Sebelum aku sadar, dering telepon telah berhenti, dan aku masih tertegun bersama cincin di kedua genggaman tangan. Mencoba mengingat apakah aku pernah menaruh cincin ini.
Dania…
Nama itu tiba-tiba terlintas ringan.
“Kok dia sih?” Buru-buru aku menepis pikiranku sendiri, melemparnya jauh-jauh sebelum aku merasa peduli pada gadis itu. Kembali ke permasalahan awal, mungkin aku memang pernah menaruh cincin dalam tas. Kalau begitu, dari mana datangnya cincin ini? Apakah ini cincin milik ibu?
Dalam pertanyaan buntu itu, dering telepon membangunkanku lagi. Awalnya aku enggan mengangkat telepon. Namun pada akhirnya ku angkat juga sebelum nada deringnya berakhir, takut-takut apabila yang menelepon adalah ibu, satu-satunya perempuan yang tak bisa kutolak.
“Halo?” Sapaku lembut.
Dua… tiga… empat detik berlalu. Tak ada jawaban sama sekali. Terdengar sunyi di seberang sana, kecuali deru nafas tertahan—sengaja ditahan supaya tak terdengar. Aku tahu, itu bukan deru nafas biasa, sebuah isakan.
“H-halo? Ini siapa?” Tanyaku mulai khawatir. Yang benar saja? Kenapa ada orang yang menelepon tunanetra hanya untuk memperdengarkan suara tangisan? Siapapun orang ini, pasti dia mengidam syndrome galau tingkat akut.
“Kamu bener-bener gak inget?” Akhirnya kata suara diseberang.
Astaga.. Aku menampar keningku sendiri dalam hati. Orang ini benar-benar pantang menyerah. Patut diberi penghargaan atas kerja kerasnya.
“Maaf, Dan, tapi aku bukan Kevin!” Aku pun menutup sambungan telepon. Segera menjejalkan mini elektronik itu ke dalam tas dan tak mau tahu apabila berdering lagi kemudian.
Dipaksa bagaimanapun, namaku tidak berawalan dari huruf K. Kenapa cewek itu ngotot banget sih? Maksudku, apa dia tidak keliru? Lagi pula, yang bernama Kevin di dunia ini ada banyak, dan dari sekian banyak orang kenapa harus aku yang sama sekali tak mengandung unsur K? Tunanetra pula aku ini. Kenapa dia tak pilih laki-laki normal yang jauh lebih baik?
Mengenal orang bernama Kevin saja tidak. Tunggu dulu… Mungkinkah Kevin salah satu teman dunia mayaku dulu? Atau… dulu namaku memang Kevin? Ah! Apaan-apaan ini? Pola pikirku mulai seperti cerita dalam sinetron. Konyol sekali bila ternyata selama ini aku amnesia. Hahaha.
Kau yang keliru, sobat…
Oh, sial… Sekarang perasaanku melembek. Benar juga, bagaimana bila aku yang keliru? Rekaman yang ditunjukan Dania, pegawai di restoran, dan tangan lembut Dania… Bukankah mereka tak asing? Selain itu, tentu ada alasan kenapa yang dipilihnya adalah orang tunanetra sepertiku. Tapi… aku bukan Kevin! Jika aku bukan Kevin, kenapa mereka tampak familiar?
Hei sobat, dengar…
Kevin. Kevin. Kevin. Kevin. Haruskah ku pajang iklan untuk mengetahui orang itu?
Tenang, kawan… kau tidak perlu mencari siapapun. Jawaban ada pada dirimu sendiri.
Sekarang aku pusing sendiri. Belum lagi soal cinc—cincin? Aku tertegun untuk beberapa saat. Pikiranku melayang, menelusuri jejak-jejak kehidupan, mengikuti arah putaran roll film dan membiarkannya berjelajah tanpa batas waktu.
Segera ku sambar isi tas. Mengaduk-aduknya tak karuan dengan harapan dapat menemukan cincin yang tadi ku tolak mentah-mentah. Ah, ketemu! Dan kini, setelah ku rasakan lagi teksturnya…
“Hahahahaaha~” aku menertawakan diriku sendiri. Tak peduli orang-orang di sekeliling yang bisa mengira aku seorang tunanetra gila.
Aku harap aku tidak pernah berteriak kepada Dania seperti tadi. Mungkin satu-satunya yang keliru di sini memang aku.
Kini aku ingat, aku memang tidak pernah menaruh cincin ini di dalam tas. Tapi mungkin aku tahu bagaimana cincin ini bisa berada di dalam sana. Aku bangkit berdiri bergegas pergi, aku harus menemui pasangan cincin ini. Hei? Dari mana aku bisa tahu cincin ini punya pasangan? Entahlah. Segalanya begitu terasa yakin.
Ada tempat yang pernah ku lalui. Ada jalan yang pernah ku telusuri. Ada bau-bauan yang menarikku kembali ke masa lalu, dan siapa sangka sentuhan juga mampu menghempasmu dalam sejarah kecil. Cincin ini —lagi-lagi bersama keyakinan yang entah datangnya dari mana— adalah bagian jati diriku yang menjadi potongan puzzle. Teksturnya… Aku ingat teksturnya.. Ukiran.. Lambang.. Bukan! Bukan lambang ataupun simbol. Itu… Inisial!
Aku harus menemukan kebenaran. Siapa yang tahu bahwa sebelum duniaku gelap, mungkin aku memiliki ingatan yang lain. Bila ibu tak tahu, aku rasa Dania tahu. Yaa… well, pada akhirnya aku mengikuti jalan pikiran seperti sinetron. Itulah kenapa aku tertawa.
Dan bila aku tidak salah, Kevin adalah…