Arjuna Si Tukang Pulsa

Fajar kembali tiba, pertanda di mulainya hari yang baru untuk segala mahluk ciptaan Sang Mahakuasa. Ayam jantan berkokok memberikan semangat baru untuk menuju hari yang lebih baik. Burung-burung menyanyikan senandung alam sebagai penggugah jiwa-jiwa yang perkasa.

Terdengar pula Suara sirene di phone-sel milik seorang anak remaja belasan tahun yang membangunkannya dari lelapnya mimpi indah.

Dengan perlahan, Junet membuka matanya, walaupun dia tak dapat melihat sesuatu di sekitarnya sejak ia menduduki kelas 2 SD karena mala-praktik. Tetapi ia tak perduli lagi dengan apa yang telah terjadi, yang penting dia masih dapat hidup dan makan enak, serta masih dapat menikmati indahnya dunia. Arjuna Maladewa adalah nama aslinya, entah kenapa namanya berubah menjadi Junet. Dia mendapat panggilan itu dari teman-teman se-SMANya, karena Arjuna dari keturunan betawi tulen. Menurut mereka, nama Arjuna dirasa kurang pantas dengan penampilannya yang pas-pasan.

“Huuuwaaah! Heran Gue, padahal baru kemarin, deh, hari Senin, sekarang udah Senin lagi.” Gerutu Junet sambil mengutak-atik hp-nya yang sudah dilengkapi dengan screen reader. Software screen reader ini mampu menterjemahkan tulisan yang tertera di layar menjadi suara. Memungkinkan seorang tunanetra juga bisa ber-sms-an ria kepada sahabat maupun pacar tercinta. Banyak juga sms yang masuk semalam dari yang sangat tidak penting sampai yang agak penting. Ada yang nanyain kabar, ada yang minta maaf karena belum bisa ngelunasin utangnya, ada juga yang kirim puisi yang tidak  jelas juntrungannya.

Tiba-tiba Junet menemukan satu SMS yang isinya darurat. Ternyata ada yang membutuhkan kiriman pulsa tadi malam. Ketika Junet ingin membalas sms itu sebagai permohonan maaf, namun tiba-tiba ada telpon masuk.

“Woi, mana pulsanya? Kok ampe pagi ini belum nyampe juga? Koneksinya lagi lambat atau Lu enggak mau ngirimin? Tenang aja, Gue bayar semua utang Gue!” Kata si penelepon dengan jengkelnya.

Sorry, Jek, Gue enggak tahu kalau Lu SMS Gue tadi malam! Habisnya Lu kirim SMS jam satu pagi. Ya, Gue udah berkelana jauh di alam mimpi. Ok, Lu mau Gue kirim berapa? Kalau mentari Gue cuma bisa kirim goceng aja, enggak bisa 25000 karena deposit Gue tinggal 9000.”

“Heran, deh, Lu serius enggak, sih, jualan pulsanya? Perasaan setiap Gue minta kirimin alasannya ada aja, lagi lambatlah, deposit habislah.” Si Penelepon masih mengungkapkan kejengkelannya.

Indosat, fleksi, dan esia memang langganan lambatnya, kalau masalah deposit memang Gue belum bisa isi banyak soalnya Gue belum bisa tambah modal, apa lagi ada yang belum bayar jadi Gue agak lambat buat isi deposit lagi.”

“Ya, sudah, goceng pun jadi soalnya ini penting banget! Lu total aja semua utang Gue!” penelepon pun langsung menutup telponya.

Junet langsung mengirimkan pulsa kepada si penelepon melalui jasa pengisian pulsa yang sedang berkembang saat itu.

Setelah selesai, dia langsung ke kamar mandi. Tetapi, sedang enak-enaknya menikmati panggilan alam, tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk.

“Tok tok tok! Jun, Junet, ada telpon, nih!” Teriak kakak Junet dari balik pintu kamar mandi.

Junet pun bangkit dari WC dan setelah pakai handuk sekenanya, dia pun langsung membuka pintu kamar mandi.

“Siapa, sih, Kak?” Kata Junet sambil mengulurkan tangannya untuk mengambil ponsel itu.

“Cewek Lu!” Si Kakak kemudian memberikannya.

“Iya, Honey, ada apa?” Kata Junet memulai pembicaraan sambil menutup pintu kamar mandi dan kembali ke WC.

“Apa kabar, Yang?”

“Baik. Kamu sendiri gimana?” Junet menanggapi dengan dingin.

“Itu masalahnya, kepalaku kumat lagi! Barusan aku abis munta darah.”

“Ya, ampun, kamu udah minum obatnya, kan, Say?” Junet mulai cemas.

Baca:  Langit Senja Bagian 4

Tiba-tiba perut Junet terasa sangat mules.

“Suara apa itu, Yang?”

Junet hanya bisa meringis diselingi oleh bunyi yang berasal dari pantatnya yang menembak-nembak.

Enggak… Enggak apa-apa, kok, Say…” Kata Junet sambil terus meringis.

“Pasti kamu makan bakso pake sambal lagi, ya?”

Enggak cuma dikit, kok, Yang!”.

“Ya, dikitnya 10 sendok. Kamu ngerti enggak, sih, kalau aku bilangin? Aku tuh enggak mau kalau kamu kenapa-napa, sakit, tuh, enggak enak, Yang!” Kata pacar Junet menasehati.

Namanya Reyna Prescilia. Dia mengidap penyakit kanker otak yang cukup berbahaya. Menurut perhitungan dokter, umurnya tinggal menghitung hari, tetapi Junet terus membesarkan hatinya kalau umur itu ditangan Tuhan. Itulah salah satu alasan Reyna menjadi jatuh cinta kepada Junet. Selain dia bisa membuat nyaman, Junet juga seorang cowok yang gentle dan penuh percaya diri walau pun dia seorang tunanetra.

“Terus, apa yang bisa aku lakukan untukmu?”

Enggak usah ngapa-ngapain, aku udah bisa ngomong sama kamu juga udah bersyukur banget. Kamulah obatku!”

“Ah, kamu lebay!” Kata Junet dengan malu-malu.

Yang, aku mau ngomong…”

”Ngomong apa?”

”Kalau misalnya aku harus pergi dan enggak balik lagi, apakah kamu bakalan ngelupain aku?”

”Ah, jangan ngomong macem-macem! Ya, sudah, aku lagi di kamar mandi, nih, mau mandi!”

”Oh, ya, sudah, maaf, ya, kalau aku sudah ganggu.”

Pembicaraan pun berakhir, Junet pun mandi setelah isi racun di dalam perutnya sudah terkuras habis. Dia gantung ponsel itu di dinding kamar mandi, kemudian dia mengguyur badannya. Rasa dingin langsung menusuk tulangnya. Karena semalam baru saja habis turun hujan.

“Kalau enggak karena sekolah, Gue enggak bakalan mau mandi sepagi ini.” Gerutu Junet dalam batin sambil menggosok badannya dengan sabun pencegah jerawat yang diberikan Reyna.

            “Dor dor dor! Junet, ini sudah jam berapa?” Teriak kakak Junet yang biasa nganterin dia ke sekolah.

“Ya, Bang, bentar, lagi nanggung!” teriak Junet.

“Halaa, enggak  ada waktu buat begituan!” Kata Abang Junet salah paham sambil menendang pintu kamar mandi sekadarnya.

Akhirnya, selesailah Junet melaksanakan ritual rutinnya sebelum berangkat sekolah. Dengan menggunakan skuter matic, Junet pun diantarkan ke sekolah. dengan mesin skuter yang menjerit-jerit, Abang Junet pun terus menerjang jalan raya yang telah disibukan dengan kemacetan.

            Sampailah ia di sekolah, “Tuh, kan, Gue bilang apa, sukurin Lu!” Kata Kakak  Junet setelah melihat gerbang utama sekolah telah terkunci. Dengan pasrah Junet pun turun dari skuter dan langsung berdiri di depan gerbang. Di lapangan sekolah, para siswa sedang mendengarkan amanat pembina upacara. Tanpa beban, Kakak Junet langsung melesat pergi meninggalkannya.

“Sebagai kakak kelas, harusnya kamu memberikan contoh yang teladan kepada adik kelasmu! Kamu lagi, sebagai siswa inklusi, seharusnya kamu bersikap lebih teladan dibandingkan teman-temanmu yang normal, sudah inklusi, bandel pula, mau jadi apa kamu?” kata Pak Ratmanto seorang guru bidang kesiswaan yang berceramah panjang lebar kepada para siswa yang terlambat termasuk Junet. Junet hanya tersenyum mendengar ocehan Pak Ratmanto, untungnya dia tidak tahu, kalau Pak Ratmanto sejak tadi metatapnya dengan tatapan elang yang hendak memangsa buruannya.

Tak lama kemudian, gerbang pun dibuka karena upacara bendera telah selesai.

“Bagi yang terlambat, silahkan lari mengitari lapangan lima putaran!” Perintahnya dengan nada yang meninggi.

“Dan khusus kamu, silakan push up 150 kali!” Perintahnya kepada Junet dengan nada yang tidak kalah tingginya. Mereka pun menjalankan semua hukuman yang telah diberikan.

Setelah hukuman berakhir, Junet langsung berlari begitu saja sambil mengacungkan tongkatnya ke kiri dan ke kanan. Orang-orang yang melihat itu, hanya memanjatkan doa dalam hati semoga Junet selamat sampai di kelas.

Tanpa ragu, Junet langsung menaiki dua anak tangga sekaligus. Sesampainya di atas Junet telah dihadang oleh beberapa temannya.

“Jun, kita mau bayar pulsa, nih!” Kata salah satu dari mereka.

Entar pas istirahat aja, ya!” Kata Junet sok teladan.

“Sekarang gini aja, pulsa mau Gue bayar sekarang atau Lu masuk kelas tapi enggak ada jaminan Gue bakal bayar pulsa Lo pas istirahat!” Ancam Aldo seorang penghutang terbesar yaitu Rp.15.0000,-

“OK, deh!” Junet mengalah.

Akhirnya, terjadilah serah terima uang di ujung tangga antara Junet dan mereka.

Dalam beberapa saat saja, Junet sudah mengantongi uang kurang-lebih Rp. 30.000,- walau pun masih termasuk modal dan sedikit keuntungan. Namun tidak menjadi masalah buatnya.

Thanks, ya, Jun!” Kata mereka yang kemudian kabur begitu saja masuk ke toilet.

”Hmmm…, pasti ngerokok lagi…” Batin Junet.

Tak terasa waktu istirahat pun tiba. Setelah berkutat dengan rumus-rumus produk neraka itu, akhirnya para siswa pun terbebas menghirup udara segar di luar kelas. Aroma ayam bakar, nasi goreng, spageti, membuat hidung mereka kembang-kempis hingga kaki-kaki mereka otomatis mengajak ke kantin sekolah. Tapi Junet harus mendapatkan makian-makian dan ungkapan perasaan kecewa terhadap para penggemar beratnya karena Junet tidak bisa memenuhi hasrat mereka.

Baca:  Kembalinya Sang Istri

”Lagi habis Fera. Lu, kok, enggak ngerti banget, sih?” Junet mulai jengkel kepada salah satu penggemarnya yang marah-marah di depan meja belajarnya.

”Pokoknya, kalau ampe entar malam Lu belum ngisiin pulsa juga ke Gue, Gue bakal bilangin ke Ristiya kalau Lu naksir sama dia!” Ancam Farah sambil mengeluarkan ponselnya hendak mengetik SMS kepada orang yang dimaksud. Penggemar yang lain menyetujui hingga sampai ada yang berteriak.

”Ristiyaaaa, Junet katanya mau nyatain cintanya sama Lu nanti di kantin! Diterima enggak?” Itulah ulah Rifki Arief yang tak pernah mau kompromi sama Junet.

”Tenang-tenang,  jangan ngancem gitu, dong! Nanti siang juga udah ada pulsanya.” Tampak Junet gemetar karena ancaman tersebut. Yang menjadi objek pembicaraan pun tidak sengaja mendengar semua itu dari balik pintu kelas yang membuatnya tersenyum-senyum  penuh arti.

”Hai, Jun!” Wajah ceria Ristiya Munaf datang dari balik pintu kelas menghampiri meja Junet.

”Hai, ngapain Lu semua ngepung meja Junet? Pasti mau ngutang lagi.” Kata Ristia kepada para penggemar berat Junet. Tanpa berbicara mereka pun membubarkan diri dan berlari keluar kelas.

”Sori, ya, Gue lama bayarnya.”Kata Tia sambil mengeluarkan beberapa uang tunai dari dompetnya.

”Enggak apa-apa, yang penting Lu bayar.” Kata Junet yang membuat Tia tersenyum.

“Eh, udah yah, gue harus buru-buru pergi, ada suatu hal yang mau Gue kerjain. Nih, uangnya lima puluh ribuan, kembaliannya buat beli pulsa aja lagi!” Kata Tia sambil menyodorkan uang lima puluhan 1 lembar ke tangan Junet.

”OK, deh, Non!” Junet memasukkan uangnya ke dalam dompet.

“Jun, titipan dari Pak Kepsek.” seorang siswa muncul begitu saja dari balik pintu kelas lalu menghampiri Junet. Dia mengeluarkan sebuah amplop yang cukup tebal dari saku kemeja seragamnya. Dia serahkan amplop itu ketangan Junet.

“Rp. 350.000,- Jun, tadi udah Gue hitung dengan teliti.”

“Kerja yang baik, Jek. Oh, iya, dia titip pesan, isiin pulsa ke isterinya 50000 dan dia 100000. Dibayar minggu depan. ” Junet tersenyum mendengar pesan dari temannya itu.

Dia segera membuka amplop yang telah sobek itu, kemudian mengambil uangnya.

“Ratusan satu lembar, lima puluhan ada lima lembar. Udah Gue susun seperti biasa.” Tutur temannya.

”OK, by the way, entar siang Lu bisa temenin Gue isi deposit?” Kata Junet sambil meletakkan uang-uang itu di dalam dompetnya.

”Beres, deh! Motor Gue akan siap di depan gerbang sekolah.”

”Tuh, uang bensin!” Junet melempar uang sepuluh ribuan ke atas meja. Lekas anak itu menyambarnya dengan cepat dan memasukkan uang itu ke saku baju seragamnya.

”Thanks, Bro!” Dia menepuk pundak Junet dengan penuh kehangatan. Anak itu langsung ngeloyor pergi.

 

Tak terasa, waktu istirahat pun selesai. Pelajaran selanjutnya sangat menyenangkan karena merupakan pelajaran yang paling Junet sukai. Ya, apalagi kalau bukan pelajaran TIK, yaitu satu-satunya pelajaran yang dimana Junet dibebastugaskan mengikuti setiap materi-materi yang diberikan karena Junet sudah dianggap menguasai materi-materi tersebut. Tinggal menunggu tes formalitas aja. Nah, akhirnya Junet pun menghabiskan waktu-waktu di lab komputer hanya untuk browsing artikel menarik sambil diiringi musik-musik yang berbentuk file MP3. Terkadang, satu dua anak mendekati Junet hanya untuk membeli pulsa walau harus berakhir dengan kekecewaan.

”Ya, halo, ada apa, Say?” Baru saja Junet mengangkat telpon dari kekasih tercintanya.

“A-ku cu-ma mau bi-lang, ka-lau cin-ta ku ha-nya un-tukmu dan a-kan a-ku ba-wa hing-ga a-jalku dat-ang…klik” Telpon langsung terputus.

“Halo? Halo? Reyna?” Junet menjadi gelisah.

Dia mencoba untuk kembali menghubunginya namun mesin penjawab mengatakan bahwa nomor yang bersangkutan sedang tidak aktif. Tidak begitu saja, dia mencoba mengirimkan SMS kepadanya, namun hasilnya pending. Akhir pelajaran sekolah, Junet tambah gelisah, ia ingin segera datang ke rumah Reyna, mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

”Kenapa Lu kayak orang bingung?” Tanya Riko, yang sudah menunggunya sejak tadi di depan gerbang.

”Tahu, nih, gue dapat firasat enggak enak tentang cewek Gue.”

”Jadikan kita ke bank?”

”Jadi, tapi kita ke rumah dia dulu. Gimana?”

”Beres, Boss!”

Lalu meluncurlah Junet dan Riko ke tempat Reyna.

”Bisa lebih cepat lagi enggak?” Junet mulai gelisah.

”Macet tahu, memang Lu enggak bisa lihat apa itu di depan?”

”Lah, memang Gue enggak bisa liat. Masih jauh enggak sih rumahnya?”

”Bentar lagi.”

”Lah, bendera kuning siapa itu?” Sontak Riko terkejud setelah melihat kibaran bendera kuning di depan gang rumahnya Reyna. Hampir-hampir Riko kelupaan menarik tali kopling sepedah motornya ketika ia ingin mengganti pressneling yang membuat motornya melompat.

Baca:  Ibu, Biarkan Aku Berbakti

Hati Junet makin berdebar, ”A..ada bendera kuning, Ko?”. Junet makin tak karuan.

”I..iya, mungkin ada yang meninggal.”

”Siapa ya?”

”Entah, Jun, mana Gue tahu.”

 ”Tapi rumah Reyna…” Riko tak sanggup melanjutkan perkataannya.

”Kenapa rumah Reyna?”

”Ada ambulans, Jun.”

Riko memarkirkan motornya tidak jauh dari rumah itu. Sejenak, mereka saling diam. Terdengar isak tangis dari dalam rumah itu.

”Ko, Reyna Ko, enggak salah lagi, pasti Reyna!!!”

”Tenang, Boss, tenang jangan buruk sangka dulu! Biar Gue yang lihat ke dalam.”

Riko pun langsung melangkah ke dalam rumah itu. Junet termenung, dia mencoba untuk mengabaikan firasatnya.

”Bagaimana Rik?” Junet berkata dengan lemah.

Riko hanya diam.

”Yuk, kita pulang!” Jawabnya sambil menyiapkan sepeda Motornya.

”Siapa, Riiiiiikk…” Dia tidak kuat membendung air matanya.

”Entar Gue kasih tahu kalau kita sudah di rumah.”

”Sekarang!”

”Nanti aja.”

”Sekarang!!!”

Riko menghidupkan mesin motornya.

”Sekarang sama nanti sama aja, Riiiik!!! Siapa? Cepet ngomong ama Gue atau Gue enggak mau pulang…”

”Iya… Dia…” Pecahlah tangis Junet, mereka langsung saling berpelukan.

mau tidak mau, Riko pun ikut menangis.

”Sudah, Bro, tabahkan hatimu! Biarkan dia pergi, Gue pikir itu yang terbaik buat dia.”

”Tapi enggak bisa begitu, Bro, dia pacar Gue satu-satunya yang paliiing Gue sayang.”

”Gampang, Bro, masih ada Ristiya, Gue pikir dia ada feeling sama Lu.”

”Brengsek, Lu  memang, ya, Gue lagi sedih malah Lu ngomongin si Ristiya.”

”Ya, sudah, mau gimana lagi, Reyna udah pergi. Cari lagi yang lain. Gitu aja, kok, repot, sih, Jun.” Kata riko sambil terisak-isak.

”Ko, bisa anterin gue ke dalam? Gue mau lihat wajahnya sekali aja buat yang terakhir.” Kata Junet sambil tersedu-sedu.

Emang Lu bisa lihat, Jun?” Riko ikut tersedu.

Kagaklah, formalitas aja. Gue masih ingat peran Gue, kok, sebagai orang buta. Heran Gue ama penulisnya. Seneng bener bikin Gue jadi orang buta. Pake pacar Gue dibunuh juga. Kayaknya dendam banget, tuh, orang.” Tangis Junet makin kencang.

Riko kembali memarkirkan motornya lalu kedua sahabat itu berjalan bergandengan tangan memasuki rumah Reyna. Sesosok tubuh, terbujur kaku di atas dipan yang diletakkan di ruang tamu. Beberapa orang mengelilingi dipan itu sambil membacakan doa untuk Reyna.

Seorang ibu sedang terduduk menangis di kursi dekat dipan itu. Dia memegang selembar amplop di tangan kanannya.

”Junet.” Si ibu langsung memanggilnya dengan suara hampir habis karena sedih.

”Iya, Tante.”Junet tidak kalah sedihnya.

Si ibu langsung mengansurkan amplop itu ke tangannya tanpa kata. Lalu kembali menangis.

”Sudah, Tante, dia tak akan kembali, biarkan dia tenang di sana!” Kata Riko yang membantu menenangkan si Ibu.

”Iya, Nak, terimakasih, Tante sangat terpukul menerima kenyataan pahit ini. Padahal, bulan depan dia akan bertunangan dengan Rafail.”

Tiba-tiba hati Junet mendidih. Tapi segera dia kendalikan emosi itu.

”Oh, gitu, ya, Tan? Mungkin bukan jodoh.” Riko menanggapi.

”Sayang, padahal dari kecil mereka sudah kenal baik.” Tante masih terisak sedih.

”Ya, sudah, kami pamit dulu, ya, Tante.” Riko menyudahi pembicaraan ketika Junet makin terbakar emosinya.

”Jun, mau pamit sama Reyna?” Lanjut Riko. Junet hanya mengangguk.

Dipegangnya tangan Reyna yang sudah menjadi jenazah. Lemas, masih meninggalkan sisa kehangatan. Diremaslah tangan itu.

”Diam-diam kau selingkuh, Sayang. Untung kau sudah mati. Tapi ya, sudahlah, izinkan aku untuk berpacaran dengan Ristiyaa. Selamat jalan, semoga kamu betah di alammu yang baru!” Bisiknya lirih.

 

 

 

Dear, Arjuna Maladewa,

Inilah surat terakhir yang bisa ku tulis untukmu. Karena kini waktunya kita untuk berpisah. Maafkan aku karena aku tak dapat mendampingimu lagi di dunia ini. Aku harus pergi, menjalani takdir yang sudah tergariskan. Harusnya kau tak perlu meremas tanganku begitu erat, karena toh Rafail akhirnya tak jadi memilikiku. Tak perlu cemburu, karena itu bukan mauku. Rafail hanya teman biasa dan kita tak saling menyinta. Ku izinkan kau dengan Ristiya, asal kau jangan lupakan aku. Ku kan menunggumu di sana, dan Ristiya harus tau itu.

O, ya sayang, perincian hutang pulsaku yang kau pinta sudah ku lampirkan dalam surat ini. Minta saja uangnya sama Mama! Ku doakan Semoga usahamu lancar.

Salam sayang dariku, Reyna.

 

 

 

 

Ia selesai membacakan surat itu kepada junet, kemudian diletakanlah surat itu di atas pusara. Sebatang korek api yang beru saja di sulut jatuh menimpah surat itu kemudian membakarnya hingga menjadi abu lalu menyatu dengan tanah pusara yang penuh kedamayan…

”Reyna, Semoga kamu tenang di alam sanah.”

Dua hati itu saling berbicara sambil memanjatkan doa untuk Reyna. Tanpa mereka sadari, sesosok bayangan tersenyum penuh keikhlasan kepada mereka. Mereka pun pergi meninggalkan pusara itu dalam kesunyian.

Bagikan artikel ini
Wijaya
Wijaya

Saya adalah orang yang hobinya membaca dan menulis.

Articles: 23

Leave a Reply