Ini adalah sebagian cerita ketika aku mengikuti Festival Seni Tingkat Nasional untuk siswa berkebutuhan khusus di Malang tahun 2009 yang lalu. Ketika itu aku mengikuti lomba memainkan gitar akustik. Kesan yang masih kuingat sampai sekarang bukannya bagaimana saat aku mengikuti lomba, tetapi mengenai bagaimana waktu itu aku berkomunikasi dengan seorang gadis tunarungu.
Sore itu kami kontingen dari DKI Jakarta berangkat dengan menggunakan kereta Gajayana menuju Malang. Tak ada yang istimewa dalam perjalanan itu, kecuali ketika aku dan beberapa temanku iseng bermain gitar dan bernyanyi keesokan paginya. Yaa, bisa dibilang hiburan kecil di pagi hari untuk penghuni gerbong yang kami tumpangi, hehehe.
Sesampainya di Malang, aku dan guru pendampingku menginap di sebuah hotel (entah hotel apa namanya, aku sudah lupa). Dari stasiun, kami dijemput dengan sebuah minibus untuk menuju ke hotel. Sebagai informasi, dari DKI Jakarta ketika itu mengirim beberapa peserta dalam beberapa cabang lomba yang berbeda. Salah satu peserta yang membuat aku penasaran adalah Nur, peserta tunarungu yang mengikuti cabang lomba menari.
“Bu, saya pengen kenalan sama Nur. Gimana caranya ya? Saya kan nggak bisa lihat bahasa isyarat?” tanyaku kepada Bu Tia, guru pendamping Nur ketika kami sedang berada di dalam mobil saat perjalanan dari stasiun kereta menuju hotel tempat kami menginap.
“Oh iya ya? Gimana ya caranya?” Bu Tia juga bingung.
Ting! Satu ide yang menurutku cukup cerdas tiba-tiba terlintas di otakku. Langsung saja kuambil handphone Nokia kesayanganku yang sudah dilengkapi dengan program screen reader (pembaca layar). Kemudian aku masuk ke menu pengetikan pesan singkat dan aku menulis, “Hai, boleh kenalan?” Kemudian handphone itu langsung kuberikan kepada Nur yang saat itu duduk di bangku mobil bagian belakang.
Nur ternyata mengerti apa yang kumaksud. Dia langsung mengetik kalimat jawabannya di bawah kalimatku tadi, “Hai, aku Nur. Nama kamu siapa?”
Yes! Komunikasi mulai berjalan lancar. Nur menyerahkan kembali handphone kepadaku, kemudian aku balas di bawah kalimat yang tadi dia tulis, “Aku Ary, salam kenal.”
Nah, ternyata cukup mudah bagi seorang tunanetra untuk berkomunikasi dengan seorang tunarungu. Hanya bermodal sebuah handphone, komunikasi bisa berjalan dengan cukup lancar.
Kejadian agak mengejutkan tetapi cukup lucu kembali terjadi di malam harinya. Ketika itu aku sedang bermain gitar di depan kamarku. Yaa, hitung-hitung latihan terakhir sebelum mengikuti lomba keesokan harinya. Guru pendampingku dan guru pendamping Nur saat itu sedang mengikuti Technical Meeting. Walhasil, Nur ikut duduk di depan kamarnya (kebetulan kamarku dan kamar Nur saat itu bersebelahan). Aku sadar dia tidak akan berkomentar dengan permainan gitarku. Tetapi tak apalah, yang penting ada yang menemaniku bermain gitar. “Daripada main gitar sendirian? Garing juga. Belum lagi kalau tiba-tiba ada yang nyanyi, tapi orangnya nggak ada. Kan serem,” pikirku.
Setelah lelah bermain gitar, aku pun memutuskan untuk kembali ke kamarku. Ku ambil kunci kamar yang kuletakkan di saku celanaku. Tiba-tiba Nur sudah berada di sampingku dan berusaha mengambil kunci yang ada di tanganku. Sontak aku terkejut. “Mau ngapain nih anak? Sembarangan aja main rebut kunci kamar orang,” pikirku.
Daripada kunci kamar itu rusak gara-gara kejadian rebutan kunci, aku biarkan saja Nur mengambil kunci itu dari tanganku. Ah, ternyata dia ingin membantuku membukakan pintu kamar. “Hah, lega. Dikirain mau ngapain…”
“Terima kasih.” Ucapku sambil melihat ke arah Nur setelah dia membukakan pintu kamarku. Dia menjawab dengan ucapan yang tak dapat kutangkap. “Mungkin dia bilang sama-sama kali ya?”
Ternyata, komunikasi antara tunanetra dan tunarungu tak sesulit yang kubayangkan.