BENARKAH SI TUNANETRA GAMPANG TERSINGGUNG

Bagaimana tanggapan teman-teman khusus disabilitas Netra,
pabila tengah berjalan atau berada di tempat ramai bersama teman atau keluarga yang non disabilitas?
Mungkin pengalaman saya ini akan menimbulkan sedikit pro dan kontra.
Terus terang, saya pribadi merasa keberatan atau malah tersinggung berat ketika orang yang mendampingi saya suka memakai bahasa isyarat kepada orang lain untuk menjelaskan keberadaan kita.

Contoh, Saya sedang bersama seorang non disabilitas dalam hal ini rekan kerja saya di sebuah tempat ramai.
Saya sadar, ada beberapa orang yang menanyakan kondisi diri saya baik dengan pertanyaan langsung atau hanya menatap penuh tanya.
Kemudian rekan saya, entah sungkan kepada saya karena takut tersinggung, atau malah sebaliknya dia malu berjalan dengan saya, hanya menjawab dengan isyarat berupa menggerak-gerakan tangan dan menunjuk-nunjuk saya.
Sedangkan body languagenya dapat saya rasakan dengan jelas.
Kemudian saya langsung bicara jujur bahwa saya amat tersinggung dengan sikapnya itu. Tentu dengan penjelasan yang diatur dengan bahasa baik supaya orang tersebut mengerti.
Yang ingin saya tanyakan, setujukah kalian dengan tindakan saya? atau ada yang berpendapat kalau tindakan rekan saya itu tak ada masalahnya dengan kita? jika jawabannya tidak sama, berarti diri sayalah yang punya kelebihan sensitifitas. 😛

Baca:  Aksi Disabilitas Sobek Surat Pernyataan Sakit

Saya akui, sebagai disabilitas Netra yang belum sebulan tersungkur pada kebutaan total, ada banyak hal yang perlu saya adaptasi dengan hal-hal kecil semacam ini.
Dulu, saat penglihatan saya masih terbilang baik, rasa sensitif ini memang tak signifikan dalam diri saya, tapi mohon dimafhumi, bahwa kondisi yang tengah saya alami sekarang ternyata tidak semudah yang dahulu saya bayangkan.
Sekali lagi, apakah saya berlebihan, ketika mengajukan klarifikasi atas masalah sepele tersebut?
Masalah kedua.
Saat saya mencari benda-benda kecil di sekitar, dan di sana ada orang non disabilitas, lalu saya meminta bantuan pada dia untuk mengambilkan benda tersebut untuk saya, salahkah?
bukan! bukan saya tidak mandiri atau hanya ingin suruh-suruh, tapi maksud saya agar proses pengambilan benda itu lebih cepat saja, dibanding saya harus meraba-rabanya dan kemungkinan malah akan menyebabkan masalah lain.
Jujur, saya malah merasa amat tidak nyaman dan menjadi kurang feel jika sedang mencari benda lantas yang non disabilitas itu hanya nyuruh “Kanan! kiri! belakang dikit! bukan itu! eeeeeh! di belakang lagi! itumah kanan bukan kiri! padahal jelas dia ada di depan saya dan kanan dia itu jelas kiri dari badan saya.
Biasanya kalau sudah begitu ada perasaan sebel dan malah membuat mud saya turun drastis.
Nah, bagaimana sih cara mengatasi hal semacam itu?

thanks Kartuneters yang mau dengerin curhat saya ini.

Bagikan artikel ini
nensinur Sastra
nensinur Sastra

orangnya imut-imut sedikit amit-amit. :)

Articles: 18

47 Comments

    • itu dia yang terjadi di masyarakat. makanya jujur saya gak suka dengan motivator2 yang cuma jadikan disabilitas sebagai objek dengan kata2 “nah, dari dia kita harusnya bisa lebih bersyukur dan semangat”, tapi setelah itu tak ada yang dilakukan pada disabilitas. Disabilitas dapat dua anggapan. pertama over expectation, jadi sering dianggap orang suci, mentang2 gak lihat jadi terhindar dari dosa karena pandangan, dll. Padahal tiapmanusia sama aja. tunanetra yang pendosa juga ada, sama seperti orang pada umumnya. tapi juga ada yang alim, sama seperti orang pada umumnya. terus yang kedua, ya stigma yang negatif. Underestimate, dianggap remeh sebelum tahu potensinya.

  1. yang kurasain di kantor, teman-teman yang awas, nampaknya kurang suka kalau tunanetra marah. Kalau ada di antara tunanetra yang tersinggung, karena perlakuan atau guyonan yang kurang berkenan, teman-teman yang awas itu suka bilang, ah kamu gitu aja marah. padahal mereka pun kalau ada hal yang tidak berkenan juga suka marah juga. Sama aja kan? Di kantorku sekarang ada enam tunanetra. Begitulah menoritas. Sesuatu yang wajar sering jadi omongan kalau dilakukan oleh kelompok menoritas.

  2. Yang rasain dik kantor,tunanetra tuh boleh marah. Kalau ada tunanetra yang tersinggung karena ada perlakuan atau guyonan yang kurang berkenan, mereka bilangnya “Ah, kamu gitu aja marah.” Padahal mereka pun kalau mendapatkan hal yang nggak enak toh marah juga. Kalau nggak dibandingkan dengan orang lain.Ya begitulah menoritas. Sesuatu yang buruk, tapi umum menjadi omonganmanakala dilakukan oleh kelompok minoritas. Itu di BPBI. Apalagi kalau di tempat umum yanbukan lembaga tunanetra.g

  3. satu lagi nih yang ingin aku bagi di sini, mungkin pengalaman ini sepele buat yang lain. tapi buat aku? sungguh dasyat pukulannya, gak ubahnya saat mendapat tamparan dari halilintar. Begini kisahnya, suatu hari di awal Februari. Aku mengajak menginap seorang ibu tunanetra dikosan. Sebenarnya aku udah biasa dan tahu betul apa2 yang ada di sekitar kamar kosku itu. Tapi karena hujan terus mengguyur Bandung, bapak kos mulai membuka tutup saluran air setengah meter jaraknya dari selokan besar pembuangan toilet yang sudah aku hafal. Namun pagi itu aku memang tak tahu kalau sudah ada lubang menganga yang nyaris membuka sampai ke tengah gang kecil percis di halaman kosku. Suasana subuh yang masih jelas gelap, menambah tak jelasnya penglihatan aku waktu itu. Setelah keluar dari kamar, berjalan menggandeng si ibu yang akan ku antar sampai tempat angkot, aku santai saja mengobrol. Pas di lubang itulah, sinsiden jatuhnya si ibu ke dalam lubang gak bisa aku hindari. Toh aku juga kaget luar biasa, karena aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa tadi malamnya lubang itu dibuka. Setelah membantu si ibu berganti baju sambil tetap aku minta maaf berulang-ulang, aku kembali mengantar dia sampai naik angkot. Sebenarnya si ibu dengan lapang hati tidak pernah sedikitpun menyalahkan aku, tapi ternyata tidak cukup waktu seminggu trauma itu terus menghantui di setiap aktifitasku. Bahkan aku langsung mencari tempat kos baru yang lebih aman. Meski sampai sekarang belum juga ketemu. Hal yang aku sesalkan sih, bukan karena kondsi begini, tapi kenapa mesti orang lain yang harus celaka, kenapa bukan aku saja yang memang sudah pasrah. Jujur, hal itu kucatat adalah hal terburuk dalam hidup aku.

    • Sepele?
      Ini sungguh luar biasa mbak Nency! Jangan merendah begitu ah lol
      Ya ampuun ampe jato, sakit dah pasti itu…. *miris*,

      Semoga cepet nemu kosan baru ya mba, semangat
      kalimat “bukan karena kondsi begini, tapi kenapa mesti orang lain yang harus celaka, kenapa bukan aku saja”,

      kita tuh sama yah ternyata kepribadiannya, ehehe,

      Happy 4 them not 4 me…

      pengennya berkorban untuk orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, kurang bagus si sebenarnya ini,
      uuuuh

  4. Wah… Yang mau saya omongkan sudah tercakup semua dalam komentar rekan2… Saya cuma mau sedikit memberi semangat pada saudari Nensi… Di dalam kegelapan mata kita, masih banyak yang dapat kita lakukan dan kita hasilkan… So, berjuang terus saudaraku… Sukses selalu untuk kita semua…

  5. masalahnya kl pada orang yang awam atau orang gak kenal sih, itu wajar saja, tapi kalau kenanya pada keluarga, rekan kerja yang udah berbulan2 bersama, masa sih engga terbersit hatinya gitu? *maksa* 😛

  6. wah, sudah ramai uyah? thanks semuanya. hehe, Banyak masukan dan sangat berarti buat diri saya. Jujur, waktu saya menegur teman saya itu memang agak keras, tapi tidak dengan emosi tinggi kok, itu pun saya lakukan karena selama bersama saya dia telah mengulan2 sikap begitu. begini saya bilang: “Kenapa mesti pakai bahasa tubuh segala? apa kamu fikir saya gak bisa merasa gerak-gerik tangan kamu itu? nih, aku bilangin, aku tersinggung dengan cara kamu itu. Maaf, lain kali jika ada yang bertanya tentang saya, jawablah dengan kata-kata, biar sekalian nanti saya yang menjelaskan, begitu lebih baik buat saya..”. Setelah itu hati saya menjadi lega, enggak papa saya bicara begitu, untuk pertama dalam masa adaptasi totaly blind dalam hidup saya. :)) Dan soal kedua itu, saya sebagai yang baru adaptasi, memang mesti mengakui, bahwa bekal orientasi mobilitas saya pun amat buruk. Jujur, disamping itu saya pun masih merasa riskan jika harus mencari-cari benda dalam keadan sedang bersama orang non disabilitas. Dalam hati, apa salahnya sih dia ikut mengambilkan? toh benda itu juga ada di dekat dia, kalau dalam ruang pribadi saya katakanlah dalam kamar tidur saya, jelas saya tak mungkin minta bantuan. toh itu daerah kekuasaan saya sendiri. :)) masukannya pada hebat, terimakasih sekali lg. :))

      • Mas dimas, yaaah, ngga semua orang bisa menghargai apa yang udah kita lakukan,

        hati-hati dalam menilai nada bicara dll. loh mas.

        Aku dikasih tau orang yang kuliah di UI ambil sastra Arab, Ada kasus dimana guru berkata “Siapa yang menyuruh masuk?” dan saat muridnya keluar, guru tersebut berkata “Siapa yang nyuru keluar?”

        Kadang ada juga yang nada bicaranya kurang enak, ternyata dia malah menghargai dan menghormati kita.

        • haha! ia Dim! soalnya kl nada bicara itu adalah titik ukur prosfektif kita, jadi, kl yang menunjukan barang itu udah nadanya tinggi, menggerutu, ya jelas lah bakal bikin kita jd bad mood. 😛

    • Sama-sama,
      Terima kasih atas pujiannya
      Mohon izin untuk menjawab pernyataan mbak Nency “apa salahnya sih dia ikut mengambilkan?”, jawaban saya adalah ngga semuanya mempunyai jiwa penolong (relawan) yang bergerak dari hati, mereka cenderung untuk selfish (menolong diri sendiri).

  7. sebetulnya ini juga ada efek dari fakta sebagai kelompok minoritas dan marginal. Dalam sebuah kelompok kecil, satu orang dari kelompok itu sering oleh pihak mayoritas distigmasi sebagai keseluruhan. Jadi ketika ada satu orang tunanetra yang memang punya perangai kurang baik, dapat jadi stigma bahwa “oo tunanetra suka marah2.” atau “oo tunanetra gampang tersinggung”, padahal itu sifatnya individual. Tapi untuk hal2 baik, belum tentu peris itu berlaku.

  8. Selama ini beebrapa kali denger statement yg entah opini atau berdasar fakta, tunaentra itu dikatakan mudah tersinggung. tp kalo aku pribadi sih mau orang awas atau tunet, kalo emang bawaannya tersinggungan ya bakalan gampang tersinggung hehehe. tp aku akui, pas awal jd tunet, aku lebih banyak ngerasa hmmm entah tersinggung atau sekedar sensi doang ya. nah itu aku rasain sih memang. mungkin karena butuh adaptasi aja kali ya, kayak teh nensi gitu kan. teteh belum lama ini total kan teh? nah mungkin itu adaptasi teh, kayak aku dl, jd ngerasa lebih sensi gitu eheheh. tp percaya deh teh, nanti jg gak gitu lg, Insya Allah. awal-awal aku emang shock liat sikap orang ke aku. tp ya memang jgn ditanggapi emosi, meskipun rasanya gondok and pengen nimpuk tu orang pake sandal eheheheh. mau gimana lg, mungkin orang awas itu kurang faham gimana seharusnya bersikap ketika mencoba menjelaskan keadaan kita ke orang lain.
    Jujur aku jg sering nglami kok teh. ya gitu, kadang temen, kadang orang terdekat, ya pake bahasa purba sambil bisik-bisik untuk jelasin keadaan kita. ya aku jg sempet berpikir, kenapa sih harus bisik-bisik and pake bahasa purba, kan bisa tinggal bilang aja, iya gak teh? tp ya mungkin memang orang awas tsb belum mengerti, atau justru ingin mengharrgai perasaan kita. aku jg pernah di mall jalan sm temen, trus ada SPG yg nanya keadaanku, dan temen jelasinnya pake begitu-begitu deh teh, trus abis itu temen bawa aku kabur pas si SPG bilang, “Aduh, jadi terharu” ehehhe….

    • padahal jika kata tunanetra diganti dengan “begitu” kesannya negatif banget ya. haha. itu dia, kadang niat baik dengan pemahaman yang salah, jadi tidak baik hasilnya.

        • Bukan mungkin lagi tapi emang menggenaralisasikan, mungkin ada yang neliti jadinya pada narik kesimpulan begitu,

          kesimpulan yang kejam!

          Coba lihat disini deh mbak (https://www.kartunet.com/melihat-makna-cinta-pada-pasangan-tunanetra-melalui-sudut-pandang-psikologi-3837) ternyata ada pernyataan di bagian nomor 4 yakni c. Psikis
          Soekini (1977) melihat hubungan sosial yaitu curiga terhadap orang lain, perasaan mudah tersinggung, ketergantungan yang berlebihan.

          Soekini itu penulis ini dapusnya Soekini & Soeharto. (1977). Pendidikan anak-anak tunantera. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

          Tapi udah usang itu…zaman semakin canggih tapi teori yang digunakan tahun 1977 dah berapa lama ya itu?

          Mbak/Mas, buat buku mengenai hal ini buat mengkritisi dan mematahkan teori ini dong, biar kami, terutama yang ada di dunia luar bisa mengetahui fakta sesungguhnya yang tersembunyi selama ini.

  9. Kalau gampang tersinggung ga cuma disable aja, tapi semua individu itu bisa mudah tersinggung tergantung cara pengendaliannya. Nah, Kalau ada perlakuan semacam diats yang bikin kita tersinggung sebaiknya kita usahakan jangan dengan emosi karena itu akan menambah negatif stigma orang non-disable bahwa disable mudah tersinggung. Usahakan dengan senyum atau cadaan agar suasananya cair sehingga orang awas/non-disable tertarik pada kita yang tenang dan tidak emosi bahkan mereka akan mulai bertanya seputar kita, disitulah kita terangkan banyak hal kemreka. Itu si pengalaman yang pernah aku lakukan.

  10. perlakuan itu bukan karena takut tunanetra yang mudah tersinggung, tapi sebuah perlakuan standar untuk menghargai diri orang lain. Ketika sudah ditanyakan lalu si tunanetra itu memilih, pasti itu sudah dengan keinginannya. Tak mungkin, selayaknya, dia tersinggung denganpilihannya sendiri. Jadi pada dasarnya adalah soal penghargaan pada martabat manusia, bukan gampang tersinggung atau tidak. soal yang terakhir itu memang jadi karakter masing-masing individu.

  11. untuk kasus kedua, ya kadang risih juga sih kalo kita lagi grepe-grepe cari sesuatu terus ada orang-orang yang ngeliatin. Kadang seperti itu juga. ketika memang ada orang, khususnya bukan keluarga sendiri, ketika ingin ambil sesuatu minta tolong saja. Padahal kalo sedang sendiri, sebetulnya bisa ambil sendiri. Tapi karena ada perasaan mereka pasti ngeliatin gerak-gerik kita, itu yang bikin agak terganggu. Tapi sebetulnya hal ini tak boleh dipupuk terus sih. Seharusnya orang yang awas paham bahwa dia seharusnya bertanya ke tunanetra itu apakah ingin dibantu untuk diambilkan atau cukup diberitahu arah letak benda yang dicari itu.

  12. hehe. soal kasus pertama, yang pakai isyarat2 purba gitu, saya yakin semua tunanetra juga akan tersinggung. Perbedaannya ada pada orang yang berani untuk protes dan tidak. nah, saya termasuk tipe kedua. Jadi kalo berani protes, cukup dikasih tahu saja mengenai cara yang semestinya. Tak perlu pakai emosi. Anggap saja orang awas itu pengetahuann mengenai ketunanetraa tidak lebih dari kita. Tapi ada sih hal yang kira-kira sama seperti itu. Ketika ada orang awas yang mau bicara ke kita, bukannya dia bicara langsung, tapi malah melalui teman kita yang disebelah. Pernah dulu pas di sekolah ada teman yang mau pinjam sesuatu ke saya. tapi dia bilang bukan langsung ke saya, tapi ke teman awas yang persis ada di sebelah saya. terus saya bilang aja kalo mau pinjam bilang sendiri. Bukan merasa gimana, tapi agak kesel aja dikiranya tunanetra tak dapat berkomunikasi? ya mungkin memang orang awas dalam komunikasi memang banyak menggunakan isyarat mata atau gestur. Tapi itu semua kan dapat tergantingan oleh bentuk verbal. Jadi pelajaran saja buat teman2 awas. Jika ingin berkomunikasi dengan seorang tunanetra, tak perlu interpreter. Kita masih bisa mendengar dengan baik. Cukup panggil dulu nama atau sentuh punggung tangan atau bahu ketika akan memulai bicara, terutama saat di tempat umum atau sebuah forum. Hal itu agar tunanetra tersebut langsung on dan connected bahwa dia yang sedang diajak bicara saat ini.

    • ikut sedih bacanya, pelajaran yang bisa diambil. Kalau saya, seringnya mereka malah orang normal malah hampir ngga mau berkomunikasi sama sekali, membuang saya alias dicuekin, dinertawakan, membicarakan dibelakang apa adanya atau sekedar hanya karena stigma negatif mereka ditambah dengan perasaan mereka yang segen ke saya, atau merendahkan saya karena dianggap anak kecillah, belum ada jam terbanglah, belum ada pengalamanlah, ngegerendeng, ambil kesimpulan sendiri, judge kalau saya tiada menghargai orang lain sampai di maki kasar, dituduh mau ngancemlah.

      Bikin sebel dan sedih sendiri,
      Tapi yah terserah merekalah gimana. Happy 4 them.

      Kalau sesama disabilitas ya sampai saat ini belum ada komunikasi yang buruk sih, mungkin karena sama-sama mengerti keadaan.

      padahal ya kalau di komunikasikan baik secara dewasa kan enak, bukannya begitu?

  13. Oh iya mbak,
    Ada lagi,
    baru keinget terus langsung saya tulis,
    Faktor lingkungan (pergaulan teman, komunitas) juga bisa membantu, jadi pintar-pintarlah dalam memilih. Kan ada istilah berteman dengan pedagang minyak wangi maka akan terbawa wanginya.
    Terus juga, semakin bertambah usia, maka emosi akan semakin stabil (seharusnya).
    Semua kembali ke mbak, enaknya gimana…

  14. Mbak,
    Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar, netral.
    Saya sendiri juga mengalami,
    Bukan hanya tuna netra atau disabilitas lain rasanya yang mudah tersinggung, tapi bisa saja malah yang non disabilitas yang lebih emosian. Semua tergantung dari kepribadiannya masing-masing.

    Saya sendiri juga emosinya naik tinggi atau turun drastis sampai depresi. Tapi ya jarang marah. Saya berusaha untuk menghindari marah karena takut menyakiti orang lain dan diri sendiri terus sedih karena menyesal.

    Cara mengatasinya kalau saya : curhat, dengerin musik klasik, jalan-jalan, nulis, memberi bantuan semampunya. Kalau boleh nyarani bisa juga dengan mendongeng, karena emosi yang berlebihan bisa keluar mbak, kenapa? Ekspresi dongeng itu lebay…

    Semoga bisa membantu ya mbak….

Leave a Reply