Apa dan Siapa Anak GETL

Jakarta, Kartunet.com – Istilah yang gunakan untuk menyebut anak dengan gangguan emosi dan tingkal laku (anak GETL) atau dulu yang dikenal dengan anak tunalaras sangat beragam, sesuai dengan pandangan berbagai kalangan. Perbedaan istilah dan pandangan yang digunakan untuk menyebut anak GETL ini tentu saja disesuaikan berdasarkan kepentingan pihak masing-masing. Misalnya, orang tua yang awam cenderung menyebut anak GETL dengan sebutan anak nakal, para guru menyebutnya dengan sebutan anak yang tidak bisa diatur (incurrigible), para psikiater atau pasikolog lebih memilih menyebutnya sebagai anak yang terganggu emosinya (emotional disturb child), para pekerja sosial menyebutnya sebagai anak yang tidak dapat mengikuti aturan atau norma sosial yang berlaku (social maladjusted child), dan para  hakim menyebut anak GETL dengan sebutan anak-anak jahat.

Baca:  Mengenal Disabilitas Mental Lainnya: Narsis

Menurut Sunardi (1985), pada intinya semua sebutan untuk anak GETL adalah mengacu pada anak yang menunjukkan penyimpangan perilaku sebagai pelanggaran terhadap peraturan atau norma yang berlaku di lingkungannya dan efek dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan anak GETL dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.  Pengertian anak GETL menurut Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 12 Tahun 1952, adalah anak yang mempunyai tingkah laku menyimpang atau berkelainan, tidak memiliki sikap melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar, kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.


Dalam dokumen kurikulum SLB E (1977), disebutkan anak GETL adalah anak yang memiliki tiga kriteria di bawah ini.


1)        Anak yang mengalami gangguan atau hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang menyesuaikan diri, baik terhadap lingkungan, keluarga, sekolah, maupun masyarakat;


2)        Anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang berlaku di masyarakat;


3)        Anak yang melakukan kejahatan.


Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, menurut Hallahan dan Kauffman (1991), anak yang didentifikasi sebagai anak GETL adalah anak yang:


1)        tidak mampu mendefinisikan secara tepat kesehatan mental dan perilaku yang normal;


2)        tidak mampu mengukur emosi dan perilakunya sendiri; dan


3)        mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi sosialisasi.


Sederhananya, yang dimaksud dengan anak dengan gangguan emosi dan tingkah laku  (anak GETL) adalah anak yang identik dengan kenakalan, biasa disebut anak badung, suka berkelahi, dan berbuat keonaran lain yang membahayakan dirinya dan orang lain.


Lantas, “Apakah seorang anak yang memiliki sikap pendiam, suka mengurung diri, dan introvert tapi kadang melakukan hal-hal berbahaya yang tidak terduga juga masuk dalam kategori anak GETL?” Jawabannya adalah, “Ya.” Karena yang perlu digaris bawahi dalam pengertian anak GETL adalah emosi dan tingkah laku mereka yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Baca:  Memahami Keterampilan Menulis Bagi Anak Low Vision

 


Dalam Undang-Undang Pendidikan No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa “Anak dengan Gangguan Emosi dan Tingkah Laku (GETL) berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang relevan dengan kebutuhannya.” Hak anak GETL utuk memperoleh pendidikan dan perlakuan sosial juga sama dengan yang dibutuhkan  oleh anak normal pada umumnya.


 


Melalui psikoanalisisnya Sigmund Freud menjelaskan bahwa anak GETL disebabkan pengalaman anak pada usia awalnya. Pengalaman yang tidak menyenangkan pada usia awal anak-anak mengakibatkan anak menjadi tertekan dan tanpa disadari berpengaruh pada penyimpangan perilaku anak.


 


Pengalaman anak dirumah, seperti kualitas hubungan antara ayah, ibu, serta saudara sekandungnya juga memberikan pengaruh yang besar pada perilaku anak. Hubungan interaksional dan transaksional menyababkan saling memengaruhi antara anak dengan orang tua, sehingga jika pada anak terdeteksi mengalami masalah kelainan perilaku dapat dialamatkan pada orang tuanya (Sameroff, Stiper, Zax, 1982). Menurut Hallahan dan Kauffman (1991), orang tua yang lemah dalam menegakan disiplin anak,  yang ditandai dengan penolakan,  bermusuhan, dan kekejaman, dapat menumbuhkan perilaku yang menyimpang seperti agresif atau kejahatan lainnya pada anak. Dengan demikian, konsep diri untuk menjadi anak dengan gangguan emosi dan tingkah laku bukan berasal dari dalam diri anak saja, melainkan juga didukung oleh lingkungannya terutama lingkungan keluarga.(Nir) 


Editor: Risma

Bagikan artikel ini
Lisfatul Fatinah
Lisfatul Fatinah

Guru pendidikan khusus yang senang mengajar, menulis, dan menonton film.

Articles: 40

Leave a Reply