Aku dan Jatuh Cinta (7-8)

Mungkin kevin itu.. Kembaranku?? Lalu ku tertawa terbahak-bahak. Aku belum mengerti, apa maksudnya ini. Tapi ku mengharapkan akhir yang baik.
 
Telepon kembali berdering. Tak ingin sampai telepon itu menunggu lama, ku kembali merabanya mencari telepon genggamku. Tampak sulit bagiku.
 
“Halo!”
 
“Arga, kamu dimana?” Ternyata suara Ibu. Ku sangat mengenalnya. Ia sepertinya mengkhawatirkanku. Mengapa aku tak terlebih dahulu memberitahunya? Sepertinya emosiku membuatku lupa segalanya.
 
“Aku di taman dekat rumah Bu!” Jawabku polos tak ingin membuatnya cemas
 
“Ibu akan ke sana, tunggu di situ. Jangan kemana-mana!” Kata Ibu langsung mematikan telepon itu. Aku dapat memaklumi setiap kekhawatirannya. Meski ku tak ingin diganggu, tapi hati kecilku berkata, ‘Semoga ia cepat datang.’
 
Pikiranku masih tertuju kepada cincin itu untuk yang ke dua kalinya. Aku tak dapat berhenti memikirkannya. Aku begitu penasaran dengan cincin yang ku pegang itu. Sejak kapan ia berada di dalam tasku? Apa maksud semua ini? Kuraba setiap lingkaran cincin itu. Kuraba kembali, terasa benjolan-benjolan kecil. Tampak bermakna dan penuh arti. Tapi apakah ini benar-benar cincin? Ku bingung mencoba mengingat kenapa cincin ini bisa ada di dalam tas ku. Aku sama sekali tak mengerti. Seketika pikiranku mengingatkanku. Ini ternyata cincin yang Dania berikan kepadaku. Khayalku lagi. Berikan? Apa aku gak salah ngomong? Mungkin aku yang lupa mengembalikan cincin itu padanya, begitu juga dengannya. Kenapa aku jadi pikun begini? Ya, ini pasti cincin yang waktu itu Dania perlihatkan padaku.
 
Tiba-tiba otakku terasa sakit. Sepertinya aku kenal cincin itu. Ya, aku pernah memegangnya sebelumnya. Apakah ini semua hanya sandiwara belaka? Tak salah lagi. Gambar dari cincin itu terpampang jelas di ingatanku. Terukir nama seseorang, tapi siapa? Aku ragu-ragu lagi. Ku coba merabanya kembali. Pikiranku bertambah sakit. Kevin..Itu dia. Kevin ya, tak salah lagi.
 
“Kevin..Kevin..!! Aku muak mendengar nama itu. Siapa dia sebenarnya? Taman ini tidak membuatku tenang” Kataku marah, aku mulai bosan dengan setiap tingkah orang-orang yang mengaitkanku pada nama itu. Ku berteriak tanpa memedulikan orang-orang di sekelilingku. Ku berharap tak ada orang di sini. Tapi, bagaimana aku memastikannya?
 
Ku berdiri, ku mencoba berjalan pulang. Sudah terlalu lama aku berada di sini. Tapi Ibu yang ku tunggu belum juga datang. Aku tak ingin membuat Ibu menjadi cemas akan keadaanku. Cincin yang ku pegang itu kembali ku masukkan ke dalam tas. Ku tak ingin mengundang kejahatan menghampiriku. Apalagi aku sendirian saat ini.
 
Ku berjalan pelan. Sangat pelan. Karena tanah yang ku injak tak datar seperti biasa. Banyak bukit-bukit kecil harus dilalui. Aku tak bisa mengingat dari mana tadi aku berjalan tanpa ada tonjolan-tonjolan tanah ini. Ku mencoba merabanya dengan tongkat, meski bagiku itu sangat ribet tuk di bawa, tapi ya, harus kuakui inilah saat-saat tongkat itu sangat berarti bagiku. Dimana ibu? Pikirku sambil berjalan. Kenapa ia belum juga datang?
 
“Aw!” Teriakku, sebuah lubang yang besar menjatuhkan diriku. Terdapat air didalamnya. Kakiku terasa sakit. Mulutku terciprat membuatku risih akan pasir yang berada di mulutku. Tongkat yang ku pegang terlempar tak tahu dimana. Mengapa tak ada orang yang menolongku keluar? Kemana mereka semua?  Hanya terdengar suara anak-anak kecil yang menertawakanku dari jauh. Aku berusaha bangkit dan mencari tongkatku dengan cara meraba. Mungkin bajuku saat ini menjadi sangat kotor. Aku tak menyesalinya. Aku ingin tertawa karenanya.
 
Suara langkah kaki yang cepat sepertinya menghampiriku. Semakin lama, semakin terasa.
 
“Arga?” Suara Ibu ternyata yang memegang ketiakku. Menolongku tuk berdiri dari kubangan lumpur.
 
“Kamu ini gimana?” Katanya memulai kemarahannya sambil membereskanku. Melepaskan tangannya dan mencari tongkatku yang terjatuh. Aku tak bisa membantah lagi. Sudah sepantasnya aku mendapatkannya.
 
“Kamu bilang, kamu di taman. Ini di lapangan Arga!” Kata Ibu melanjutkan memarahiku. Mana aku tahu? Aku tak dapat melihatnya. Suasananya terdengar seperti sebuah taman. Ternyata ini adalah gang yang ada di sebelah rumahku. Tak ku sangka, hampir saja aku celaka dan membahayakan hidupku.
 
“Kalau kamu pergi, lebih baik bilang dulu sama Ibu, atau minta temani sama adikmu!” Kata Ibu lagi lalu menuntunku berjalan pulang. Adikku, Radit, bersekolah di luar kota dan hanya seminggu sekali pulang ke rumah, pagi tadi ia sampai.
 
“Ibu berkeliling-keliling mencarimu. Untung ada orang yang lihat kamu berjalan ke arah sini. Arga..Arga” Lanjut Ibu lalu mendesah. Aku sungguh memakluminya. Aku tersenyum dengan wajah gembira.
 
“Maaf bu!” Hanya itu yang dapat kukatakan.
 
Aku teringat akan barang-barang yang ada di dalam tas. Mungkin telepon gengam dan buku ku basah semuanya.
 
“Kamu ini memang ada-ada saja kerjaannya. Buat Ibu panik saja!” Kata Ibu lagi yang belum puas memarahiku.
 
Ini semua tampak menggelikan untukku, aku jelas tahu aku tak punya kembaran, aku bahkan tak perlu memastikannya. Tapi mengapa Dania tiba-tiba muncul dan memposisikanku seperti seseorang yang bangkit dari kematian dengan keadaan amnesia? Cincin? Cincin siapa ini?
 
Aku haru segera tahu kebenarannya. Harus. Segera.
 
 
Editor: Putri Istiqomah priyatna

Baca:  Ferdi Story (9-15)
Bagikan artikel ini
Swandy Siallagan
Swandy Siallagan
Articles: 3

Leave a Reply