Yogyakarta – Apakah saya sudah mati?” tanya saya. “Apakah ini surga?”
Bukan, Bung,” sahut orang itu. “Ini bukan surga. Ini adalah pulau Pasifik Krakatoa.”
─William Pene du Bois, 1947.
Tak usah berdebat lagi! Negeri kita ini memang sangat indah. Bunaken, Bromo, Lembah Baliem, Danau Toba, Merapi…. Sampai-sampai Hall dan Blundell (1996)[1] mengatakan jika Asia Tenggara barangkali merupakan laboratorium geologis paling bagus di seluruh dunia. Ini adalah kawanan spektakuler tempat manifestasi-manifestasi dan proses-proses tabrakan pelat bumi yang bisa diamati kapan saja.
Tapi coba pikir lagi, teman. Apakah negeri kita aman? Hmm…negeri kita paling tidak memiliki 129 gunung api yang masih aktif. Sebagian besar negeri kita pun air, dan yang paling mengagumkan ternyata negeri kita merupakan daerah pertemuan rangkaian Mediterania dan rangkaian sirkuit Pasifik.
Negeri kitaini terletak pada pertemuan tiga lempeng atau kulit bumi aktif, yaitu lempeng Indo Australia dibagian selatan, lempeng Euro Asia dibagian utara dan lempeng Pasifik di bagian timur. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga Lempeng Indo Australia menghujam ke bawah Lempeng Euro Asia. Sementara itu, berdasarkan data[2] mengenai sebaran risiko gempa bumi, meliputi sekitar 230 kabupaten/kota yang ada di Indonesia mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua, sedangkan daerah atau kabupaten/kota yang berisiko tinggi terkena Tsunami mencapai 150 kabupaten/kota, serta yang beresiko tinggi kena gunung api mencapai lebih kurang 79 kabupaten/kota.
Gempa besar sejak Tsunami Aceh, Padang, Yogya, Nabire, semakin menguatkan posisi negeri kitauntuk berada di wilayah rawan gempa dan menjadi wilayah supermarket gempa.Jadi jelaslah, negeri kita memang rawan bencana. Bencana bisa datang kapan saja dan tanpa ada peringatan terlebih dulu. Saat kita sedang online, saat kita sedang sarapan, sekolah, Ujian Nasional, jalan-jalan, dan di segala waktu yang tak disangka-sangka: kita bisa terperangkap dalam tragedi gempa bumi.
Gempa tak jarang menimbulkan banyak korban, baik seseorang yang sudah mengalami difabel maupun seseorang yang menjadi difabel karena gempa melanda. Persoalan lain yang cukup penting adalah kenyataan bahwa negeri kita ini minim sistem peringatan dini (early warning system) dan sistem evakuasi bencana alam yang aksesibel terhadap difabel. Dengan demikian, para difabel menjadi kelompok yang berisiko tinggi saat terjadinya bencana (Fuad, 2006)[3].
Nah, lalu bagaimana orang yang difabel netra[4] dapat menyelamatkan dirinya, sedangkan orang yang tak memiliki keterbatasan penglihatan saja kadang masih sulit dalam menyelamatkan diri?
Jangan takut jangan galau, kawan. Semua ada solusinya!
Bantul, Yogyakarta). Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1-Maret 2008. http://www.uii.ac.id ; http://dppm.uii.ac.id.
okay…sya juga bingung tulisan saya mau masuk di kategori apa…terimaksih masukannya
kayaknya kurang pas kalo lifestyle ya mas…
ada usul kategori baru apa yang bisa dibuat?
hmmmm apa yaaaa…..belum ada ide mas. tapi kalo semacam bingkai berita gitu gimana ya?
di kategori edukasi aja kayaknya lebih cocok deh ya.
sip..bisa jadi masuk ke kolom edukasi aja mas…
menarik sekali kawan tulisannya. ditunggu lanjutannya! anyway, kira2 sudah pas belum ya tulisan ini masuk kategori lifestyle? apa ada usul untuk nama kategori lain?
Gunung Kelud meletus. Semalam syaa sedang online, tiba-tiba dikagetkan dengan suara menggelegar dan getaran kaca serta pintu kamar kos saya. ternyata teman saya mengabari bahwa gunung kelud meletus. pantes semalam panas minta ampun. pagi ini saja sudah hujan abu. saya di semarang, tapi terasa lho..