 6 hari lagi.
“Hosh.. Hosh, hoshh…ckiitt..ckiit,” Elvan menghentikan kecepatan larinya seraya bernafas terengah-engah saking lelahnya.
Hanya handuk putih kecil yang melingkari lehernya yang kini menemani Elvan. Teman-teman dan guru-gurunya sudah pulang semua, tidak ada seorang pun di Lapangan itu, sungguh sepi di tambah cahaya matahari di luar sana mulai meredup.
Tap..tap..tap..
Ah, siapa itu? Ada suara derap langkah kaki cepat seperti orang berlari terdengar sampai ke penjuru lapangan indoor. Elvan menegakkan tubuhnya dan melihat ke setiap sudut, memastikan apakah ada orang selain dia atau tidak.
Tapi, tidak ada siapa-siapa.. Adzan magrib berkumandang, suara burung gagak terdengar jelas dari dalam lapangan. Elvan mendongak ke atas, ke arah jendela besar yang menempel di atas lapangan indoor. Kepakan sunyi sayap burung gagak membuat rasa takut Elvan muncul. Biasanya di film-film bila burung gagak muncul, maka pertanda buruk akan datang. Akhirnya Elvan memutuskan untuk meninggalkan lapangan dan berlari keluar gerbang.
Dan derap langkah kaki yang cepat itu terdengar lagi di lapangan indoor yang kosong!
***
Foto ukuran 2R yang di lapisi bingkai kayu itu diletakkan kembali ke atas meja ruang TV. Kenangan yang sangat dalam antara ia dengan orang yang ada di dalam foto itu sungguh membuatnya meringis.
“Aku akan menang di perlombaan nanti, aku janji akan berusaha sekuat tenaga.. Ini demi…” bisikan pelan Elvan terpotong oleh tepukan halus di bahunya.
“Elvan, selama seminggu ini latihannya jangan lama-lama ya. Karena Ibu ada pengajian di Masjid dari ba’da ashar sampai maghrib, kamu jaga adik kamu ya di rumah..” jelas Ibu lembut, senyumannya mambuyarkan lamunan Elvan.
Elvan hanya mengangguk.. Ia bersyukur sekali masih mempunyai Ibu yang sangat lembut hatinya ini. Tak sadar sebutir air mata jatuh ke pipinya, ia merasa belum memberikan apa-apa kepada wanita ini. Elvan kembali menatap orang yang ada di foto itu dan merasuk ke dalamnya. Seperti ada sesuatu yang ingin ia lakukan, dan ia berjanji untuk melakukan itu..
***
“Bapak tahu kan keinginan Kakak, ia ingin menjadi seorang atlet. Bukan menjadi dokter. Kalau bapak memberi kebebasan kepada Kakak untuk memilih masa depannya sendiri, mungkin sampai saat ini Kakak masih hidup!!” kata-katanya yang terakhir itu membuat Bapaknya tercengang.
Suara serak Elvan naik turun, teriakannya membuat hatinya juga ikut berteriak. Sudah banyak air mata yang jatuh sejak ia memulai pertengkaran dengan Bapaknya.
“Kata-katamu seakan menuduh Bapak sebagai tersangka atas kematian Kakakmu, kenapa kamu bisa menuduh Bapak melakukan hal itu Elvan?!” wajah Bapak menunjukkan ketidakterimaan atas penuduhan Elvan. Suaranya tak kalah keras dengan Elvan.
“Jelas sekali Bapak sebagai tersangkanya. Gara-gara Bapak memaksakan Kakak untuk menjadi dokter, ia jadi stres karena pelajaran di bidang kedokteran itu sama sekali bukan bidangnya! Bapak telah membunuh Kakak!! Ini jelas pembunuhan, Pak!” suara serak Elvan berubah menjadi jeritan disertai tangisan yang kencang.
Saat itu Elvan masih menginjak bangku SMP dan sudah dihadapkan dengan kematian Kakaknya. Ibu menengahi pertengkaran itu dengan tangisan sembari memeluk Elvan erat, seakan berkata bahwa ia tidak sendirian.
Elvan masih ingat pertengkaran hebat itu, ia merasa bahwa Kakaknya tidak pantas menerima kenyataan itu. Ia merasa bahwa kakaknya, Yolanda, berhak menentukan masa depannya sendiri.
Angin berhembus pelan, menyadarkan lamunan panjangnya. Baru sadar ternyata ia sudah sampai di gerbang sekolahnya dan harus memasuki Lapangan Indoor. Sejenak, ia mengambil nafas panjangnya dan menghembuskannya pelan. Tekadnya semakin kuat, ia memasuki Lapangan Indoor yang sudah sepi dan berlari.
Jam menunjukkan pukul 16.00, waktu Elvan untuk menjaga adik kecilnya. Ia mengatur nafasnya pelan-pelan dan mengusap seluruh wajahnya dengan handuk. Elvan terpejam sejenak, merasakan irama detak jantungnya yang mulai normal. Tapi,
Tap.. Tap, tap, tap..
Lagi-lagi derap langkah kaki itu terdengar lagi, Elvan membelakkan matanya melihat ke setiap sudut Lapangan. Tapi sama saja seperti kemarin, tidak ada siapa-siapa.
“Hei, siapa kamu? Jangan bercanda ya,” Elvan mulai mengeluarkan suaranya. Hatinya kini menjadi gugup. Ada apa ini? Apakah ini sebuah ketakutan?
Tidak ada jawaban, ia hanya menelan ludahnya. Sebersit pikiran negatif langsung muncul di otaknya. Sepertinya ada sesuatu. Tapi ia berusaha menghilangkan pikiran itu, perlahan-lahan ia keluar Lapangan dan berjalan pulang walaupun hatinya ingin cepat-cepat berlari dari sana.
Lagi-lagi, derap kaki yang cepat itu terdengar lagi saat Elvan sudah keluar. Tapi ia sempat mendengarnya.
***
Dua hari sebelum lomba Elvan sudah menyiapkan segala keperluannya, mulai dari energi, fisik, mental, percaya diri, dan juga keyakinannya kepada Tuhan. Elvan berdiri di depan halaman rumahnya, dengan tubuh tegap dan pikiran yang mantap,
“Dua hari lagi, aku pasti menang.”
Dan ia berlari keluar rumahnya. Matahari bersinar cerah seakan memberinya semangat hari ini.
Seperti biasa, ia pulang jam 16.00 karena sudah di amanahkan oleh Ibu untuk menjaga adiknya. Tidak biasanya, suara derap langkah kaki yang cepat hari ini tidak ada. Biasanya setiap Elvan ingin pulang, suara itu muncul. Tapi kali ini tidak.
Hari ini ia ingin pulang lewat kota, sambil berlari-lari kecil di pinggir jalan raya ia melihat banyak pedagang kaki lima dengan senyum bahagianya. Seakan berkata bahwa hidup ini benar-benar indah dan mereka bahagia menjadi apa yang mereka lakukan saat ini. Semua orang di sana tersenyum gembira, seperti telah melewati moment-moment bahagia hari ini. Elvan ikut tersenyum melihat mereka semua, masih dengan larian kecilnya.
Sebuah bus melintas di jalanan yang ramai itu, terlihat seekor anak kucing sedang menyeberang dan belum sampai di pinggir. Jarak antara kucing dengan bus itu tidak sampai 2 meter. Melihat itu, seseorang langsung berlari ke tengah jalan dan berhasil menggendong kucing untuk meminggir. Sayangnya belum sampai di pinggir ia jatuh tengkurap tapi anak kucing itu berhasil sampai di pinggir.
“AAAAAAA…!!!!” jeritan yang sangat keras membuat senyuman orang-orang di sana menjadi terdiam.
Para pedagang, maupun orang-orang yang berbelanja di sana mengerubung ke tengah jalan. Sebuah tragedi baru saja terjadi di kota itu. Selang beberapa menit kemudian suara Ambulans memberisiki jalanan.
Suasana di kota yang damai dan bahagia itu berubah menjadi ketakutan dalam sekejap.
***
Elvan terbangun dari siuman panjangnya. Di sampingnya, terdengar suara Ibu dengan wajah habis menangis sepanjang hari.
“Elvaan,” ia memeluk erat anaknya.
Bau di tempat itu menusuk hidung Elvan, membuat ia tersadar bahwa saat ini ia sedang di rumah sakit.
“Ibu, apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini?” tanya Elvan sembari melepaskan pelukan Ibunya.
“Elvan, Ibu mohon jangan putus asa.” kata Ibunya sambil menahan tangis. Itu malah membuat Elvan makin bingung dengan apa yang telah terjadi pada dirinya dan mengapa ia ada di sana.
Suasana di kamar Rumah Sakit semakin menegang. Seperti ada sesuatu yang harus diberi tahu oleh mereka.
“Telah terjadi kecelakaan kemarin sore saat kamu pergi ke kota, Elvan.” Bapak memulai pembicaraannya.
Ia melanjutkan,
“Dan terjadi juga sebuah kecelakaan yang sangat tidak diinginkan terhadap…” kata-kata Bapak terpotong oleh sebutir air mata yang jatuh ke pipinya.
“Terhadap apa, Pak?”
Bapak menghela nafas,
“Terhadap kaki kananmu, Elvan.” Bapak cepat berbicara sambil menahan air mata yang jatuh ke pipinya.
Elvan tersentak, jantung dan nafasnya terasa berhenti. Ia mulai penasaran dengan apa yang terjadi dengan kaki kanannya, pelan-pelan ia membuka selimut yang sedari tadi telah menutupi setengah tubuhnya.
Karena tidak tahan, Ibu berlari ke luar kamar dengan isak tangisnya. Semua diam. Selimut itu telah terbuka, terlihatlah apa yang ada di balik selimut itu.
Sebentar, Elvan agak tersentak dengan penglihatannya. Tapi ia berusaha menahan air mata.
“Betis kananmu terinjak oleh ban truk dan harus di amputasi, karena…” kata-kata Bapak terpotong lagi.
“Aku akan tetap ikut lomba lari jarak jauh!” katanya dengan suara menahan.
Dan ia beranjak dari kasurnya.
“Elvan, tapi kamu..”
“Ya, aku cacat sekarang. Memangnya kenapa, Pak? 3 minggu berturut-turut aku berlatih keras dan akhirnya seperti ini? Aku tidak mau itu terjadi, aku akan tetap berlari! Tolong jangan larang aku, Pak!” Elvan tetap pada pendiriannya, ia berjalan terpincang-pincang dari kasurnya.
Ia bahkan tidak menggunakan tongkat sebagai alat bantu. Ia ingin menyesuaikan diri dengan keadaanya, karena besok pagi perlombaan akan di mulai. Ia hanya mempunyai sisa waktu 12 jam dan itu ia gunakan berlatih untuk yang terakhir kalinya.
“Bagaimana bisa kamu berlari sedangkan kamu hanya mempunyai satu kaki Elvan!” kata-kata itu terlontar tak sengaja dari mulut Bapaknya.
Membuat Elvan merasa sangat dikucilkan. Tapi kata-kata yang Elvan anggap celaan itu tak ia gubris sedikitpun.
Ia berjalan pelan keluar, terlihat Ibu dan seorang pria di sana. “Bila kamu tetap ingin mengikuti lomba itu, kamu harus pakai kaki ini, nak. Ini akan membantumu.”
Sepanjang berlatih, rasa ngilu di kaki kanannya sungguh hebat. Menyesuaikan diri dengan kaki palsu memang bukanlah hal mudah, kaki palsu itu memang sudah tertancap kuat dan tidak lepas. Tapi ia akan terus bertahan, kapan lagi ia akan berlatih sedangkan hari H tinggal besok. Bapak dan Ibunya melihat ia berlatih dengan sedih.
***
Pukul 07.00 pagi, para penonton sudah memenuhi kursi-kursi yang di sediakan di stadium itu. Terlihat para peserta—termasuk Elvan—sudah bersiap di garis start. Tidak ada satu orang pun di sana yang tahu bahwa Elvan telah memakai kaki palsu walaupun tim dokter sebelumnya telah memeriksa kesehatan para peserta. Hanya Ibu dan Bapaknya yang tahu. Ia khawatir bila orang lain tahu, Elvan bisa di diskualifikasi.
Satu lintasan di stadium itu berjarak kira-kira 2.200 m dan setiap peserta harus berlari sejauh 8 km. Pos penyegar serta pos guyur pun sudah siap di garis start dan finish dengan jarak interval 3 km.
Lari jarak jauh dilakukan dengan start berdiri, titik berat tubuh cukup tertumpu pada satu kaki saja. Pada aba-aba “set” lutut kaki tumpu ditekuk sedikit, tubuh agak bungkuk, dan titik berat ada di kaki depan. Pada saat pistol di letuskan, pelari mencondongkan tubuh ke depan hingga terjadilah gerak maju dengan melakukan langkah kaki ayun. Elvan berlari rileks dengan tubuh tetap tegap agar nafasnya teratur dan menghemat tenaganya. Kecepatan berlarinya seimbang dengan para pelari lainnya.
Beruntung ia mempunyai postur tubuh yang kurus, karena tubuh yang ringan justru membuat pelari mempunyai daya tahan tubuh yang baik.
Jarak antara ia dan pelari lainnya mulai menjauh, kini ia hampir berada di poisis hampir terakhir. Penonton semakin tegang, siapakah di antara mereka yang akan meraih gelar juara kali ini. Kini sudah lintasan terakhir, ia harus memaksimalkan tenaganya untuk mencapai finish, tapi..
“Aah,” kaki kanannya mulai tidak seimbang, ia jadi sulit mengatur kecepatan larinya. Ya Tuhan, mengapa di saat seperti ini, gumamnya dalam hati.
Lama-kelamaan kaki palsunya itu terasa ingin lepas dan Elvan hampir jatuh miring. Penonton dan panitia mulai khawatir, akhirnya Elvan jatuh ke tanah. Tapi ia berusaha berdiri lagi.
Tap.. Tap, tap..
Suara derap langkah kaki cepat itu kembali terdengar. Terlihat seorang gadis berlari bersamanya. Tapi orang-orang tidak bisa melihatnya, hanya Elvan yang melihat! Gadis itu berlari sambil tersenyum seakan berkata kamu harus kuat berlari seperti aku.. Siapa dia?
“Kakak pengen ikut Lomba lari jarak jauh, Van. Kakak pengen piala kemenangan itu terpampang di meja ini nanti.” kata Yolanda tersenyum suatu hari.
Kecepatan berlarinya semakin meningkat, tapi kaki kanannya lengah kembali. Bapak dan Ibu yang menonton di sana berdiri dan ingin menghampiri anaknya..
“Pasti bisa kok, soalnya kakak cocok banget jadi atlet. Aku dukung deh!” dan mereka berdua tersenyum bersama sambil membayangkan kemenangan itu.
Keseimbangan Elvan mulai terganggu, sepertinya ia harus keluar dari lintasan. Para penonton dan panitia lomba mulai khawatir. Sedangkan para peserta lainnya tetap berlari. Kenangan saat ia dan kakaknya berbicara mengenai lomba lari itu masih terbayang di otaknya. Saat itu di rumah sakit,
“Kak, kakak pasti sembuh. Elvan yakin! Kakak harus sembuh. Kakak harus ikut lomba lari itu, kakak pasti dapet pialanya. Pasti kak, Pastiii!!” ia tak kuasa menahan tangis sambil tetap menyemangati kakaknya yang terbaring lemah di tempat tidur. Jantungnya mulai melemah.
Ia jatuh kembali tapi tetap kembali bangun, nafasnya kini sudah terengah-engah. Bapak tidak kuat lagi, ia berlari ke lintasan dan menghampiri Elvan seraya membantunya berdiri dan menuntunnya berlari.
“Aku ga kuat lagi, Van. Aku ga sanggup jadi dokter. Tugas Semester Akhirku selalu gagal..hh..rasanya tersiksa sekali..hh.. Ga kuat, Van. Tapi, hh..aku ingin piala itu..” nafas Yola mulai melemah. Elvan ingat, itu kata-kata terakhir yang sempat di ucapkan kakaknya sebelum nyawanya di cabut.
Bapak menuntun Elvan berlari karena saking tidak kuatnya menahan sedih melihat anaknya jatuh bangun di Lapangan. Rangkulan lembut dari seorang Bapak membuat ia yakin bisa melewati lintasan sampai finish walaupun sepertinya tidak mungkin membawa pulang piala. Penonton, bahkan seluruh panitia dan juri yang menyaksikan itu sontak berdiri menyaksikan kejadian itu. Para panitia tidak kuasa menghentikan mereka berdua, mereka sangat terharu.
“Aku berjanji akan mengikuti lomba itu dan membawa piala itu untuk kakak..”
Elvan dengan dituntun Bapaknya, hampir menuju finish dengan tertatih-tatih menahan sakit kakinya karena keram. Dua peserta sudah sampai finish sedangkan yang lainnya masih di belakang. Perlombaan usai, dengan Elvan sebagai peserta ke-3 yang sampai finish. Walaupun ke-3 tapi tetap saja kalah, karena ia dituntun Bapaknya.
Air mata kebahagiaan dicampur kesedihan itu mengalir di pipi keduanya. Bahagia karena telah berlari sampai finish, sedih karena tidak bisa mewujudkan keinginan kakaknya untuk mendapatkan piala yang selalu ia dambakan.
Pemenang sudah ditentukan, Elvan terjatuh lemas dari rangkulan Bapaknya.. Banyak dari mereka yang sampai meneteskan air mata. Mereka sangat terharu, menyaksikan kasih sayang seorang Bapak, yang ikut berlari bersama demi menyemangati anaknya.
“Aku gagal, maafkan aku, Kak. Aku ga bisa menepati janjiku,” Elvan mulai mengeluarkan ucapannya.
Wajahnya peluh, lusuh, sama sekali tidak bersemangat. Dirinya seakan tidak berguna. Ibu berlari dari kursi penonton menuju Lapangan dan memeluk erat anaknya. Air mata mereka sudah tak terbendung lagi..
“Kamu tidak gagal, Elvan. Kamu berhasil sampai finish, Yolanda pasti menghargai usaha kerasmu selama ini. Ia pasti bangga, nak. Begitu pula dengan Ibu dan Bapak..” suara isak tangis seorang Ibu yang lembut itu terdengar jelas di telinganya.
Salah satu juri turun dan menghampiri mereka bertiga dan berjongkok,
“Selamat, Elvan. Kamu berhasil sampai finish. Kami menghargai usaha kerasmu dan kami mengapresiasi keberhasilanmu. Kamu peserta ke 3 yang sampai finish.” ujar sang juri mengumpatkan keterharuannya.
“Tidak, Pak. Saya tidak berhasil, saya tidak pantas mendapat apresiasi ini. Saya cacat, lihat kaki kanan ini, palsu. Terlebih lagi tadi saya dituntun Bapak untuk sampai finish.” jawab Elvan lemah.
“Kami tahu, tim dokter telah memberitahu kami tentang kaki itu. Tetapi kami tetap mengikutsertakanmu dalam lomba ini. Setelah kami pertimbangkan, kamu tetap menjadi Juara ke-3 walaupun dibantu oleh Ayahmu, kami mengerti keadaanmu. Terimalah, Elvan. Kamu telah berhasil.” kata-kata bijak juri itu menyentuh hatinya.
Rupanya para juri terharu dengan perjuangan Bapak dan Anak ini. Elvan bangun dan menerima apresiasi itu dengan senyuman.
Semua orang terharu dan memberinya tepuk tangan yang meriah..
“Aku tahu siapa gadis yang berlari bersamaku tadi. Dia Yolanda. Kakak memang selalu menemaniku berlari.. Piala ini kupersembahkan untuknya.” gumamnya pelan.
Dan Yolanda muncul kembali memberikan senyum manisnya di sana.
Editor: Putri Istiqomah Priyatna
banyak cerita seperti ini yang pernah aku baca, tp yang ini bener2 bikin sesenggukan. keren. 🙂
Sampe nangis baca kisah ini 🙁