Fajar telah tiba. Suara adzan berkumandang di sudut-sudut kota. Pagi ini aku kembali terjaga dari tidurku. Aku bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, shalat subuh.
Meski aku berbeda, meski duniaku gulita, meski aku tunanetra, tapi sejatinya aku tetaplah manusia biasa. Manusia yang punya kewajiban dan tanggung jawab. Tanggung jawab atas diriku sendiri dan kewajiban membantu orang-orang di sekitarku. Meski mereka sering menyangsikan kemampuanku, tapi aku tak peduli.
“Selamat Pagi, Ra!”
Kudengar suara itu lagi. Suara yang selalu menyapaku setiap hari. Suara tanpa rupa, penerang hidupku yang gulita.
“Pergilah. Aku sibuk.” Jawabku ketus.
Apakah ini aku? Apakah ini hidupku? Hatiku bertanya tanya. Aku bahkan tak mengenali diriku sendiri. Apa lagi orang lain. Pasti mereka tak mengerti dengan sikapku.
Sejak peristiwa itu terjadi. Peristiwa kecelakaan yang merenggut penglihatanku dan mengambil kedua orang tuaku. Aku tak bisa lagi mengenali diriku sendiri. Inilah titik balik kehidupanku. Aku yang dulu ceria, kini hanya bisa bermuram durja. Aku yang dulu bahagia kini hanya menjadi olok-olokkan anak tetangga. Bagaimana aku bisa bersikap seperti dulu jika lingkunganku tak memperlakukanku seperti dulu. Perjuangan, perjuangan, dan perjuangan. Itulah hidupku. Perjuangan mencari identitas diri yang dimanipulasi oleh lingkungan hingga perjuangan meraih asa dalam hidup yang gulita.
Terkadang aku ingin berubah. Aku ingin bersikap lebih baik. Aku ingin kehidupanku kembali seperti dulu. Tapi itu mustahil. Egoku menjajahku. Perasaanku mengalahkan logikaku.
Kakakku sering menyayangkan sikapku. Dia bilang aku kurang bersyukur. Tapi seharusnya aku yang menyayangkan sikapnya. Dia tak pernah melihat permasalahan yang kuhadapi dari sisi pandangku. Dia terlalu subjektif menilaiku. Tapi sudahlah. Tak ada gunanya aku memperdebatkan siapa yang berhak menyayangkan sikap salah satu diantara kami. Sekeras apapun usahaku untuk menyadarkannya bahwa aku ingin berubah tapi lingkunganlah yang memaksaku untuk tetap bersikap seperti ini, dia tak akan pernah mengerti. Aku tetaplah Zahra, gadis buta yang selalu menjadi olok-olokkan anak tetangga.
Meski aku tunanetra, aku juga punya mimpi. Mimpi untuk meraih cita dan cinta. Ketika aku masih bisa melihat, impianku itu terasa sangat sederhana. Cita-citaku hanya ingin menjadi guru TK. Sementara untuk masalah cinta, aku sudah tak perlu khawatir lagi. Aku punya orang tua dan kakak yang mencintai dan menyayangiku. Aku juga punya sahabat yang selalu mensupportku. Lebih penting dari itu, aku punya Deddy, kekasih yang selalu mencintaiku.
Setelah aku buta, dunia terasa berbeda. Sahabat-sahabatku pergi entah kemana. Mereka asyik dengan kesibukan mereka. Deddy, kekasihku sendiri, lebih memilih untuk pergi ke luar negeri menyusul orang tuanya. Orang tuaku meninggal saat kecelakaan bersamaku. Hanya kakakku yang mencintaiku sepenuh hati saat ini.
Setelah aku buta, impianku untuk menjadi guru TK juga sirna. Bagaimana aku akan mengajari muridku banyak hal, bila berjalan saja aku butuh bantuan tongkat. Jika tetap dipaksakan, mungkin aku hanya akan ditertawakan oleh muridku nantinya. Aku hanya akan menjadi sasaran olok-olokkan anak-anak TK.
“Ra, kok masih di sini. Adit masih nungguin kamu tuh di teras.” Kak Rina, kakakku membuyarkan lamunanku.
“Ah, kenapa dia masih di sini sih, Ka. Tadi aku kan udah nyuruh dia pulang. Udahlah biarin aja. Ntar kalau udah capek kan dia pulang sendiri.” Jawabku tak peduli.
“Jangan begitu, Ra. Temui saja dia. Kan kasihan dia udah nunggu lama. Siapa tau ada urusan penting.”
“Ya. Iya deh.” Kataku sambil melangkah menuju teras rumah.
Sudah sekitar satu bulan ini ada lelaki yang selalu mengganggu kehidupanku. Namanya Adit. Dia bilang dia adalah teman masa kecilku. Tapi aku benar-benar tak mengingatnya. Aku tak pernah punya teman bernama Adit, mungkin aku lupa atau memang Adit hanya mengada-ada saja.
Kucoba mengingat-ingat lagi. Menelusuri setiap sudut-sudut ruang di otakku. Tapi aku tak juga mengingatnya. Yang terdeteksi oleh otakku hanya Rifki Aditya. Bocah nakal yang selalu menggangguku ketika kami masih SD dulu. Dia selau mengolok-olokku dengan sebutan “anak manja” karena aku selalu diantar jemput oleh ibuku. Tak mungkin Adit orang yang sama dengan Rifki.
Adit begitu baik padaku. Meski aku selalu bersikap ketus padanya. Dia tak pernah menjauhiku. Pernah satu hari Adit tak menyapaku. Aku gusar tak terkira. Kupikir dia akan meninggalkanku selamanya. Ternyata tidak. Adit hanya sakit hari itu.
Dengan bantuan tongkatku, akhirnya aku sampai juga di teras rumahku. Aku duduk disana. Masih kurasakan kehadiran Adit disampingku. Tapi aku tetap diam seribu bahasa. Kami tenggelam dalam keheningan sesaat lamanya.
“Ra, kamu masih ingin jadi guru TK?” Adit mencoba memecah kebisuan. Namun, pertanyaannya ini sangat mengagetkanku. Impianku yang telah kukubur dalam-dalam. Kini terkoyak lagi. Aku bingung harus menjawab apa. Aku berfikir keras untuk menjawab pertanyaannya kali ini.
“Tak mungkin orang buta bisa jadi guru TK, Dit!” Hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibirku.
“Tapi itu bukan jawaban dari pertanyaanku, Ra. Aku hanya ingin tau kamu masih ingin jadi guru TK atau tidak. Bukan masalah mungkin atau tidak mungkin, Ra.”
Laki-laki yang satu ini memang selalu kritis dalam segala hal. Aku dibuat gelagapan oleh satu pertanyaan saja.
“Masih.” Aku mencoba untuk jujur padanya.
“Kalau begitu, ikut aku, Ra!”
“Kemana?”
“Ikut saja. Nanti juga kamu tau sendiri.” Kata Adit sambil menuntunku masuk ke mobilnya.
Sekitar satu jam aku menempuh perjalanan. Tapi Adit tak seperti biasanya. Ia tenggelam dalam diam. Hanya suara kendaraan bermotor yang lalu lalang yang menemani perjalanan kami.
Kami tiba di suatu tempat yang tak kutau namanya. Sebelum kami turun dari mobil, Adit memegang tanganku erat. Aku jadi salah tingkah.
“Aku mencintaimu, Salsabila Az Zahra”
Aku tak mampu berkata apa-apa. Aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Lidahku kelu. Aku tak mampu menjawabnya. Sesaat kufikir selain buta, aku juga tuli dan bisu. Beruntung, sepertinya Adit juga tak berharap aku menjawabnya. Ia bergegas turun dan membantuku turun dari mobilnya.
Kami berjalan bergandengan tangan. Sepertinya kami masuk ke sebuah ruangan. Ruangan yang ramai oleh suara-suara anak-anak kecil. Tak salah lagi. Adit pasti membawaku ke sebuah TK.
“Selamat pagi adik-adik!” kudengar suara Adit menyapa anak-anak di ruangan itu.
“Pagi Kak Adit!”
“Wah.. itu siapa, Kak? Pacar kakak yah?” Kudengar suara salah satu dari mereka menyeletuk. Dasar anak zaman sekarang. Kecil-kecil bicaranya sudah pacar. Mereka menjadi korban televisi karena setiap hari disuapi tontonan yang tak mendidik.
“Bukan, dia teman kakak. Namanya Kak Zahra.” Adit memperkenalkan aku pada mereka.”
“Oh. Jadi itu yang namanya Kak Zahra. Ternyata cantik juga yah.”
Mendengar kata-kata anak tadi, aku menyimpulkan bahwa Adit telah menceritakan tentang aku pada mereka sebelumnya. Tapi untuk apa? Aku masih tak mengerti mengapa Adit menceritakan tentang aku pada mereka dan mengapa Adit membawaku kesini. Apa hanya untuk memberitahu anak-anak itu contoh orang buta? Apa hanya untuk memamerkan kesedihanku pada mereka agar mereka kasihan dan iba pada tunanetra? Ah entahlah.
“Adik-adik, mulai hari ini, Kak Zahra akan membantu kakak untuk menemani kalian belajar di sini. Kalian suka?”
“Suka sekali, Kak.”
Ternyata dugaanku salah. Adit ternyata seorang guru di TK ini. Lebih penting lagi, ia telah membuatku mencapai impianku. Impian yang sebelumnya kupikir mustahil, kini telah tekabul. Aku, Zahra si gadis buta kini jadi guru TK.
Hari itu, aku dan Adit mengajari mereka banyak hal. Karena keterbatasanku, ada beberapa materi yang tak bisa kuajarkan dan hanya Adit yang mengajarkan pada mereka. Namun, aku, Adit, dan murid-murid baruku sangat bahagia hari ini. Jam belajar kami berakhir sekitar jam 4sore. Aku sangat lelah. Sepertinya Adit juga tak jauh berbeda. Kami duduk berdua.
“Akhhh.. Sakit. Sakit sekali kepalaku.” Kudengar suara Adit berteriak kesakitan.
Aku panik sekali. Aku berteriak minta tolong. Beberapa orang berlari ke arah kami. Adit telah pingsan saat itu. Dari pembicaraan mereka, sepertinya mereka telah kenal akrab dengan Adit.
Salah seorang dari mereka menelepon ambulance untuk membawa Adit ke rumah sakit. Ada pula yang mengambil handphone Adit untuk menghubungi keluarganya. Seorang yang lain meminta KTP-ku. Setelah melihat alamat yang tertera di KTP-ku, orang itu meminta izin untuk mengantarkanku pulang. Awalnya aku agak takut dan berfikir macam-macam. Tapi setelah kupikir lagi. Aku menyetujuinya. Aku tak mungkin ikut mengantarkan Adit ke rumah sakit. Yang ada aku hanya merepotkan saja disana.
Aku sampai rumah menjelang maghrib. Kak Rina khawatir sekali padaku. Ia telah menungguku di depan rumah sejak sore tadi. Aku benar-benar sedih. Apa yang sebenarnya terjadi pada Adit. Aku menceritakan peristiwa hari ini dengan tangis pada Kak Rina. Kak Rina hanya memelukku dan menenangkanku.
Sekitar jam 8 malam, Kak Rina membangunkanku yang tertidur di kamarnya.
“Ada berita gembira, Ra!”
“Berita apa, Kak”
“Tadi pihak rumah sakit menelepon, katanya ada donor kornea buat kamu, Ra.”
“Benarkah? Kakak ngga bercanda kan?
“Ngga Ra. Kakak serius.”
“Alhamdulilah Ya Allah.”
“Ya sudah, sekarang kamu shalat isya dulu. Terus tidur. Biar besok kamu operasimu berjalan lancar.”
Aku sangat bahagia. Aku tidur dengan dada lapang dan senyum terkembang. Aku beharap, Adit adalah orang pertama yang kulihat saat aku sudah operasi mata besok.
Malam cepat sekali berlalu. Kurasa baru beberapa menit yang lalu aku terlelap. Tapi sekarang sudah pagi lagi.
Hari itu menjadi hari terbahagiaku. Aku akan operasi mata. Sebentar lagi aku bisa melihat lagi. Sebentar lagi tak ada yang bisa meremehkan kemampuanku. Selangkah lagi akan tercapai impianku. Menjadi guru TK yang sempurna. Aku juga akan punya cinta yang tulus dari Adit.
Operasi berjalan lancar. Waktunya dokter membuka perban yang menutup mataku. Aku sangat gelisah. Sejak peristiwa itu, Adit tak pernah menghubungiku. Apa ia masih sakit? Apa sakitnya parah? Hatiku bertanya-tanya karena risau terus mendera.
Detik-detik pembukaan perban dimataku telah tiba. Awalnya samar-samar, buram, dan tak jelas. Mungkin mataku belum bisa beradaptasi. Beberapa menit kemudian mulai menjelas.
Kulihat Kak Rina, dokter, perawat dan seorang laki laki serta perempuan paruh baya di dekatku. Dimana Adit? Apa lelaki paruh baya itu yang namanya Adit? Sepertinya bukan. Sepertinya ia suami dari perempuan yang ada di sebelahnya.
Aku mengarahkan mataku menelusuri segala penjuru ruangan. Tapi sosok Adit tak juga kutemukan.
“Mana Adit, Kak? Dia dimana? Apa masih di jalan? Apa Adit masih sakit?
Semua orang memandangku iba. Semua orang di ruangan itu memandangku dengan tatapan yang tak juga kupahami.
Tiba-tiba perempuan paruh baya itu memelukku erat. Ia menangis memelukku. Siapa dia, kenapa dia memperlakukanku seperti ini?
“Adit telah meninggal kemarin, Nak Zahra. Ia menderita kanker otak.”
Itulah kalimat terakhir yang kudengar. Seketika itu, kepalaku pening, telingaku berdengung, dan duniaku kembali gelap gulita.
Setelah berjam-jam aku pingsan, akhirnya aku tersadar kembali. Tak ada siapapun di ruangan itu. Tak ada dokter, tak ada perawat, tak ada Kak Rina, dan tak ada sepasang suami istri paruh baya itu lagi. Hanya aku sendiri di ruangan ini. Di ruangan ini kutemukan sepucuk surat.
Dear Salsabila Az Zahra,
Aku mencintaimu, Zahra. Tapi maaf, mulai detik ini aku tak bisa menyapamu lagi. Jangan sedih sayang, mataku akan menjadi lilin abadi yang akan menerangi duniamu yang gulita, mataku yang akan menemanimu meraih asa. Selamat tinggal Zahra.