Semarang (Kemenag) — Muhammad Amin Hambali, seorang tuna netra asal Desa Jlumpang, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, hari ini menuntaskan kuliah kesarjanaannya. Anak dari almarhum Muchlasin dan Marijati ini menjadi salah satu wisudawan pada Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang.
Muhammad Amin menyelesaikan kuliah jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Keterbatasan Amin tidak menjadi penghalang baginya untuk terus berkreatifitas. Amin aktif untuk menulis dan berhasil meraih juara I dalam perlombaan cerpen kategori tulisan paling menyentuh, serta juara kedua untuk tulisan favorit pembaca. Amin juga aktif menulis di cerpen dan buletin maupun website LPM Missi. Dengan semangat dan keteguhan, Amin Hambali menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk mencapai impian.
Amin diwisuda bersama 557 sarjana lainnya pada Sabtu (2/22/2024) di Auditorium II, kampus tiga, Gedung Tgk Ismail Yaqub, UIN Walisongo, Semarang.
Amin mendapatkan beasiswa dari sahabat mata. Program studi KPI saat itu menjadi pilihannya dan yang menerima mahasiswa difabel di UIN Walisongo.
Kemampuan Amin terus berkembang. Dalam tugas akhirnya Amin juga berharap bisa berkontribusi dan memberikan semangat bagi teman-teman difabel. Skripsi Amin berjudul “Website Kartunet.com sebagai Media Difabel Netra dalam Mengekspresikan Diri Lewat Karya Tulis Bermuatan Islam”.
Awalnya, Amin memiliki ketertarikan untuk belajar psikologi, dengan harapan dapat memahami pola pikir dan tingkah laku manusia. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa ilmu komunikasi juga sangat penting dan saling terkait.
“Belajar tentang komunikasi memberikan saya pemahaman yang lebih baik untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kepada orang lain,” ungkapnya.
Sebagai seorang difabel, Amin menghadapi berbagai tantangan selama masa kuliahnya. Salah satu kesulitan terbesar adalah navigasi saat dikampus. Momen paling menantang muncul ketika ia harus menyusun tugas akhir. Di saat teman-temannya juga disibukkan oleh proyek mereka, Amin merasa terisolasi saat mencari referensi dan berdiskusi.
“Meskipun teknologi memudahkan pencarian informasi, kadang saya merasa terputus dari orang lain,” jelasnya.
Namun, pengalaman paling berkesan bagi Amin terjadi saat PBAK. Di momen itu, ia merasakan kehangatan dan dukungan dari teman-teman barunya, yang mengubah pandangannya yang sebelumnya pesimis terhadap interaksi sosial.
“Perasaan diterima sangat berarti bagi saya, mirip dengan saat berkumpul bersama teman-teman difabel,” katanya. Keberhasilan Amin dalam menghadapi tantangan ini menunjukkan ketekunan dan keberanian yang luar biasa.
Setelah lulus, Amin berharap dapat menemani orang tuanya yang sudah lanjut usia dan melanjutkan passion-nya dalam menulis. Ia ingin merampungkan novel yang telah lama ia impikan. Dalam menghadapi perjalanan kuliahnya yang penuh liku ini, Amin memberikan motivasi bagi rekan-rekannya. Ia mendorong mahasiswa untuk bertanya pada diri sendiri tentang alasan mereka berkuliah dan mengingat orang-orang yang berjuang mendukung mereka.
“Motivasi terbaik datang dari dalam diri. Ingatlah orang-orang yang berharap dan berdoa untuk kesuksesan kita,” tegasnya.
Sumber
👍👍👍